"Jika aku boleh memilih, harusnya aku menjadi seorang putri bangsawan daripada menjadi monster penghisap gairah."
Pengharapan di salah satu bilik pengakuan dosa menjadi menutup uraian segala salah yang pernah kulakukan semasa hidup. Tak ada tangis atau bahkan penyesalan yang menelusup dalam hati.
Suara gemericik membuatku sadar bahwa Jean masih berada di bilik yang lain. Lantas, lekas kuselesaikan ritual dengan menjanjikan satu hal.
"Jika Kau ampuni dosa dan khilafku selama hidup karena takdirMu-lah yang menuntunku, aku akan menjadi manusia yang lebih baik nantinya."
Tiba-tiba suara ketukan dari bilik sebelah terdengar. Tanpa kujawab, Jean sudah menguntai kata. "Sepertinya, kau tak pernah melakukan hal yang salah, Grace."
Aku mengernyit, lantas segera ke luar bilik. "Tak baik mendengar pengakuan dosa orang lain, Jean."
Jean mengintip dari balik tirai. Ia meng
Kubuka kedua mata meski berat terasa. Hanya silau cahaya yang kudapat. Sudah matikah aku?Kukerjap-kerjapkan mata, berharap seberkas cahaya itu segera hilang dan berganti dengan pemandangan yang biasa kutemukan saat baru bangun di kasur apartemen. Sayangnya, bukan itu yang kudapatkan.Beruntung, sebelum pergi ke dunia bawah aku telah mengakui semua dosa yang kubuat. Setidaknya, dosa yang kubawa ke alam baka tak sebanyak sebelumnya."Grace?"Aku menoleh, mencari sumber suara yang memanggil namaku. Kurasa aku mengenal suara itu."Hard? Aku masih hidup?"Lantas terdengar tawa khas yang menggema, lalu disusul oleh tepukan tangan. Aku masih mencoba meraba-raba di mana keberadaan Hard."Jangan memaksakan diri. Kau masih hidup saja sebuah keberuntungan tersendiri."Aku mengernyit heran, lantas menajamkan telinga dan penciuma
"Sudah siap?"Aku masih tercengang kala mendapati sosok itu berdiri di depan pintu. Ada kalanya, harus merasuk lebih dalam dari biasanya. Entah mengapa, tapi melihatnya menyungging senyum meski dengan gurat wajah penuh lelah membuatku lega seketika."Untuk?" tanyaku padanya.Ia melipat tangan di dada, lantas menyandarkan sisi samping bahunya pada kosen pintu. "Haruskah kuceritakan sejak awal? Kau pasti punya banyak pertanyaan."Aku tersenyum kambing, lantas menggeleng pelan. "Biarkan aku sarapan dulu. Setidaknya agar aku bisa konsentrasi saat ceritamu mengalir jauh."Ia terbahak, lalu saat derit jejak penyatuan di kamar sebelah terdengar, ia mengunci mulut rapat-rapat. "Aku benci ide Hard. Kutunggu di luar."Aku masih menghisap energi yang menguar pekat saat Jonathan telah menutup pintu kamar. Jika aku dan Hard bisa kembali dari dunia bawah, serta Jonathan ya
"Jadi?""Dewi hanya ingin menilaimu sebelum mengabulkan tuntutan.""Kau tau akan berakhir dengan pertempuran?" Aku melotot pada Hard. Kali ini, ia sudah kelewatan. "Lalu kenapa kau tak memperingatkanku?"Hard terdiam, lantas ia menatapku penuh permohonan. "Bukankah sudah kuperingatkan, Grace? Jika kau tersudut sembunyi ke Hydra. Seti--""Itu bukan peringatan, Hard! Itu hanya sekadar saran. Peringatan yang benar hanya berbunyi, 'bersiaplah, Grace, bisa jadi nanti Nathalie akan menyerangmu'," potongku."Ma-maaf jika menurutmu itu salah, tapi aku belum terbiasa mengatakan hal-hal seperti itu dengan terus terang."Aku mondar-mandir di depan keduanya yang dipasung kebisuan. Lantas, kembali menuntut cerita selengkap-lengkapnya."Seperti yang kau tau, Grace.""Aku minta cerita sedetil mungkin, Hard."Har
"Jadi, sejak awal bukan Jonathan yang dia incar?"Aku menghela napas panjang saat Hard melipat tangan sembari menatapku lekat. Bahkan, pemburu iblis dengan jam terbang tinggi pun mampu dikelabui."Tunggu! Bolehkah aku bertanya sesuatu?"Kini, Jonathan mulai buka suara setelah membeberkan fakta yang mencengangkan."Apa?" tanya Hard. Agensiku sekarang beralih pada Jonathan."Kenapa setelah aku mati, Grace juga akan mati? Bukankah seharusnya Grace dulu yang harus mati agar dia bisa membunuhku?"Pria bermata cokelat madu itu mengernyit, glabela pun berkerut mengikuti gestur wajah yang diperam tanya."Mengenai itu, lebih baik kau tanyakan pada Grace. Aku pergi dulu.""Mau ke mana, Hard?""Bicarakan saja empat mata."Aku terdiam bersama Jonathan yang terus menuntut jawab. Enggan ras
Aku sedang berjalan-jalan setelah sebelumnya berlari cukup kencang demi menghindari kejaran Jonathan. Untuk saya ini, aku tak ingin melihatnya meski sepuluh hari yang lalu diri ini bersikeras menyelamatkannya.Setidaknya, sekarang Jonathan tahu kebenaran mengenai makhluk sepertiku yang telah jatuh ke dalam parit bernama cinta. Bukan lagi kebahagiaan, melainkan kesakitan, penderitaan yang mungkin akan kualami mengingat pria itu sama sekali tak berempati. Aku tahu pasti, yang ada dalam pikirannya hanya tentang Jean.Aku yang baru mengenalnya hampir dua bulan yang lalu saja sudah tergila-gila pada Jonathan. Apalagi ia yang telah lama mengenal Jean?Kususut air mata yang berderai dan meninggalkan jejak basah pada kedua pipi. Lantas, meraupnya kasar walau tanpa air. Jalanan yang kulewati tampak begitu lengang. Padahal ini adalah jalur dengan perhentian khusus para pengemudi truk.Apa karena terlalu
Kutatap langit yang membentang luas tanpa noda. Baru kusadari, betapa indahnya hari saat angin meniup ribuan awan menjelajahi angkasa.Kututup kedua mata menikmati embusan angin yang menerpa wajah. Setidaknya, aku ingin hidup tenang dan damai meski sebentar. Ya, andai aku manusia biasa dengan segala kejemuan karena letih bekerja."Kau tak boleh terus berdiam diri, Grace. Kita harus segera bergegas."Tanpa membuka mata, aku tahu ini suara Hard. Masih pada posisi awal, kuhirup napas dalam-dalam berharap segala keluh nan kesah turut luntur saat kuembuskan karbondioksida secara perlahan."Bukankah Nathalie sudah dihukum, Hard? Apa lagi yang harus kita khawatirkan?"Terdengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama, ia turut duduk di sebelah dan menggenggam bahuku dengan erat."Apa lagi katamu? Kau lupa bahwa kau adalah gadis yang ditakdirkan? Kau lupa bahwa Nat
"Aku mendukung semua rencana kalian sebagaimana kalian ingin menyelamatkanku dan Jonathan."Ucapan Jean membuatku tercengang seketika. Aku dan Hard bahkan belum mengatakan sepatah kata pun sejak tiba di apartemen, sedangkan Jonathan tampak menahan tawa sembari menatap ke arah luar jendela. Aku memicing, mencoba menelisik apa yang sebenarnya terjadi."Kau tak apa? Kami bahkan belum mengatakan apa pun, Jean."Aku mengangguk, membenarkan ucapan Hard. Kami bertiga memang pulang ke apartemenku, tapi aku dan Hard harus pergi ke suatu tempat lebih dulu. Kemungkinannya, Jonathan yang sampai lebih cepat telah menceritakan semua masalahnya."Bisakah kita bicara empat mata saja, Grace?"Aku menatap Hard yang juga diperam tanya. Juga menuntut jawab pada Jonathan. Sayangnya, ia bahkan seolah-olah tak mengenali sikap Jean barusan."Kenapa rasanya kau bukan seperti kawanku
Bagai dalam mimpi saat kupatut diri dalam cermin di ruangan tak jauh dari pintu gereja utama. Gaun pengantin dengan warna mint membalut tubuhku dengan sempurna, memperlihatkan tiap lekuk tubuhku pada khalayak ramai.Jean sebagai bridesmaid hanya mengulas senyum sembari mengangkat jempolnya tinggi. Wanita ini, bagaimana ia bisa begitu tulus mendukung rencana ini padahal ia juga mencintai Jonathan."Jangan pikirkan aku, Grace. Aku baik-baik saja. Fokus pada tujuanmu setelah ini."Ucapannya kian membuatku tak mengerti ke mana arah berpikir Jean selama ini. Aku baru tahu rasanya sakit hati saat Jonathan benar-benar menjauh pergi dan enggan mempercayai. Namun, kini harus kusaksikan Jean menyungging senyum melihatku dan Jonathan hendak mengucap janji suci."Aku merasa tak nyaman, Jean. Maafkan aku."Kututup wajah yang telah dirias oleh Jean beberapa saat yang lalu. Mataku terasa panas