Bayi yang Kubawa dari Kota
Setelah berhasil mengendalikan emosi, perlahan aku bangkit dan menghampiri keduanya."Untuk apa kalian ke sini?" tanyaku datar."Maafkan aku Amira, aku salah sudah meninggalkanmu." kata Wildan hendak menyentuh bahuku, namun segera kutepis dengan kasar."Baru sekarang kamu minta maaf, kemana saja selama ini hah?" sengitku yang mulai terpancing emosi lagi."Iya aku salah, aku sangat menyesal karena telah meninggalkanmu bersama bayi itu. Mulai sekarang kembalilah padaku, kita mulai lagi dari awal." kata Wildan lagi masih berusaha meyakinkanku."Setelah apa yang kamu lakukan, susah rasanya untuk menuruti keinginanmu. Apalagi kamu pernah melarangku merawat Safira, aku tak yakin kamu nanti bisa menerimanya begitu saja." sengitku tak mau kalah."Dengarkan dulu Amira, berulang kali aku mencarimu namun aku telah kehilangan jejakmu. Kontrakanmu yang dulu aku datangi, namun nihil tak ada yang tahu kemana kepergianmu. Bahkan nomor telponmu tak bisa dihubungi lagi." kata Wildan berusaha membela diri.Meski memang benar yang diucapkannya, namun aku tak mau menyerah begitu saja. Ponselku memang hilang sewaktu di bus kemarin, jadi Wildan tak mungkin bisa menghubungiku lagi."Percuma Wildan, sekarang juga kamu pergi dari sini sebelum aku berteriak! Bawa juga gadis ini, aku tak mau melihatnya!" ancamku pada Wildan sembari menunjuk gadis di sebelahnya."Dia saudara sepupuku, kamu masih ingat kan dia pernah nganterin aku waktu motorku masuk bengkel?" tanya Wildan berusaha mengalihkan perhatian agar aku tak mengusirnya."Bodo amat, aku gak nanya! Pergi sekarang, aku mau istirahat. Ganggu orang aja." jawabku ketus sembari melipat tangan di dada.Rasanya sebal sekali malam-malam bagini datang pengganggu. Meski masih ada sedikit rasa untuk Wildan, namun rasa benciku lebih mendominasi.Dia yang dulu sangat kucinta, yang berjanji untuk setia hingga menua bersama nyatanya tega meninggalkanku dengan beribu luka.Wildan tega memutuskanku di saat rencana pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi. Bahkan dia juga tega meninggalkanku saat aku kerepotan mengurus Safira seorang diri.Hidupku serasa hancur saat itu, seakan dunia runtuh menimpaku. Harapanku telah sirna bersama kepergiannya. Namun, kini saat aku mulai bangkit dan menata hidupku kembali, dengan mudahnya dia datang mengacaukan segalanya.Meski untuk saat ini aku membutuhkan dukungan, namun tidak dengan serta merta aku akan menerimanya. Kalau hanya bersama Safira aku bisa bahagia, kenapa harus membagi cinta yang hanya membuat luka?"Mbak, dengarlah dulu! Kasihan Mas Wildan, dia sampai frustasi karena bingung mencari kalian. Safira juga butuh sosok ayah Mbak, pikirkan itu baik-baik," kata gadis itu berusaha meluluhkan hatiku."Diam kamu, aku tak butuh nasihatmu! Pergi kalian, dan jangan berani datang ke rumah ini lagi!" teriakku marah sembari menutup pintu.Tubuhku merosot di balik pintu, kenangan indah di masa lalu berkelebatan menggangguku. Kenangan yang bisa membuatku tersenyum bahagia, namun sampai di titik Wildan meninggalkanku, seketika emosiku kembali menguasai.Wildan yang dulu kuharap bisa memberikan kebahagiaan yang tak pernah kurasakan semenjak orang tuaku tiada, namun nyatanya justru menambah luka.Wildan pergi disaat aku membutuhkannya. Safira, itulah alasannya meninggalkanku. Dia tak mau aku merawat bayi mungil yang tak berdosa itu. Untunglah naluriku masih bekerja dengan baik sehingga aku tetap merawatnya sampai kini.Aku tak mau Safira hidup sepertiku, tak merasakan kasih sayang dari ayah maupun ibu. Semenjak kecil aku hanya di rawat oleh nenekku. Setelah nenek tiada, aku berjuang sendiri yang waktu itu baru kelas dua SMA.Demi menyambung hidup, aku bekerja serabutan menjadi kuli pembungkus tempe setelah pulang sekolah. Untunglah saat itu ada Rani dan ibunya yang selalu membantu di saat aku kesulitan.Setelah lulus sekolah, aku mencoba merantau ke Jakarta dan di terima bekerja di sebuah pabrik yang gajinya lumayan besar menurutku. Di pabrik itu juga aku bertemu Wildan kekasihku yang sangat aku cintai, namun nyatanya justru hanya membuatku terluka.Sebuah peristiwa besar terjadi dalam hidupku, yang mengingatkanku tentang arti pengorbanan seorang ibu. Kelahiran Safira mampu mengubah hidupku, aku telah jatuh cinta sejak kelahirannya.Namun sayang, niatku membesarkan Safira justru di tentang oleh Wildan. Dia merasa belum siap untuk membantuku merawatnya. Akan tetapi semakin dia melarang, cintaku pada Safira semakin besar. Aku tak tega jika harus menelantarkannya.Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk merawatnya meski apapun yang terjadi. Tak ada alasan bagiku untuk meninggalkannya. Apalagi, Safira adalah amanah yang dititipkan oleh ibunya kepadaku. Safira sudah menjadi yatim sejak lahir. Kesamaan nasib itulah yang membuatku bersikeras untuk tetap merawatnya.Satu hal yang selalu kutanamkan dalam hatiku, Allah telah mengirimkan Safira padaku untuk menemani hari-hariku."Mama ...." seketika lamunanku buyar oleh rengekan Safira yang memanggilku.Kususut air mataku sebelum akhirnya menghampiri Safira. Aku tak ingin Safira melihatku yang sedang menangis.Rupanya Safira kehausan, setelah kubuatkan susu, anak itu kembali lelap dalam tidurnya. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat dia tertidur lelap seperti ini, seakan hidupnya memang tanpa beban.Aku menyesal dulu pernah menuruti permintaan Wildan untuk memberikan Safira ke panti asuhan. Untunglah saat akan kutinggalkan, bayi mungil itu menangis seakan menghiba agar aku kembali merawatnya.Saat itu juga aku tersadar. Bagaimana kalau dia mencariku, siapa yang akan menenangkannya?Hingga akhirnya aku kembali membawanya pulang bersamaku, meski dengan itu Wildan harus pergi meninggalkanku. Aku hanya berharap Safira tumbuh menjadi anak sholehah yang bisa menolongku di dunia hingga akhirat nanti.Setelah puas memandangi Safira yang terlelap, aku teringat dengan dua orang tadi yang masih berada di luar. Segera aku kembali ke depan untuk memastikan kedua orang tadi sudah pergi atau belum.Syukurlah, aku bisa bernapas lega karena keduanya telah pergi. Semoga saja mereka tak lagi datang kemari untuk mengusik kehidupanku bersama Safira.Baru saja ingin merebahkan tubuh di sebelah Safira, sebuah pesan di aplikasi hijau masuk ke ponselku, mungkin dari pelanggan pikirku. Biarlah kubalas besok saja, karena memang sudah jam sepuluh malam, sudah waktunya beristirahat.Berulang kali kuganti posisi tidur namun sepertinya mata ini enggan terpejam. Bayang-bayang Wildan yang datang memintaku kembali seakan tak mau enyah dari pikiranku.Karena tak kunjung terpejam, akhirnya kuraih lagi ponsel yang tadi sudah kuletakkan dan iseng membuka chat yang baru saja masuk.[Sayang, tolong besok temui aku di cafe Cinta dekat taman kota ya]Pesan dari siapa ini, tak biasanya ada orang yang menyebutku dengan panggilan sayang. Kalau memang Wildan, dari mana dia dapat nomer ponselku, atau mungkin dari Bu Ratmi?Bersambung....Bayi yang Kubawa dari Kota'Tidak! Itu tak boleh terjadi, kakiku baik-baik saja. Kucoba sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki, namun usahaku sia-sia. Kedua kakiku tetap diam tak bergerak. Mama dan Mas Yusuf tampak saling pandang melihat usahaku yang sia-sia. Perlahan kulihat kaca-kaca bening mulai berjatuhan dari kedua sudut mata Mama. Apa yang aku lihat, sudah mewakilkan penjelasan yang tidak mereka katakan. Hatiku hancur seketika, takut membayangkan kedepannya bagaimana caraku hidup dengan kedua kaki yang lumpuh. "Tida ... ak!" Seketika aku kalap, tak bisa mengendalikan emosiku sendiri. Kuraih apa saja yang ada di dekatku dan melemparkannya ke sembarang arah. Mama terlihat panik dan segera memelukku erat, aku menangis tergugu dalam dekapannya. Aku merasa menjadi orang yang paling malang sedunia, merutuki nasib buruk yang seolah selalu akrab denganku. Dari sekian banyak orang di dunia ini, kenapa harus aku Ya Tuhan? Rasanya aku sudah tak punya semangat lagi untuk hidup, bayanga
Bayi yang Kubawa dari Kota Part 26Setelah pembagian selesai, kami pamit berziarah ke makam keluargaku untuk selanjutnya pulang ke Jogja. Sesampainya di makam, kutumpahkan segala kerinduan pada keluargaku yang berada di bawah batu nisan itu. Kusirami makam itu dengan air do'a dan taburan bunga. Mama ikut terharu melihatku menangis di atas pusara keluargaku. Gerimis mulai turun ketika kami selesai berdo'a. Mas Yusuf dengan sigap berlari mengambil payung dan mengajak kami segera memasuki mobil. Hatiku berbunga-bunga melihat perhatian yang ditunjukkannya. Perlahan mobil yang kami tumpangi keluar dari area pemakaman. Setelah berhenti di restoran untuk makan siang, mobil yang kami tumpangi kembali melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Sementara itu, hujan semakin deras mengguyur sepanjang jalan, sehingga membuat sopir harus ekstra hati-hati. Mas Yusuf duduk di depan bersama sopir, sementara aku berada di bangku belakang bersama Mama dan Safira. Mungkin karena kelelahan, anak itu sudah
Bayi yang Kubawa dari KotaMeskipun sekarang sudah berjilbab, namun tetanggaku tetap bisa mengenaliku. Mereka berbisik-bisik mengetahui kepulanganku. "Masih punya nyali untuk pulang ya, atau karena sudah tak punya muka jadi hilang rasa malunya?" Spontan aku menoleh pada sebuah suara yang sangat aku kenal.Tak kuhiraukan cibirannya, aku terus berjalan melewatinya begitu saja. "Ee ... di tanya kok malah pergi, dasar bocah tak tahu malu. Amit-amit dah punya mantan warga kayak kamu!" teriaknya lagi semakin membuatku emosi. Sebisa mungkin kutahan amarahku agar tak lagi membuat kekacauan di kampung ini. Aku hanya ingin hidupku tenteram, tak ingin lagi ada amarah apalagi dendam. Namun semakin dibiarkan, sepertinya ibu satu itu semakin kelewatan. "Ibu-ibu, sini deh! Lihat tuh, Si Amira pulang lagi ke kampung kita. Pasti dia mau bikin ulah lagi di kampung ini!" teriak Bu Mirna, kembali memprovokasi warga. Satu persatu tetanggaku keluar, mereka ingin membuktikan kebenaran ucapan Bu Mirna.
Bayi yang Kubawa dari KotaPart 24Setelah menerima panggilan dari Mak Ijah, Mama meminta sopir untuk memutar balik mobilnya dan pulang ke rumah. Entah apa yang terjadi, karena Mama tak mengatakan alasannya. Selama perjalanan pulang, kami semua hanya diam dengan pikiran masing-masing. Sesekali hanya menyahuti celotehan Safira yang tak bosan menanyakan apa yang dilihatnya. Sesampainya di rumah, tampak dua orang berseragam dealer sedang menunggu kami. Mereka duduk di teras rumah ditemani Mak Ijah. Melihat kami turun, mereka segera menghampiri Mama dan Mas Yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi kulihat mereka pergi setelah menyerahkan sebuah kunci mobil kepada Mama. Setelah mereka pergi, Mama datang menghampiriku dan mengajakku untuk menuju garasi. Di dalam sana, tampak tiga buah mobil berjajar rapi. Aku penasaran untuk apa Mama membeli mobil baru, bukankah sudah ada dua buah sebelumnya? Satu untuk Mas Yusuf bekerja dan satunya untuk Mama. "Amira, karena sebentar lagi kamu a
Bayi yang Kubawa dari KotaSafira yang menjadi rebutan Papa dan Omanya justru berlari ke arahku. Anak itu minta dimandikan dan memakai baju baru. Segera kuturuti permintaan Safira, berharap dengan menghilang dari pandangan Mas Yusuf akan sedikit bisa menetralkan degup jantungku. Namun aku salah, kemanapun aku pergi bayangannya tak juga menghilang dari ingatanku. Menempel di dinding seperti cicak, berenang di air seperti bebek bahkan di wajah Safira juga ada bayangan Mas Yusuf. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta?Setelah mandi dan berganti baju, Safira kembali menggelayut di paha Mas Yusuf. Anak itu seakan tak mau lepas dari papanya. "Horee__ aku punya Papa sama Mama seperti Icha. Sekarang dia tak akan bisa mengejekku tak punya Papa." celoteh Safira kegirangan menceritakan teman bermainnya dulu sewaktu di kontrakan. Mendengar celotehan Safira, Mama kembali menitikkan air mata. Mungkin sedih membayangkan kondisi kami sebelumnya. "Oma kenapa nangis? Oh ya, tadi Safira mimpi ketemu
Bayi yang Kubawa dari KotaDemi memantapkan pilihan, kucoba menyerahkan bayi itu ke panti asuhan, meski berat namun aku akan berusaha untuk kuat. Ketika bayi itu hendak kutinggalkan, kukecup sekali lagi bayi tak berdosa itu. Tanpa kusadari, air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tangannya bergerak gerak seakan mencegah kepergianku. Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku membawanya kembali bersamaku?Hatiku hancur membayangkan seandainya hal itu terjadi kepadaku. Dicampakkan dari satu tangan ke tangan lainnya demi untuk mendapatkan belas kasihan orang. Sungguh aku tak rela itu terjadi kepadanya. Cukup aku saja yang mengalami pedihnya hidup tanpa orang tua, tanpa kasih sayangnya hingga semakin akrab dengan derita dan duka lara. Kuambil kembali bayi mungil itu, kudekap erat di dadaku. Kami menangis bersama, dalam hati aku berjanji tak akan lagi meninggalkannya apapun yang terjadi. Wildan marah besar setelah aku mengatakan untuk tetap merawat bayi itu. Secara sepihak dia memutu
Bayi yang Kubawa dari KotaWanita itu terus menjerit menahan sakit, hingga tak lama kemudian lahirlah bayi perempuan yang cantik dan menggemaskan. Atas inisiatif warga, maka di panggillah seorang bidan terdekat untuk menangani perempuan itu dan bayinya. Wanita itu tampak tersenyum melihat bayi mungilnya, begitupun denganku yang langsung jatuh cinta begitu melihatnya. "Dek, siapapun kamu, tolong rawat anak ini baik-baik ya? Aku minta sama kamu, apapun yang terjadi jangan berikan bayi ini pada siapapun. Kamu orang baik, karena itu aku percaya kepadamu." kata wanita itu dengan suara serak. Aku tak percaya mendengar permintaannya. Bukankah bayi itu miliknya, kenapa harus diserahkan padaku? Sungguh aku tak mengerti jalan pikirannya waktu itu. Haruskah aku menerima permintaannya?Tak bisa kubayangkan bagaimana caraku merawat bayi mungil itu. Menikah saja belum, apalagi merawat bayi seorang diri, pasti akan banyak resiko yang harus aku tanggung nantinya. Setelah mengatakan itu, perlahan
Bayi yang Kubawa dari KotaKali ini semua mata tertuju padaku, sedangkan aku sendiri tak tahu apa maksud dari ucapannya itu. "Apa maksud dari ucapanmu, jelaskan sekarang!" Bentak Mas Yusuf marah. "Sampai kapanpun, aku tak akan memberitahumu. Satu hal yang perlu kamu tahu, bahwa anakmu masih hidup. Silakan cari sendiri keberadaannya ha ... ha ...ha ...." Kali ini tawa Safitri terdengar sangat menyebalkan, bahkan membuat Mas Yusuf mengepalkan kedua tangannya. Kalau bukan seorang perempuan, mungkin orang itu sudah habis di hajarnya. "Sudah Pak, saya serahkan mereka kepada kalian. Hukum mereka sesuai perbuatannya!" kata Mas Yusuf kepada polisi untuk mengakhiri perdebatan. Setelah itu, Mas Yusuf mengajak kami pulang. Safira sudah sejak tadi tertidur dalam gendonganku. Mungkin anak itu kelelahan dan tertekan selama dalam penculikan. Karena itu kini dia tertidur pulas saat sudah merasa aman. Selama dalam perjalanan, kami hanya diam dengan pikiran masing-masing. Aku sendiri belum menger
Bayi yang Kubawa dari KotaMalam harinya, aku benar-benar tak bisa memejamkan mata walau sekejap. Bayanganku terus berkelana, memikirkan kemungkinan yang terjadi dengan Safira. Bagaimana jika anak itu menangis mencariku? Biasanya dia tidur dalam dekapanku, bangun tengah malam minta susu. Lalu sekarang, siapa yang akan membuatkannya? Hingga azan Subuh berkumandang, mata ini tetap tak mau terpejam. Segera aku bangkit mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku. Dalam sujudku, tak lupa teriring do'a untuk Safira, di manapun dia berada, semoga Allah selalu menjaganya. Pagi itu, Mama sengaja datang ke rumahku untuk mengantar sarapan juga memberi suport kepadaku. Untuk saat ini, memang itulah yang sangat aku butuhkan. Hidupku terasa hampa tanpa Safira, seakan separuh jiwaku pergi bersamanya. Berulang kali Mama membujukku untuk sarapan, namun selalu aku tolak. Rasa laparku seakan menguap entah ke mana. Padahal perutku belum terisi apapun sejak Safira menghilang. "Ayo Nak, makanlah