Share

Part 8

Bayi yang Kubawa dari Kota

Setelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya.

"Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar.

"Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar.

"Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi.

"Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku.

"Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah.

"Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi." kata Wildan berusaha membela diri.

Meski memang benar yang diucapkannya, namun aku tak mau menyerah begitu saja. Ponselku memang hilang sewaktu di bus kemarin, jadi Wildan tak mungkin bisa menghubungiku lagi.

"Percuma Wildan, sekarang juga kamu pergi dari sini sebelum aku berteriak! Bawa juga gadis ini, aku tak mau melihatnya!" ancamku pada Wildan sembari menunjuk gadis di sebelahnya.

"Dia saudara sepupuku, kamu masih ingat kan dia pernah nganterin aku waktu motorku masuk bengkel?" tanya Wildan berusaha mengalihkan perhatian agar aku tak mengusirnya.

"Bodo amat, aku gak nanya! Pergi sekarang, aku mau istirahat. Ganggu orang aja." jawabku ketus sembari melipat tangan di dada.

Rasanya sebal sekali malam-malam bagini datang pengganggu. Meski masih ada sedikit rasa untuk Wildan, namun rasa benciku lebih mendominasi.

Dia yang dulu sangat kucinta, yang berjanji untuk setia hingga menua bersama nyatanya tega meninggalkanku dengan beribu luka.

Wildan tega memutuskanku di saat rencana pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi. Bahkan dia juga tega meninggalkanku saat aku kerepotan mengurus Safira seorang diri.

Hidupku serasa hancur saat itu, seakan dunia runtuh menimpaku. Harapanku telah sirna bersama kepergiannya. Namun, kini saat aku mulai bangkit dan menata hidupku kembali, dengan mudahnya dia datang mengacaukan segalanya.

Meski untuk saat ini aku membutuhkan dukungan, namun tidak dengan serta merta aku akan menerimanya. Kalau hanya bersama Safira aku bisa bahagia, kenapa harus membagi cinta yang hanya membuat luka?

"Mbak, dengarlah dulu! Kasihan Mas Wildan, dia sampai frustasi karena bingung mencari kalian. Safira juga butuh sosok ayah Mbak, pikirkan itu baik-baik," kata gadis itu berusaha meluluhkan hatiku.

"Diam kamu, aku tak butuh nasihatmu! Pergi kalian, dan jangan berani datang ke rumah ini lagi!" teriakku marah sembari menutup pintu.

Tubuhku merosot di balik pintu, kenangan indah di masa lalu berkelebatan menggangguku. Kenangan yang bisa membuatku tersenyum bahagia, namun sampai di titik Wildan meninggalkanku, seketika emosiku kembali menguasai.

Wildan yang dulu kuharap bisa memberikan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan semenjak orang tuaku tiada, namun nyatanya justru menambah luka.

Wildan pergi disaat aku membutuhkannya. Safira, itulah alasannya meninggalkanku. Dia tak mau aku merawat bayi mungil yang tak berdosa itu. Untunglah naluriku masih bekerja dengan baik sehingga aku tetap merawatnya sampai kini.

Aku tak mau Safira hidup sepertiku, tak merasakan kasih sayang dari ayah maupun ibu. Semenjak kecil aku hanya di rawat oleh nenekku. Setelah nenek tiada, aku berjuang sendiri yang waktu itu baru kelas dua SMA.

Demi menyambung hidup, aku bekerja serabutan menjadi kuli pembungkus tempe setelah pulang sekolah. Untunglah saat itu ada Rani dan ibunya yang selalu membantu di saat aku kesulitan.

Setelah lulus sekolah, aku mencoba merantau ke Jakarta dan di terima bekerja di sebuah pabrik yang gajinya lumayan besar menurutku. Di pabrik itu juga aku bertemu Wildan kekasihku yang sangat aku cintai, namun nyatanya justru hanya membuatku terluka.

Sebuah peristiwa besar terjadi dalam hidupku, yang mengingatkanku tentang arti pengorbanan seorang ibu. Kelahiran Safira mampu mengubah hidupku, aku telah jatuh cinta sejak kelahirannya.

Namun sayang, niatku membesarkan Safira justru di tentang oleh Wildan. Dia merasa belum siap untuk membantuku merawatnya. Akan tetapi semakin dia melarang, cintaku pada Safira semakin besar. Aku tak tega jika harus menelantarkannya.

Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk merawatnya meski apapun yang terjadi. Tak ada alasan bagiku untuk meninggalkannya. Apalagi, Safira adalah amanah yang dititipkan oleh ibunya kepadaku. Safira sudah menjadi yatim sejak lahir. Kesamaan nasib itulah yang membuatku bersikeras untuk tetap merawatnya.

Satu hal yang selalu kutanamkan dalam hatiku, Allah telah mengirimkan Safira padaku untuk menemani hari-hariku.

"Mama ...." seketika lamunanku buyar oleh rengekan Safira yang memanggilku.

Kususut air mataku sebelum akhirnya menghampiri Safira. Aku tak ingin Safira melihatku yang sedang menangis.

Rupanya Safira kehausan, setelah kubuatkan susu, anak itu kembali lelap dalam tidurnya. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat dia tertidur lelap seperti ini, seakan hidupnya memang tanpa beban.

Aku menyesal dulu pernah menuruti permintaan Wildan untuk memberikan Safira ke panti asuhan. Untunglah saat akan kutinggalkan, bayi mungil itu menangis seakan menghiba agar aku kembali merawatnya.

Saat itu juga aku tersadar. Bagaimana kalau dia mencariku, siapa yang akan menenangkannya?

Hingga akhirnya aku kembali membawanya pulang bersamaku, meski dengan itu Wildan harus pergi meninggalkanku. Aku hanya berharap Safira tumbuh menjadi anak sholehah yang bisa menolongku di dunia hingga akhirat nanti.

Setelah puas memandangi Safira yang terlelap, aku teringat dengan dua orang tadi yang masih berada di luar. Segera aku kembali ke depan untuk memastikan kedua orang tadi sudah pergi atau belum.

Syukurlah, aku bisa bernapas lega karena keduanya telah pergi. Semoga saja mereka tak lagi datang kemari untuk mengusik kehidupanku bersama Safira.

Baru saja ingin merebahkan tubuh di sebelah Safira, sebuah pesan di aplikasi hijau masuk ke ponselku, mungkin dari pelanggan pikirku. Biarlah kubalas besok saja, karena memang sudah jam sepuluh malam, sudah waktunya beristirahat.

Berulang kali kuganti posisi tidur namun sepertinya mata ini enggan terpejam. Bayang-bayang Wildan yang datang memintaku kembali seakan tak mau enyah dari pikiranku.

Karena tak kunjung terpejam, akhirnya kuraih lagi ponsel yang tadi sudah kuletakkan dan iseng membuka chat yang baru saja masuk.

[Sayang, tolong besok temui aku di cafe Cinta dekat taman kota ya]

Pesan dari siapa ini, tak biasanya ada orang yang menyebutku dengan panggilan sayang. Kalau memang Wildan, dari mana dia dapat nomer ponselku, atau mungkin dari Bu Ratmi?

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status