Share

BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA
BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA
Author: D'naya

Part 1

BAYI YANG KUBAWA DARI KOTA

" Usir! usir! teriak warga yang berkerumun di depan rumahku.

"Hei, keluar kau Amira! Jangan membuat malu di kampung kita! teriak Bu Mirna sembari menabuh ember yang membuat suasana semakin ribut.

Ibu-ibu lain yang terprovokasi juga ikut meneriakiku. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumahku. Badanku panas dingin, belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini.

Kudekap erat bayi dalam gendonganku, berjalan mondar-mandir memikirkan langkah apa yang harus kuambil. Kusibak tirai jendela untuk melihat kondisi di luar, ternyata kerumunan warga semakin banyak.

Kampung yang dulu terkenal dengan warganya yang ramah, mendadak beringas setelah mendengar berita kepulanganku. Seakan mata hati mereka sudah tertutup untuk melihat diriku dari sisi yang lain.

Sementara itu Safira, bayi mungil dalam gendonganku semakin menggeliat tak nyaman. Sepertinya dia tahu dengan apa yang aku rasakan. Apalagi bayi mungil itu sempat demam semalam, sesaat setelah sampai di kampung ini.

Mungkin pengaruh cuaca yang berbeda hingga tubuh mungilnya perlu beradaptasi dengan cuaca dingin di kampungku.

Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, karena untuk menjelaskan pada merekapun sepertinya tidak berguna. Emosi sudah benar-benar menguasai pikiran mereka. Apalagi ditambah provokasi dari ibu-ibu yang lain.

Keadaan semakin kacau, botol bekas, kerikil, bahkan ada juga yang nekat melempari kaca rumahku dengan batu.

Ketakutan dan kepanikan semakin merajai, namun aku tak bisa bersembunyi seperti ini terus menerus. Mereka harus kuhadapi, apapun yang terjadi.

Kalau hanya menyakitiku, itu bukan masalah karena tubuh ini sudah akrab dengan rasa sakit sejak kecil. Namun kalau mereka sampai berani menyakiti Safira, aku tak bisa tinggal diam.

Kuberanikan diri keluar untuk menghadapi mereka. Sementara Safira kuletakkan di atas tempat tidur. Sebenarnya tak tega meletakkan bayi mungil itu di sana, tempatnya masih berdebu karena belum sempat kubersihkan.

Baru saja aku membuka pintu, teriakan warga mulai terdengar riuh lagi. Bahkan ada seorang Ibu yang nekat hendak menjambakku. Untunglah Pak RT segera datang melerai sehingga tak terjadi hal yang lebih buruk.

Setelah bernegosiasi dengan warga namun tak ada titik temu, akhirnya hari itu juga aku harus meninggalkan lagi kampung halamanku.

Sebenarnya aku tak terima diperlakukan seperti ini, setidaknya mereka mau memberi kesempatan kepadaku untuk menjelaskan semuanya. Namun apa boleh buat, keputusan sudah diambil, aku harus pergi dari kampung ini.

Namaku Amira, gadis yatim piatu yang merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Beruntung di Jakarta aku berhasil mendapat pekerjaan di sebuah pabrik yang gajinya lumayan besar menurutku.

Di tempat itu pula aku mengenal Wildan kekasih yang sangat aku sayangi. Dia berjanji untuk menikahiku dan siap menerimaku apa adanya. Pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi, namun sebuah kecelakaan yang terjadi malam itu, menyebabkan semuanya hancur berantakan. Meski aku tak bisa menyalahkan Wildan sepenuhnya, namun rasa percayaku sudah hilang sejak peristiwa itu terjadi.

Bersamaan dengan peristiwa kecelakaan itu, lahirlah seorang bayi mungil ke dunia ini. Aku yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa itu, tak bisa meninggalkannya begitu saja, apalagi ibunya telah tiada.

Aku yang memang terlahir menjadi yatim sejak kecil, tergerak untuk merawat bayi tersebut. Namun tanpa kuduga sebelumnya, ternyata Wildan tak menyukai anak kecil hingga memberiku dua pilihan yang sulit. Membesarkan Safira seorang diri atau menikah dengan Wildan namun harus menyerahkan Safira pada orang lain.

Kebimbangan melanda hingga pernah berusaha menyerahkan Safira pada sebuah panti asuhan. Namun saat hendak kutinggalkan, kulihat air mata meleleh dari kedua sudut mata bayi mungil itu, seakan tak rela kutinggalkan.

Rasa sesak memenuhi rongga dadaku, membayangkan betapa beratnya hidup tanpa seorang ibu seperti yang pernah kurasakan. Tak ingin bayi mungil itu mengalami hal yang sama, segera kugendong lagi tubuh mungil tersebut.

Keputusan sudah kuambil, meski harus batal menikah dengan Wildan yang penting bayi ini tetap bersamaku.

Ketika aku bekerja, Safira kutitipkan pada tetangga yang bersedia membantuku. Setiap malam aku begadang demi menjaga Safira sementara siang harinya aku harus tetap bekerja.

Akibat kelelahan dan kurang tidur, aku sering di tegur atasan karena kinerjaku menurun. Bahkan pernah aku sampai ketiduran di tempat kerja hingga kesekian kalinya dan hari itu juga aku di pecat.

Karena tak lagi punya pekerjaan, kumantapkan hati untuk pulang ke kampung halaman dengan membawa Safira bersamaku. Setidaknya kalau di kampung, aku tak perlu memikirkan biaya sewa rumah, karena rumah itu peninggalan kedua orang tuaku. Sedangkan untuk makan sehari-hari, aku bisa bercocok tanam di kebun belakang rumah. Namun ekspektasi tak selalu sesuai dengan realita, karena kenyataannya aku justru diusir dari rumahku sendiri ketika baru saja sampai di kampung ini. Kemana aku harus pergi?

Tiba-tiba aku teringat dengan temanku yang tinggal di Jogja. Biarlah sementara waktu aku akan minta ijin untuk tinggal di sana. Setidaknya dengan keluar dari kampung ini, tak akan ada yang tahu tentang kehidupanku di masa lalu.

Rintik hujan semakin deras, kuselimuti bayi mungilku dengan kain tipis yang belum sempat kuganti sejak semalam.

Biarlah hari ini aku menderita, semoga suatu hari nanti akan kutemui bahagia bersama Safira.

Aku terus melangkah gontai menyusuri jalanan becek sisa hujan semalam. Untunglah Safira masih tertidur pulas dalam gendongan.

"Amira, ayo naik!"

Aku terkejut mendengar suara seseorang memanggilku. Rupanya itu suara Rani, tetangga rumahku yang sengaja menyusulku.

"Kenapa kamu mau membantuku?" tanyaku pada Rani masih penasaran.

"Sudah jangan banyak tanya. Ayo naiklah, kemana tujuanmu?" tanya Rani lagi.

"Tolong antar aku ke terminal Tidar!" Kusebutkan nama terminal di kotaku, yaitu Magelang, Jawa Tengah.

Beberapa menit kemudian, sampailah aku di terminal. Tujuanku adalah Yogyakarta, kota yang tidak begitu jauh dari kotaku sendiri.

"Sudah sampai Amira, kamu hati-hati ya. Jaga anakmu baik-baik!" Rani memelukku dengan erat, sembari menyelipkan dua lembar uang berwarna merah ke tanganku.

"Terima kasih Ran, kamu sudah sangat membantuku." kataku tulus.

Rupanya Rani disuruh Ibunya untuk menyusulku. Karena hanya mereka berdualah yang masih peduli kepadaku. Namun mereka tak berani membantuku terang-terangan saat aku diusir warga tadi, takut menjadi sasaran warga katanya.

Setelah mendapatkan bus yang hendak kunaiki, aku segera mencari tempat duduk yang nyaman. Untunglah bus masih banyak yang kosong sehingga bisa leluasa memilih tempat duduk.

Pantatku terasa penat setelah semalam naik bus dari Jakarta-Magelang dan kini harus naik bus lagi dari Magelang-Yogyakarta.

"Jombor ... Jombor ..." teriak kernet angkot yang mengejutkanku.

Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku.

Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status