Share

04. Menjemput Nila

"Lo tau kan kalau bisa cerita apa aja sama gue?" Biru menatap ke arah sahabatnya dengan pandangan bingung. "Siapa yang ada masalah?"

"Lo lah! Yang dari kemarin kerjaannya berantakan emangnya bukan lo?" Abas tersenyum mengejek membuat Biru terdiam.

Kemarin memang hampir seluruh kerjanya tidak berjalan sebaik biasanya. Biru bahkan hampir menghapus daftar lokasi pemasaran produk Perusahaannya dan kalau itu terjadi, mungkin Biru bakalan di pecat tanpa pesangon sedikitpun.

"Kemarin ada cewek yang datang."

"Cewek? Ini lo lagi ngomongin soal lawan jenis kan?" Biru mengabaikan pertanyaan Abas yang menurutnya tak perlu dijawab.

"Dia ngajak nikah."

Wajah Abas melongo yang benar-benar melongo. Bibirnya terbuka dengan tatapan kaget.

"Nikah?"

Biru mengangguk, "Iya. Saya gak tahu dia bercanda atau serius."

"Bercanda itu pasti," Abas menepuk pundak Biru. "Lagipula, lo kan gak naksir cewek."

Memang cuma Abas yang tahu fakta ini dan masih bertahan untuk menjadi temannya. Abas sempat kaget waktu pertama kali, Biru memberitahukannya.

Tapi, Biru masih ingat jelas apa respon Abas waktu itu. "Orientasi lo, gak bikin nilai lo sebagai manusia dan temen gue menghilang. Justru gue makin kagum dan seneng temenan sama lo. Lo cerita, tandanya lo percaya sama gue. Temen macam apa yang malah kabur pas temennya percaya sama dia?"

Setelah itu mereka kembali seperti biasa, seakan Abas gak pernah tahu soal Biru yang suka laki-laki.

"Dia juga tahu saya gak suka perempuan."

Sebelum Abas bertanya bagaimana gadis itu tahu, Biru menjelaskan. "Saya bilang waktu itu. Langsung didepannya."

Abas menggeleng dan berdecak, "Tsk! Lo mestinya kurang-kurangin sikap jujur lo. Gak semua orang bakalan santai nanggepin orang yang statusnya sedikit berbeda."

"Tapi, saya bakalan merasa bersalah ketika berbohong cuma untuk kebaikan saya sendiri. Semua orang bebas dengan perasaannya, tapi semua orang perlu mendapat kejujuran tentang pengakuannya."

Abas menggeleng dengan takjub, "Lo tau, mungkin kalau orientasi lo gak melenceng bukan gue yang jadi cassanova. Tapi, lo."

Biru memandang Abas dengan aneh, "Memangnya tipe idaman gadis-gadis itu pria Gay?"

Abas tertawa mendengar pertanyaan Biru barusan. Tiba-tiba pintu ruangan Biru terbuka dan sosok Asta sudah berdiri disana. "Bas, lo kemana aja? Dicariin sama Bos."

Abas melirik ke arah Biru sekilas, "Gue ntar mampir." Setelah itu dia beranjak keluar, meninggalkan Asta yang masih di ruangannya. "Cerita apa sih? Kok gak bagi-bagi ke gue?"

"Bukan apa-apa. Gak balik?"

"Dih! Sama gue aja, ngusir." Asta melambaikan tangannya kemudian menutup pintu.

Asta memang sedikit kepo, tapi Biru nyaman berteman dengannya. Dan, dia gak siap kalau mesti kehilangan teman sebaik Asta. Makanya dia belum memberitahu soal orientasi-nya ke Asta.

Biru langsung duduk dari posisi tegapnya, Biru memang gak suka wanita tapi bukan berarti dia pernah menjalin hubungan dengan pria. Biru selalu meyakinkan dirinya kalau semua pemikiran dan perasaannya terhadap pria itu salah, tapi itu sebelum dia bertemu dengan Trey. Trey adalah salah satu temannya semasa kuliah dulu. Dia pria yang cerdas dan gampang bergaul membuat siapa saja senang dengan dirinya. Termasuk Biru.

Biru kira dia cuma merasa kagum dengan Trey, wajar karna siapapun bakalan kagum dengan sosok yang bisa diandalkan begitu. Tapi, waktu dia mendengar kabar kalau Trey mau bertunangan ada perasaan sedih dan sakit di hatinya.

Saat dia cerita ke Abas, temannya itu malah berseru heboh dengan mengatakan kalau Biru akhirnya jatuh cinta. Lucu, jatuh cinta yang normal itu sama lawan jenis. Kalau Biru naksirnya sama sejenis apa itu disebut bangun cinta? Dia kan sedang mencoba untuk membangun cinta yang paling tidak normal.

Biru jadi tersenyum sendiri dengan pemikirannya.

Pintu ruangannya kembali terbuka dan ada Manajer Operasional di hadapannya, "Biru, kemarin kata Satria lo ketemu Nila berarti kenal kan? Tolong jemput dia dong."

°°°°

Nila gak suka hujan, menurutnya hujan akan membuat dirinya sakit. Sewaktu kecil, Nila bahkan gak pernah mandi hujan karna hal itu. Tapi, daripada hujan Nila jauh lebih gak suka dengan petir. Kilat yang disertai petir apalagi.

Dan sekarang, Nila mesti terjebak di halte diantara hujan, petir dan kilat yang menyambar.

Lengkap sekali penderitaanya.

Kalau saja, ban mobil Nila gak bocor dan kalau saja dia gak disuruh untuk bertemu salah satu stasiun TV dekat halte ini maka Nila mungkin akan baik-baik saja. Bukannya kebasahan dan ketakutan seperti sekarang.

Tadi dia sudah menelpon Abangnya untuk menjemputnya, tapi gak tau kemana sosok laki-laki menjulang itu. Tak lama ada mobil berwarna gelap yang berhenti dihadapannya, Nila gak kenal sama mobil ini. Kalau taksi, kayanya gak mungkin soalnya mobil itu kelihatan mahal dan terawat. Jendela mobil diturunkan dan Nila langsung melongo.

"Eh? Siapa ya? Aku lupa!"

"Masuk dulu, hujan."

Nila langsung membuka pintu mobil dan berniat duduk sebelum dia sadar kalau dirinya basah. "Gak usah deh, basah."

"Naik." Perintah laki-laki itu membuat Nila terpaksa menurut, "Kalau nanti ada yang mesti diganti bilang aja ya."

"Mau diantar kemana? Langsung pulang?" Tanya laki-laki itu mengabaikan ucapan Nila tadi. "Rumahnya ke arah mana?"

"Jangan pulang, masih ada kerjaan. Serius deh, aku lupa nama kamu. Tapi, kok kamu bisa tau kalau aku di halte?"

Laki-laki itu memandang Nila dengan tatapan aneh. "Kamu lupa sama nama orang yang kamu ajak nikah?"

Nila tertawa, dia memang cukup kesulitan mengingat nama orang yang baru ditemuinya. "Sorry, aku sedikit pelupa. Tapi, kamu gak sengaja lihat aku di jalan?"

"Biru. Nama saya Biru dan saya diminta Mas Cakra untuk jemput kamu. Soalnya beliau, Mas Satria sama Mas Karis ada rapat internal."

Nila mengangguk paham, "Oke, makasih ya Biru."

Biru sedikit tersihir dengan senyuman yang diberikan Nila barusan. Walau dia tak pernah tertarik dengan perempuan, tapi dia tahu kalau Nila termasuk cantik diantara semua perempuan yang pernah dilihatnya.

"Jadi gimana?"

"Apanya?"

"Soal tawaran menikah itu dong!" Nila mengingil tapi dia masih sempat memandang Biru dengan tatapan kesal.

"Maaf, saya lupa matiin AC-nya."

Laki-laki itu mengambil Jas miliknya yang berada di pangkuannya, "Saya gak ada selimut. Kamu pakai ini dulu ya."

Nila menerima itu dengan tersenyum, "Tuh! Kamu perhatian, aku makin serius ngajakin kamu nikah nih."

Biru menggeleng dan ikut tersenyum, "Saya kagum kamu masih kekeuh ngajak nikah padahal beberapa menit yang lalu, kamu bahkan lupa nama saya."

Nila tertawa mendengar sindiran Biru, menurutnya Biru gampang untuk diajak berbicara. Poin plus lainnya untuk Biru di mata Nila.

"Bukan bagian aku untuk menghapalkan nama di ijab qabul nanti." Kilah Nila, "Lain kali gak akan lupa deh." Janjinya membuat Biru tersenyum tipis.

"Jadi, mau diantar kemana?"

"Ke Mall!" Seru Nila semangat, "Mau beli pakaian soalnya habis ini ada rapat."

"Kamu kan habis kehujanan, gak mau langsung pulang aja? Saya takut kamu demam."

Nila tertawa geli, " Biru, kamu yakin Gay?"

Biru sedikit tersentak ketika mendengar secara langsung ada yang menyebutnya Gay. "Kenapa?" Tanyanya.

"Perlakuan kamu malah bikin aku mikir, kalau kamu itu Playboy bukannya Gay. Soalnya tingkah kamu terlalu manis."

Biru langsung tersenyum, sepertinya senyum Nila gampang menular.

Dan Biru tak masalah untuk tertular.

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status