5 bulan kemudian.Pada akhirnya aku bisa bernafas lega karena pengadilan menyetujui perceraian kami meskipun harus melewati drama yang cukup melelahkan.Mas Reyhan bersikukuh tak mau berpisah. Itulah kenapa kasus perceraian ini tak kunjung selesai. Bahkan di pengadilan dia terus meminta perceraian ini dibatalkan. Selama proses persidangan, aku tinggal di rumah orang tuaku. Ini kulakukan agar ada yang menjaga Hanin saat pergi ke toko ataupun urusan yang berhubungan dengan perceraian. Di hari minggu sore ini aku memilih duduk di teras menikmati kesendirian ketimbang melakukan aktivitas lain. Sengaja aku tidak ke toko karena ingin melepas lelah setelah semua yang kulewati. Deru mesin mobil yang memasuki halaman berhasil memecah kesunyian yang tengah kubangun. Sesosok laki-laki yang selama ini mengganggu tidurku turun bersama Bu Erna, perempuan yang sudah seperti ibu bagiku. Benar. Dia memang Daffa. Sejak hari itu kami tak pernah lagi bertemu. Bahkan sekedar say hello melalui jejaring
“Mas, tolong pegangin Bagus ya, aku mau bikin teh dulu buat kalian.” Dengan santainya Mbak Nilam, tetangga sebelah rumah meletakkan bayinya di pangkuan suamiku. Mas Bayu pun tampak senang membopong bayi itu sambil tetap duduk. “Biar sama aku saja, Mbak,” ujarku sembari mengulurkan tangan berusaha mengambil bayi itu dari pangkuan Mas Bayu. “Jangan! Kamu belum punya anak. Jadi belum punya pengalaman momong dedek bayi,” tolak Mbak Nilam sembari menepis tanganku, kemudian berlalu meninggalkan kami. Deg. Aku terperangah mendengar ucapan Mbak Nilam yang terasa menohok. Ada sesuatu yang menyeruak di dalam sana. Memang benar aku belum punya anak, tapi bukan berarti enggak bisa momong dedek bayi. Lagian, apa bedanya aku dan suamiku? Sejenak, aku berusaha melupakan kata-kata Mbak Nilam yang membingungkan itu, lalu mengalihkan pandangan pada Mas Bayu dan bayi di pangkuannya. Jika diperhatikan, suamiku tampak lihai menimang bayi itu. Seperti sudah terbias
“Sedekat apa kamu sama Mbak Nilam, Mas!” Begitu sampai di rumah, aku langsung mencecar Mas Bayu dengan pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar di kepala. Untung saja ibu mertua dan adik iparku sedang ke luar rumah, jadi aku lebih leluasa menginterogasi suamiku.“Kamu ngomong apa sih, Dek, dari tadi ngelantur terus? Kamu kelelahan ya?” ucap Mas Bayu sambil tangannya berusaha menyentuh keningku, tapi aku menghindar.“Enggak usah mengalihkan topik, tinggal jawab saja,” sahutku ketus sembari menyilangkan tangan di depan dada.“Jawab apaan sih?” tanya Suamiku pura-pura bodoh. “Sedekat apa kamu dan Mbak Nilam?” ulangku kemudian. “Ya biasa,” jawab Mas Bayu sambil menjatuhkan bobot pada sofa ruang tamu. Aku pun segera melakukan hal yang sama, tapi berseberangan arah. “Biasa bagaimana, Mas?” buruku. “Ya biasa, kayak tetangga pada umumnya,” sahut Mas
Seusai mandi dan berganti pakaian, aku kembali bergabung dengan Mas Bayu dan Ibu yang masih asyik mengobrol di ruang tamu. Kami saling bercerita ke sana kemari , sekedar untuk mengakrabkan diri. Maklum, hanya selang satu bulan setelah menikah, aku langsung berangkat ke kota. Baru hari ini kami bertatap muka lagi setelah hampir setahun tak bertemu. Beberapa lama berbincang, aku pamit ke kamar untuk istirahat. Rasanya badan masih pegal semalaman di perjalanan.Sesampainya di kamar, aku langsung menyambar ponsel dari atas nakas lalu menjatuhkan bobot di atas pembaringan. Sambil rebahan, iseng-iseng aku membuka WA sekedar untuk melihat story teman-teman. Mataku tak berkedip menatap layar ponsel saat melihat story WA Mbak Nilam. Sebuah foto bayi dengan caption ‘Duh senangnya yang habis di gendong papa, tidur yang nyenyak ya sayang, nanti malam giliran mama’.Aku mulai membatin. “Tadi Mbak Ni
“Kamu kenapa, Dek, Kok mukanya kusut begitu?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. “Enggak kenapa-kenapa, cuma capek saja,” sahutku sambil terus menuju kamar.Biasanya aku selalu membagi perasaanku dengan Mas Bayu. Baik suka maupun duka selalu kuceritakan padanya. Namun, entah mengapa kali ini rasanya enggan. Sesampainya di kamar, aku langsung menjatuhkan bobotku di atas ranjang, lalu menenggelamkan wajah pada bantal. Pikiranku gelisah. Takut jika Mas Bayu benar-benar selingkuh dengan Mbak Nilam. Beberapa waktu aku larut dalam lamunan, terdengar bunyi derit pintu yang terbuka diikuti derap langkah kaki mendekat ke arahku. “Sudah magrib, Dek. Bangun dulu,” ucap Mas Bayu sembari menggoyang-goyangkan pundakku.Aku yang memang tak sedang tidur, langsung bangkit karena merasa terganggu oleh kedatangannya. “Iya,” jawabku singkat.
“Kamu selingkuh sama Mbak Nilam kan, Mas! Ayo mengaku!” teriakku dengan napas memburu.Mas Bayu yang sedang meneguk kopi langsung tersedak mendengar teriakanku. Dia terlihat panik sebentar, tapi kemudian tenang kembali. “Kamu ngomong apa sih, Dek?” tanya suamiku dengan wajah seperti kebingungan.“Halah! Enggak usah pura-pura bodoh, Mas! Aku sudah punya bukti kalau kamu selingkuh sama Mbak Nilam,” seruku. “Kamu jahat, Mas!” tambahku sambil berusaha memukulinya dengan bantal yang tadi tergeletak di sampingnya. “Hei... kamu kenapa sih, Dek. Bukti apa?” tanya Mas Bayu sambil terus berusaha menghalau pukulanku yang bertubi.Sejenak, aku berhenti memukulinya. Dengan nafas terengah, aku menatap nyalang pada laki-laki yang telah menghalalkanku. “Jangan mengelak terus! Aku tidak bodoh, Mas! Tadi malam kamu mandi keramas kan! Mbak Nilam juga aku lihat rambutnya tadi b
“Dari mana saja kamu sih, Dek? Di tunggu dari tadi enggak pulang-pulang!” Belum juga aku naik ke teras, Mas Bayu langsung bersungut-sungut menyambutku. Dari intonasinya, jelas sekali dia tengah menahan kesal. “Kan aku sudah bilang mau cari angin,” sahutku sambil terus berjalan masuk rumah, tanpa memedulikan dia yang terus menggerutu di belakangku.“Mana makanannya, Mbak?” tanya Sarah saat aku sampai di ruang tengah. Aku menghentikan langkah, menatap bingung pada adik iparku yang tengah duduk memegang ponsel.“Makanan apa?” tanyaku bingung.“Ya makanan, Mbak. Dari tadi kami belum makan apa-apa!” keluh adik iparku. “Kan tadi pagi Ibu sudah bilang kamu di suruh beli makanan. Kok malah pulang tangan kosong,” timpal Mas Bayu dari arah belakang.Sejenak aku mengalihkan pandangan ke wajah Mas Bayu. Aku baru ingat ucapan ibu tadi pagi, tapi aku pikir mereka bisa mel
Sepeda motor yang aku kendarai melaju kencang membelah jalanan desa yang sepi akan pengendara. Meski terik menyengat, tak sedikit pun menyurutkan niat untuk pulang ke rumah orang tua. Selain rindu yang menggebu, aku juga ingin menenangkan pikiran. Barangkali di sana aku menemukan ide untuk membongkar perselingkuhan Mas Bayu. Setengah jam berkendara, akhirnya aku sampai di kediaman orang tuaku. Sebuah rumah model lama dengan dinding terbuat dari anyaman bambu. Pohon mangga yang rimbun tampak berdiri kokoh di halaman yang lumayan luas ini.Mataku menatap rindu pada rumah di hadapanku. Sekelebat bayangan masa kecil melintas begitu saja di kepala. Masa di mana aku tak pernah merasakan beban seberat ini. Orang tuaku tidak kaya, tapi juga tak dibilang miskin. Meski rumah terlihat sederhana, mereka memiliki beberapa petak sawah yang cukup untuk menghidupi kami. Ruko yang mereka beli untukku merupakan hasil dari menjual sebagian sawah.