"Sejak Mbak Nindi pergi, dan si Indra pulang bawa bini barunya, keadaan udah nggak lagi sama. Hampir tiap ari saya denger keributan dari rumah Bu Nia. Suara orang berantemlah, barang pecahlah, bahkan tangisan Nana dan istri barunya sejak anak mereka dinyatakan meninggal. Gongnya waktu bininya akhirnya minggat. Pertengkaran Bu Nia sama Indra makin sering terjadi. Kebanyakan masalah keuangan. Saya bisa dibilang saksi hidup kalian, jadi tahu betul gimana lima tahun terakhir Mbak Nindi berusaha mensejahterakan anak dan mertua Mbak, bahkan sampe lunasin utang-utang yang ditinggalin mendiang Lusi."Tapi, liat sekarang. Setelah Mbak Nindi pergi kurang lebih delapan bulan lalu, utang mereka di warung Babeh Naim sampe jutaan, beberapa barang di rumahnya satu per satu disita. Belom lagi utang duit ke mana-mana bakal berobat si Nana yang akhir-akhir ini sakit-sakitan, juga buat memenuhi kebiasaan buruk si Indra yang belum juga bisa lepas dari kesenangan judinya." Aku hanya bisa tertegun mendeng
"Hey, masa kamu mau terus-terusan begini?" Khalid berlutut di hadapanku yang masih berbaring di ranjang, meski hari telah beranjak siang.Sudah dua hari sejak kunjungan itu, tiba-tiba mood-ku mulai berubah berantakan dan malas melakukan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Seharusnya aku senang karena pada akhirnya semua kebenaran terungkap, dan Bu Nia tak lagi memandangku sebelah mata.Namun, tetap saja terasa ada yang kurang. Tak ada perasaan lega yang seharusnya dirasakan. Aku malah merasa janggal, karena semuanya seperti tidak direncanakan dan terkesan dipaksakan.Apalagi saat melihat si keparat Indra lolos begitu saja sebelum mempertanggungjawabkan sempat aku menghajar wajahnya yang tak seberapa tampan."Makan, ya!" pintanya."Kan, tadi pagi udah sarapan," sanggahku sembari mendesah gusar. Aku memang tak berselera dua hari belakangan."Tapi, kan belum makan siang. Saya udah masak capcay tadi."Karena tak tega melihat effort-nya yang luar biasa selama menjadi bapak rumah tangga
Setelah aku membiarkan Khalid mengurus rumah tangga selama dua hari. Banyak hal yang terjadi sepekan terakhir ini. Mulai dari tukang sayur yang semakin sering gedor-gedor tiap pagi, Ibu-ibu rempong yang datang silih berganti membawa makanan atau sekedar cari perhatian setelah ditraktir sayur sekali. Pak RT yang basa-basi mengajak Khalid nongkrong di Pos Ronda untuk main catur atau kartu, bahkan sekedar ngopi, yang aku tahu pasti tujuannya hanya untuk minta ditraktir. Dan banyak lagi kejadian lain yang membuatku hanya ingin menguncinya di dalam rumah tanpa membiarkannya keluar untuk jadi santapan warga sekitar karena cara 'dermawannya' dalam menghambur-hamburkan uang.Seperti kali ini, di siang bolong yang terik, saat Khalid tengah berkutat dengan laptop di pangkuan dan bergelut dengan pekerjaan ditemani secangkir kopi dan pisang goreng yang kuhidangkan. Kembali terdengar suara ketukan pintu dari luar."Diem, biar aku yang buka!" tegasku begitu melihat Khalid hendak beranjak dari tempa
Aku tak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikan semua ini, setelah kembali membiarkan diri terperdaya dan jatuh dalam peluknya. Semua semakin tak terkendali. Semakin banyak penyatuan pasti akan semakin sulit untuk dilepaskan. Meskipun tahu akan sepahit apa akhirnya aku hanya ingin menyimpan tiap kenangan kebersamaan dalam sebuah memori, meski takdir mungkin akan memisahkan kami.Kutatap lelaki yang masih terlelap di sisi lain ranjang. Dengkuran halus terdengar, menandakan tidurnya yang lelap semalam.Melihat jam yang hampir menunjukkan waktu subuh, kuguncang bahunya pelan. Kelopak yang dihiasi bulu mata panjang itu bergerak perlahan."Bentar lagi subuh," kataku setelah mata kami bertemu.Khalid hanya terdiam menatapku dengan sorot yang dalam. Begitu aku beranjak bangkit, sebelah tangannya tiba-tiba menahan.Dengan suara yang parau, pintanya terlontar, "Sekali lagi boleh?"***"Buat siapa?" Khalid bertanya saat aku tengah mengemasi makanan dalam wadah bekal susun tiga."Nana sama Bu
Melihat gelagatnya yang janggal, tiba-tiba aku merasa ada yang coba Khalid sembunyikan sejak awal kedatangan. Kututup pintu kulkas, meski buah dan sayur yang masih berserakan belum sepenuhnya dimasukan."Kamu tahu sesuatu, kan?" Kupicingkan mata menatapnya penuh kecurigaan. "Kamu tahu sesuatu tentang Bu Melani, kan?"Khalid terbungkam. Tak ada jawaban, yang dia lakukan justru menarikku dalam dekapan.Hening. Membingungkan."Jawab, Khalid!" Aku yang mulai muak, kembali menuntut jawaban.Karena terus-menerus didesak, akhirnya dia menyerah, kemudian melerai pelukan dan menangkup wajahku dengan sorot mata yang dalam."Sebenarnya kami tahu belum lama ini.""Kami?" Aku memotong."Saya dan Naya." Kuhela napas gusar begitu nama itu terlontar."Sebenarnya kami sadar sepahit apa pun kenyataan, cepat atau lambat kamu tetap harus tahu. Tapi, saya dan Naya sepakat untuk menundanya sampai selesai persalinan nanti, bukan dalam waktu dekat ini. Mengingat seorang ibu hamil tak boleh dibebankan dengan
Tak ada kebahagiaan yang tanpa cobaan. Tak ada suka yang diselingi derita. Jika setiap orang diberi ujian, lalu mengapa ujianku tak pernah usai? Mengapa roda kehidupanku tak pernah berputar?Jika reinkarnasi itu memang benar adanya, mungkin dulunya aku adalah orang yang paling berdosa hingga semua ini akhirnya menimpa. Tapi, tidak apa-apa. Meski masih ada setengah kehidupan yang harus dijalani, setidaknya aku sudah menjalani setengahnya tanpa berusaha mengakhiri diri.Setibanya di rumah, aku melihat Khalid berlari dengan napas memburu dari arah gang. Kuparkirkan motor dan menatapnya dengan heran."Dari mana ka--"Belum sempat menyelesaikan kalimat, Khalid sudah lebih dulu memelukku. "Alhamdulillah, ya Allah. Syukurlah kamu baik-baik aja. Saya udah cari ke mana-mana akhirnya kamu pulang jug--""Beb!" Aku kembali dibuat bingung, saat Roy tiba-tiba datang dan menarikku dari pelukan Khalid. Dia terlihat panik dan menangkup wajahku. "Lu nggak apa-apa, kan? Si Khalid nggak nyakitin lu, kan
"Ramai sekali," seru Khalid begitu kami sampai di Pasar Malam."Namanya juga pasar, Sayang. Udah pasti rame. Kalau mau yang sepi di kamar, berduaan," godaku yang membuat Khalid langsung memalingkan pandangan dan meremas tanganku yang dia genggam."Tiket ke Mars masih nyisa, kayak, ya? Gue mau ikut penerbangan terakhir," cibir Roy yang merasa dikucilkan."Heleh, baperan lo!" Kuapit tangan Roy secara bersamaan. Akhirnya kami berjalan beriringan dengan posisiku yang berada di tengah-tengah dua lelaki menjulang ini. "Senangnya dalam hati, kalau punya dua laki. Seperti, du--""Ngaco, loh!" Roy menoyor kepalaku."Eh, iya. Ngomong tentang laki dua, kok gue jadi kepikiran.""Kepikiran apa? Lu mau punya dua juga? Sanggup emang?" protes Roy bahkan sebelum aku sempat menjelaskan."Bukan gitu, Supri. Maksud gue, kok laki boleh punya istri lebih dari satu, tapi cewek nggak boleh?" Pertanyaan itu memang kuperuntukan untuk Roy, tapi tatapanku tertuju pada Khalid.Lelaki itu tak bereaksi, pandanganny
"Jadi, Abang nggak keberatan tinggal di sini?" Naya bertanya pada suaminya dengan pandangan yang masih mengelilingi sekitar kosan yang kami tempati.Beberapa kali tatapannya tertuju pada tumpukan baju kering yang belum sempat aku lipat dan setrika, juga beberapa sisa jajanan yang kami beli di pasar malam. Harus diakui, gara-gara Khalid semalam, kami bangun kesiangan bahkan sampai terlambat salat subuh. Pekerjaan rumah belum sempat kukerjakan, karena tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang."Kalau dia keberatan, mungkin dari awal juga udah minggat," cibirku seraya menyodorkan teh manis dan kaleng berisi biskuit ke hadapan Naya."Nindi ...." Khalid menatapku dengan nada memeringati, tapi jelas aku tak peduli.Perempuan berjilbab dalam balutan tunik dan celana cutbray yang tampak elegant itu hanya bisa menundukan pandangan."Kayaknya Nindi yang bikin Abang betah di sini, sampe kadang lupa menghubungi." Dia melanjutkan dengan seulas senyum yang dipaksakan."Lebih tepatnya demi bayi di kand