Share

Part 2

Bayi yang Kubawa dari Kota

Part 2

Rupanya aku telah sampai di tempat tujuan, namun aku kaget karena tas yang kugunakan untuk menyimpan uang, telah raib entah kemana. Tersisa tas pakaian yang berada dibawah kakiku.

Ya Allah, cobaan apa lagi ini, bagaimana nanti aku mencari kontrakan? Padahal semua uangku berada dalam tas itu. Aku merasa sangat bodoh, bisa-bisanya aku ketiduran dalam situasi seperti ini.

Ingin bertanya pada orang lain juga tidak mungkin, karena kebanyakan penumpang sudah turun dan berganti dengan penumpang yang lain. Untunglah tadi sudah membayar ongkos bus terlebih dulu, sehingga tak perlu malu karena tak bisa membayar.

Dengan langkah gontai aku keluar dari area terminal Jombor. Tak tahu lagi kemana arah tujuanku, apalagi ponsel satu-satunya ikut raib di dalam tas itu.

Safira mulai menangis, pasti bayiku itu lapar dan haus. Segera aku menuju penjual angkringan yang mangkal di daerah situ untuk meminta air panas guna menyeduh susu.

Untunglah Ibu penjualnya sangat baik, bersedia memberi air panas untukku.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya karena sejak tadi langit sudah sangat mendung.

"Mau kemana Nduk?" tanya Ibu penjual angkringan disela sela aktifitasnya menggoreng teme.

"Sebenarnya saya mau mencari alamat tempat tinggal teman saya, tapi_" Aku ragu untuk meneruskan kalimat, hingga ibu itu bertanya kembali.

"Tapi apa Nduk?"

"Saya baru saja kecopetan Bu, padahal uang dan alamat yang akan saya cari ada dalam tas itu. Sekarang saya bingung mau kemana lagi, uang tak ada, sanak saudara juga tak punya." jawabku jujur.

"Ya Allah Nduk, kasihan sekali kamu. Itu anakmu atau adikmu? tanyanya seraya menunjuk bayi dalam gendonganku.

Mungkin Ibu-nya tak percaya kalau Safira anakku, karena usiaku memang masih muda yaitu 23 tahun, apalagi banyak yang bilang wajahku masih terlihat seperti anak SMA.

"I ... ini anak saya Bu." jawabku gugup.

"Maaf Nduk, bukan Ibu mau turut campur. Kalau boleh tahu kemana ayahnya, dan kenapa bayimu malah kamu bawa pergi?" tanya Ibu itu hati-hati.

"Maaf Bu, saya tidak bisa menceritakan masalah saya kepada Ibu." jawabku lirih.

Meski kelihatannya orang itu baik, namun aku tak bisa percaya begitu saja untuk menceritakan masalahku. Apalagi, orang itu belum aku kenal sama sekali.

"Oek ... oek" Tiba-tiba Safira menangis lagi. Aku semakin bingung, apalagi hari sudah semakin sore. Kemana lagi akan kubawa pergi bayiku ini?

Terminal semakin sepi, sementara hujan masih turun dengan derasnya, namun aku masih belum tahu kemana kaki harus melangkah.

"Nduk, kalau tak keberatan kamu bisa tinggal sementara di rumahku. Tak jauh dari sini kok, kami hanya tinggal berdua dengan suamiku. Kasihan bayimu, tidak baik juga buat kamu. Jangan takut, anggap saja saya sebagai ibumu, namaku Ratmi." ujar Bu Ratmi terlihat bersungguh-sungguh.

Setelah berpikir sejenak, kuputuskan untuk menerima saja tawaran Bu Ratmi, karena tubuhku juga sudah sangat lelah.

Mungkin inilah jalanku untuk bisa bertahan hidup di kota ini. Biarlah untuk sementara aku akan menumpang di rumah Bu Ratmi, baru nanti akan mencari kontrakan sendiri setelah mendapatkan uang.

Bu Ratmi segera membereskan dagangannya, selain sudah tidak ada pengunjung, mungkin juga karena kasihan melihat aku dan Safira yang kedinginan.

Setelah membereskan dagangannya, kami berjalan menyusuri gang menuju ke rumahnya. Untunglah hujan sudah reda, sehingga kami bisa berjalan dengan leluasa.

Bu Ratmi, orangnya mudah akrab sehingga akupun merasa nyaman berada di dekatnya. Beliau juga menceritakan tentang kehidupannya bersama sang suami.

Biasanya Bu Ratmi hanya berjualan saja, nanti Pak Yanto, suami Bu Ratmi yang akan membawa pulang gerobaknya sepulang bekerja sebagai juru parkir.

Sesampainya di rumah Bu Ratmi, aku di suruh beristirahat di kamar depan. Meski rumahnya tergolong sederhana namun terlihat bersih sehingga aku cukup nyaman berada di sini.

Pagi harinya, aku terbangun karena terdengar suara peralatan masak yang di gunakan oleh pemiliknya. Rupanya sudah jam lima pagi, pantas saja Bu Ratmi sudah sibuk.

Safira masih tertidur pulas di sampingku. Bayi mungil itu mungkin juga merasa lelah sepertiku. Setelah mengganti diapersnya, segera kutinggalkan bayi mungil itu untuk membantu Bu Ratmi.

Ketika sedang menyapu halaman, kulihat beberapa tetangga Bu Ratmi, berbisik-bisik sambil sesekali menoleh ke arahku. Rupanya kehadiranku di rumah ini menarik perhatian mereka.

"Neng, warga baru ya di sini, kok baru lihat?" tanya seorang ibu yang juga sedang menyapu sepertiku.

"Iya Bu." jawabku singkat.

"Neng siapanya Bu Ratmi?" tanya Ibu itu lagi.

Mendapat pertanyaan seperti itu, tentu saja aku bingung menjawabnya, karena memang aku hanya orang asing yang tak ada hubungannya dengan keluarga ini.

"Nduk, ayo sarapan dulu!" kata Bu Ratmi yang sudah berada di belakangku.

Aman, pikirku. Untunglah Bu Ratmi datang di saat yang tepat sehingga aku tak perlu menjawab pertanyaan dari tetangganya itu.

"Siapa dia Bu?" tanya Ibu tadi, seraya tangannya menunjuk ke arahku.

Mungkin karena tak mendapat jawaban dariku sehingga dia memilih bertanya langsung pada Bu Ratmi.

"Keponakan Bu, baru datang tadi malam." jawab Bu Ratmi melindungiku.

"Ah, yang bener Bu? Bukannya keponakan Bu Ratmi cowok semua ya?" tanya Ibu itu lagi.

"Hati-hati lho Bu, jangan sampai nanti menggoda Pak Yanto!" seru Ibu yang lain.

"Ayo Nduk, masuk saja. Nggak usah didengerin omongan mereka." kata Bu Ratmi sembari menarik lenganku masuk ke dalam rumah.

Ya Allah, kenapa semua orang seakan membenciku. Haruskah aku tetap bertahan atau pergi saja dari tempat ini?

Setelah mengembalikan sapu pada tempatnya, aku segera mencuci tangan dan menuju kamar untuk melihat Safira kalau-kalau bayi mungil itu sudah bangun.

"Gimana, sudah bangun belum anakmu?" tanya Bu Ratmi yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Belum Bu, masih nyenyak tidurnya." jawabku apa adanya.

"Ya sudah, biarkan saja. Bayi usia segitu memang masih banyak tidurnya. Ayo kita sarapan dulu, itu sudah Ibu siapkan di meja makan!" kata Bu Ratmi lagi.

"Baik Bu." jawabku sungkan, meski tetap mengikuti langkah Bu Ratmi menuju meja makan. Tampak di sana Pak Yanto sedang duduk menikmati kopinya.

"Nduk, hari ini kamu di rumah saja. Bapak sama Ibu akan bekerja seperti biasa. Kamu pasti masih lelah, istirahat saja dulu di rumah ini." ujar Pak Yanto bijak.

"Terima kasih Pak, maaf kalau saya jadi merepotkan Bapak dan Ibu. Tapi kalau boleh, saya akan mencari kontrakan saja, takut menjadi masalah untuk Bapak dan Ibu." jawabku lirih.

"Tapi kenapa Nduk, kamu tak nyaman tinggal di sini? Apa karena ucapan ibu-ibu tadi?" tanya Bu Ratmi kemudian.

"Iya Bu, terus terang saya merasa tak nyaman dengan ucapan mereka. Takut menjadi salah paham nantinya." jawabku terus terang.

Mendengar jawabanku, Bu Ratmi dan Pak Yanto hanya diam saling pandang. Sementara aku, harap-harap cemas menanti jawaban mereka.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status