Share

PETER JASON

          “Kita mempercayai orang bukan karena dapat dipercayai, tapi karena tak ada tempat lagi untuk bersandar.”

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Setelah meninggalkan tempat itu , dunia yang kuhadapi justru jauh berbeda. Tak ada satupun orang yang menyambut kehadiranku, seakan-akan aku hanyalah angin sepoi-sepoi yang baru saja berhembus.

   Pada kenyataannya dunia ini adalah sebuah hutan rimba yang dimana di dalamnya berisikan makhluk-makhluk egois.

  Dengan berat hati aku kembali melangkah ke tempat semula, berharap setiba disana semua kejadian aneh ini dapat berakhir, namun aku tidak menyadari akan adanya internet. Cukup sekali kedipan mata saja berita tersebut sudah menyebar luas di seluruh daerah di Bangkok.

   Berbagai macam pertanyaan dilontarkan padaku di setiap harinya, bahkan mereka tidak segan-segannya mendatangi rumah keluargaku hanya untuk mendapatkan jawaban yang pasti dari kami.

    Waktu itu keluargaku sedang berada di fase terburuknya. Ayahku dulunya adalah seorang pengusaha produk kesehatan, ada begitu banyak orang yang menyukai produknya sampai-sampai perusahaan ayahku mendadak jadi topik trending secara nasional di  dalam negara yang kami tinggali.

    Akan tetapi kebahagiaan tersebut malah berakhir disaat usiaku masih beranjak 5 tahun.

Perusahaan ayah terpaksa harus disegel karena terlibat ke dalam kasus penipuan, akibat dari permasalahan itu ayah harus menjalani masa rehabilitasinya selama beberapa bulan agar bisa kembali beraktivitas secara normal lagi.

   Aku berpikir kehidupan keluargaku mungkin akan baik-baik saja setelah ayahku selesai dari masa rehabilitasinya, tapi sayang pikiranku ini tidak pernah mau sejalur dengan kenyataan.

    Usai kejadian tersebut pertikaian yang hebat sering terjadi di antara ayah dan ibuku. Mereka bahkan sudah jarang memperhatikanku. Mereka terlalu asik mempertahankan ego nya masing-masing tanpa menyadari bahwa aku telah hadir di kehidupan mereka berdua.

    Tapi siapa yang akan perduli pada titik awal permasalahan ini bermula?

   Aku saja tidak perduli meski permasalahan tersebut mampu menghancurkan kebahagiaanku sendiri.

                                                                ☻☻☻☻

Hari ini adalah hari yang sangat bagus, cuacanya yang tidak terlalu terik sepertinya cocok untuk berjemur di tepi pantai.

 Orang-orang dengan berpakaian rapi tampak berlalu lalang di sekitaran gedung tempat kutinggal.

 Lantas bagaimana dengan kabar kedua orangtuaku? Mereka sudah lama memutuskan untuk bercerai dan setelah hari itu aku tinggal bersama ayahku sampai sekarang.

Bloop, Bloop, Bloop!

Mendengar suara rebusannya sudah mendidih, seorang pria dewasa yang sedaritadi berada disana pun langsung mematikan kompornya.

 Dengan mengenakan sarung makan yang tebal, pria tersebut mengangkat panci itu lalu menuangkan isinya yang berupa mie kuah ke dalam mangkok keramik berukuran sedang.

       “Peter, ayo cepat turun! Sarapannya sudah siap.” ucap pria itu sedikit berteriak ke arah tingkat atas

   “Kenapa, Ayah?” Seorang cowok remaja berambut pirang mendadak muncul dari balik pintu dapur.

   “Loh kapan kau turun?” kaget sang pria yang merupakan ayah dari cowok remaja yang bernama Peter itu

   “Dari jam lima subuh tadi aku sudah terbangun terus aku nggak bisa tidur lagi, aku coba buat nonton televisi di ruang tamu, kupikir aku bisa tidur balik eh tahu-tahunya malah kecanduan nonton.” Peter berjalan mendekati meja makan kemudian duduk di depan kursi makan ayahnya.

    “Kan ayah sudah sering bilang, kau itu harus bisa kurangin waktu bermain gamenya.”

   “Aku sudah jarang main game, Ayah.” bantah Peter, ia menuangkan dua sendok nasi ke dalam mangkuk makannya lalu mengambil beberapa irisan tomat serta lobak yang sudah disediakan di atas meja, “Buktinya saja kemarin malam aku tidur cepat, padahal seingatku masih jam 9 malam.” gumam Peter sembari melahap mie kuah masakan ayahnya untuk tahap pertama

     “Hmm baguslah kalau begitu. Oh ya Peter, ada yang mau Ayah beritahukan padamu.”

    “Katakan saja.”

   “Mungkin hari ini bakal jadi hari terakhir di antara kita,”

   “Ck, apa maksud Ayah?”

   “Ayah sudah mendaftarkanmu masuk ke sekolah SOS di London,”

   “Hah?!!” Peter terkejut bukan main. Dia hampir saja tersedak mie kuahnya.

   “Sepertinya kau akan lebih aman jika kau tinggal berpisah dengan Ayah,”

    “Candaan Ayah itu nggak lucu.” ujar Peter terkekeh kecil

   “Ayah nggak lagi bercanda. Kemas semua barangmu, jangan sampai ada yang tertinggal satupun. Sore nanti akan ada orang lain yang menjemputmu kemari,” jelas sang Ayah tanpa ada melahap masakannya satu sendokpun

   “Ayah ini kenapa sih?! Kenapa coba Ayah bertindak seenaknya tanpa berbincang dulu padaku? Memangnya Ayah pikir aku mau pergi begitu saja dari tempat ini?!” bantah Peter tak terima

  “Tapi Peter, ini juga demi kebaikanmu.”

  “Ayah begitu membenciku ya?”tanyanya lagi

  “Bukan begitu,”

  “Aku tahu selama ini aku selalu merepotkan Ayah, aku juga tahu karena kehadiranku kehidupan Ayah dan Ibu jadi hancur, tapi aku belum siap buat hidup sendirian diluar sana.” gumam Peter sembari berusaha menutupi kesedihannya

     “Peter, apa yang terjadi di keluarga kita itu sama sekali nggak ada hubungannya denganmu. Ayah terlalu ceroboh dalam mengambil tindakan,”

    “Kalau memang begitu, ayo batalin surat perceraian itu. Kita masih bisa memperbaiki semuanya dari awal, aku benar-benar merindukan Ibu.”

   “Ayah juga maunya begitu, tapi..”

   “Tapi apa?”

    “Ibumu sudah hidup bahagia bersama pilihannya,”

  “Bukankah Ayah pilihannya Ibu?”

  “Dulunya, sekarang sudah ada sosok baru yang lebih mampu membuatnya bahagia.”

   “Apa maksudnya?”

   “Ibumu menikah dengan selingkuhannya, dan mereka sudah dikaruniai satu anak perempuan.”

Suasana seketika hening.

Sepasang sumpit jatuh begitu saja dari genggamannya Peter. Disaat yang bersamaan rasa sedih dan rasa senang menghantam seluruh sisi dalam hatinya, membuat dirinya bingung harus berkata apa.

     “Peter, apa kau baik-baik saja?” tegur sang ayah setelah beberapa menit kemudian

    “Bagaimana caranya agar aku bisa merasa baik-baik saja?” ujar  Peter dalam bentuk pertanyaan, ia menatap sinis wajah ayahnya tersebut

   “Seharusnya Ayah memberitahunya dari awal,”

  “Nggak perlu, lebih bagus aku mengetahuinya sekarang daripada harus kehilangan masa kecilku,” Peter tersentak lalu tertawa kecil, “Oh iya aku hampir lupa, aku memang sudah kehilangan masa kecilku sejak dulu ya...” sindirnya menyeringai tipis

   “Hei!”

   “Aku dijemput sore ini, kan? Jam berapa kalau boleh tahu?”

   “Sekitar jam 4 sore nanti.”

  “Oke bagus, aku harap ini benar-benar akan menjadi hari terakhirku bertemu dengan keluarga payah ini.”

Peter bangkit berdiri dari kursinya dan langsung berlari ke kamarnya yang berada di tingkat atas. Sedangkan si ayah masih terbelenggu oleh rasa bersalahnya sendiri. Terlihat begitu jelas bahwa menjadi sosok ayah itu bukanlah satu hal yang mudah.

    Apalagi disaat logika lebih memutuskan untuk memberitahukan semua kebenaran itu kepada sang anak. Resiko yang besar wajib ia tanggung seorang diri.

   Begitu juga dengan Peter.

Masa-masa yang ia pikir sebagai bentuk kebahagiaan sejati itu ternyata hanyalah sebatas sandiwara belaka saja. Ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan dihancurkan oleh keluarganya sendiri.

Isakan tangis terdengar nyaring dari dalam kamarnya. Semua barang-barang terlihat berserakan dimana-mana, termasuk kasurnya yang berantakan.

       “Kenapa harus aku yang mengalami hal seperti ini? Kesalahan apa yang sudah kuperbuat sampai Tuhan memberiku hukuman seburuk ini!?”

Tiada hentinya Peter menyalahkan dirinya sendiri. Mengacak-acak rambut pirangnya dan menggigit kuat pergelangan tangannya agar tangisnya tak terdengar hingga keluar.

    “Ayah benar-benar menyesal, Peter. Ayah minta maaf padamu..” ucap pria tersebut yang sudah berdiri diluar kamar Peter. Sepelan mungkin ia mengetuk pintu kamar putranya tersebut.

Akan tetapi tak terdengar sahutan apapun dari dalam.

      “Peter, ayo keluar sebentar, kita bisa bahas ini secara baik-baik.”

 Sekali lagi tidak ada sahutan.

       “Kalau kau benar-benar merindukan Ibumu, ayo kita pergi mengunjunginya sekarang.” bujuk sang ayah

Dan sekali lagi tetap tidak ada sahutan.

     “Baiklah, nggak masalah kalau kau nggak mau berbicara dengan Ayah, Ayah menyesal atas perbuatan Ayah sendiri..”

Krekk..

      Pintu kamar terbuka dan muncullah Peter dengan raut wajahnya yang super datar. Tanpa memandang ke arah ayahnya ia berkata, “Cepat hubungi dia dan suruh dia datang kemari.”

      “Ayah akan mencobanya nanti,”

 “Sekarang!” paksa Peter

Tidak lama kemudian mereka bertiga kini sedang berada di ruang tamu. Ibunya tiba disana tepat pukul 15.00 pm.

    Entah mengapa suasana terasa kikuk di antara mereka.

         “Jadi siapa yang mau bercerita lebih dulu?” tanya Peter tengah duduk bersandar di atas sofa di hadapan kedua orangtuanya

      “Aku sudah memberitahukan semuanya padanya,” jawab sang ayah ketika sadar bahwa isterinya sedang fokus mengamatinya

      “Aish kau ini!!!”

    “Kenapa Ibu malah terlihat marah?”

   “Peter, maafkan Ibu. Ibu melakukan semua ini demi kebahagiaanmu.”

   “Apa wajahku ada terlihat bahagia sekarang?” tanya Peter datar

   “Peter, dengarin Ibu dulu, semua ini nggak seperti apa yang kau pikirkan.”

    “Sejauh ini aku nggak mikirkan apa-apa. Hati dan pikiranku seketika hampa, bahkan di pandanganku saja kalian berdua itu sudah bukan lagi Ayah dan Ibuku. Aku benar-benar merasa asing terhadap kalian.” gumamnya

    “Peter...”

    “Kau nggak perlu berpura-pura menangis di depanku, air matamu nggak akan pernah bisa mengembalikan kebahagiaanku.” ucap Peter yang menyadari Ibunya akan segera menangis

     “Apa yang dikatakan Ayahmu itu memang benar, ibu sudah menduakan kalian. Tapi semua itu terjadi diluar dugaan Ibu sendiri, Ibu nggak pernah berpikir kalau kecerobohan Ibu ini dapat merusak masa kecilmu,”

     “Ibu baru sadar sama kesalahan Ibu sendiri sesudah menghasilkan satu anak perempuan? Apa selingkuh seenak itu ya?” tanya Peter menahan rasa kecewanya

    “Bukan begitu, Peter. Waktu itu Ibu lagi terpuruk-terpuruknya, Ibu butuh tempat sandaran, sosok yang selalu Ibu harapkan ada.. itu hanya Ayahmu seorang, tapi lihat apa yang terjadi?! Ayahmu berbohong di belakang Ibu, dia nggak pernah beritahu apapun tentang masalah hidupnya ke Ibu, dia malah melampiaskan segalanya dengan memakai narkoba secara diam-diam!!!”

    “Lalu apa bedanya dengan Ibu?”

    “Kau nggak akan pernah bisa memahami perasaan Ibu, kau dan Ayahmu sama saja.”

    “Ah, jadi itu ya alasan kenapa aku dicampakkan sama Ibuku sendiri...”

     “Peter!”

    “Siapa pria baru yang hadir di kehidupanmu?” tanya Peter yang mulai tidak perduli terhadap sopan santunnya

     “Dia cuma pria kantoran, tapi dia selalu bersikap baik pada Ibu, beda jauh dengan Ayahmu.”

     “Terus nama apa yang kau berikan pada anak perempuanmu itu?”

      “Luna Minerva, dia beda dua tahun darimu.” jawab ibunya tanpa sedikitpun memperdulikan perasaan putra kandungnya itu

      “Wahh, hebat. Aku salut mendengarnya, tapi sayang aku terlalu benci akan kehadirannya.” gumam Peter sambil bangkit dari atas sofa, ia memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana yang dikenakannya sambil berkata, “Berkat Ayah, aku nggak perlu merasa khawatir lagisekarang. Terimakasih banyak ya atas segalanya.”

  “Apa maksudmu, Peter?” heran Ibunya yang tidak mengetahui bahwasanya sebentar lagi Peter akan menjalani sekolah asrama

   “Kau nggak tahu? Suamimu itu sudah memasukkan aku ke sekolah elit di London.”

     “APA KATAMU?!!”

    “Ah! Lima menit lagi mau jam empat sore.” Peter bergerak cepat mengambil barang-barangnya yang telah tersusun rapi di dalam koper besar miliknya itu

     “Peter, Ibu mohon jangan pergi kesana...”

Melihat ibunya yang bersungut-sungut mengelus lengannya, membuat Peter sudah tidak merasa iba lagi, sedangkan sang ayah hanya bisa terduduk diam di atas sofa dengan kepalanya yang terus menunduk ke bawah.

        “Biar kuberitahu padamu, mulai sekarang aku jauh lebih menyesal menjadi putra kalian. Hiduplah bahagia disini, aku bersedia sekali untuk berpura-pura nggak mengenali kalian. Oh iya jangan lupa titipkan salamku kepada putrimu, aku akan selalu mengingatnya.” Peter melepaskan cengkeraman tangan mungil Ibunya secara kasar, ia juga menyempatkan dirinya berbisik pelan di telinga Ibunya itu, “Nggak akan pernah kubiarkan putrimu hidup bahagia, camkan itu.”

Jam menunjukkan pukul 16.00pm, cukup dalam sekejap mata wujud Peter sudah tak terlihat lagi di rumah itu.

    Peter benar-benar memutuskan untuk pergi menjauh dari keluarganya dan memilih membuka lembaran baru bagi kehidupannya sendiri. Kini hanya tinggal kenangan saja yang menempel di kamar lamanya.

__________________________________________________________________________________________________

Waktu demi waktu berlalu setiap harinya.

Kehidupan baru masih di tahap permulaan bagi Peter Jason, pemuda tampan berkulit coklat serta rambut pirangnya yang khas seperti ibunya.

Tak lama setelah perdebatan singkat di antara keluarganya, bel rumah tiba-tiba berbunyi lalu muncul tiga sosok pria dewasa berbadan kekar yang merupakan anggota rahasia dari SOS yang diperintahkan dating ke rumah untuk menjemput Peter.

Usai dari sana mereka pun bergegas membawa Peter ke sebuah asrama elit yang berada di tengah-tengah hutan, tepat di belakang area sekolah SOS.

Dan disanalah lembaran baru kehidupannya dimulai. Secara perlahan masa lalunya memudar begitu saja dari ingatannya.

Titik pertama memang selalu terasa sulit bila dijalani.

Begitulah yang dirasakan oleh Peter selama beberapa tahun menjalani kehidupan barunya sebagai calon peserta ujian.

    Sama halnya seperti kehidupannya, kepribadian Peter juga ikut mengalami perubahan. Dan hal itu terjadi berkat para teman-teman barunya yang ia kenal semenjak tinggal di asrama SOS.

Kelima teman barunya itu adalah Fred Remus, Bryan Albusino, Severus Draco, dan sikembar Marcel dan Marvel. Pertemanan di antara mereka dimulai di pertengahan tahun 2011.

Tidak heran bila mereka selalu menghabiskan waktu bersama-sama, bahkan suasana canggung jarang terjadi di antara mereka, meski mereka berasal dari negara dan kehidupan keluarga yang berbeda. Namun sifat saling merangkul itu terjalin begitu erat di keenam pemuda tersebut.

Sampai di suatu ketika mereka menyelinap keluar dari asrama hanya demi menemani Draco menemui keluarganya. Bahkan mereka juga tidak merasa takut untuk memutuskan menginap satu malam dirumah Draco.

     Draco adalah orang pertama yang berhasil berteman dekat dengan Peter, segala kehidupan masa lalunya hanya ia ceritakan pada Draco seorang.

Hingga di malam hari sesudah semua orang tertidur lelap, tak sengaja Peter mendapati Draco yang tengah bersenandung merdu menyanyikan lagu pengantar tidur untuk adik perempuannya yang bernama Drelia.

   Dan tak lama kemudian sang adik berhasil tertidur di atas kasur mininya, dengan pelan-pelan Draco melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamar usai mematikan sumbu lilin yang biasa digunakan keluarganya sebagai penerang dirumah mereka.

     Peter yang sedaritadi masih berdiri di depan pintu seketika tersentak karena melihat reaksi kaget dari Draco.

         “Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya Draco yang baru saja keluar dari kamar adiknya

        “Nggak ada, aku hanya terharu melihat kedekatanmu dengan adikmu,” gumam Peter menyeringai tipis

   Draco yang mengerti terhadap suasana hati temannya itu langsung memutuskan untuk mengajaknya mencari udara sejuk diluar rumah.

Diluar terlihat mereka sedang berjalan santai mengitari sekitaran rumahnya Draco.

         “Tinggal bareng keluargamu, menyenangkan juga ya.” puji Peter

Mendengar pujian dari temannya, Draco hanya terkekeh kecil di sebelah kanan Peter sembari berkata, “Menyenangkan bagaimana? Yang mereka lakukan saja kadang nggak masuk akal.”

    “Setidaknya keluargamu jauh lebih seru dibandingkan dengan keluargaku.”

    “Mulai lagi nih.” sela Draco

    “Aku serius,” Peter menghela panjang, ia berhenti tepat di tepi danau yang berada tidak jauh dari rumah Draco, “Terkadang masa-masa itu muncul begitu saja di pikiranku,”

     “Nggak ada salahnya untuk mengingat masa lalu, kan?” tanya Draco yang juga ikut berhenti

    “Tapi aku nggak mau mengingatnya. Entah kenapa setiap kali ingatan itu muncul, dadaku selalu terasa sesak.”

    “Kalau aku boleh tahu, dendam apa yang sudah kau tanam dalam dirimu sendiri?” tanya Draco. Suaranya terdengar begitu lembut di telinga.

     “Aku nggaktahu, aku hanya merasa benci terhadap anak perempuan yang dilahirkan Ibuku dari pria brengsek itu,”

     “Alasannya apa? Bukankah sebenarnya kau juga menginginkan seorang adik?”

    “Iya aku memang menginginkannya, tapi bukan dengan cara yang sepertiini. Aku juga bingung pada diriku sendiri, di satu sisi aku senang karena aku mempunyai adik perempuan, tapi di satu sisi lagi aku justru merasa kecewa,” ujar Peter mencoba mengutarakan kebingungan hatinya

     “Menurutmu apakah dia juga menginginkan kehidupannya seperti itu? Maksudku anak yang lahir dari hasil perselingkuhan Ibumu,” tanya Draco sembari memantulkan kerikil padat ketengah danau

     “Mustahil ada anak baru lahir yang bisa tahu bagaimana kehidupannya kelak.”

   “Nah semacam itulah yang dirasakan adik tirimu,”

Sesaat Peter terpaku diam.

   “Kalau seandainya bisa memilih, mungkin sekarang aku nggak ada disini.” lanjut Draco

   “Kau benar juga.”

  “Sejahat apapun keluargamu memperlakukanmu, mereka itu tetaplah keluarga kandungmu. Bagaimanapun juga mereka akan tetap jadi rumah buatmu dan buat adik tirimu itu.”

    “Itu nggak akan mungkin terjadi. Rasa kecewaku sudah terlanjur dalam karena mereka,”

    “Yang kau butuhkan itu hanya waktu. Kau nggak perlu selalu bersikap keras pada dirimu sendiri.” Draco menepuk pelan sekaligus merangkul erat bahu Peter sambil berkata lembut, “Semua akan terasa lebih baik selama kita berpikir positif. Saran dariku sih, kau itu harus bisa menerima kehadiran adik tirimu.”

    “Tapi apa mungkin dia mau menganggapku sebagai kakak tirinya?”

    “Coba balikkan kalimat itu ke dirimu sendiri, apakah mungkin kau mau menganggapnya sebagai adik tirimu?”

    “Tentu saja aku mau, meskipun bukan sedarah.”

   “Yakin?”

   “Iya yakin.”

   “Kemungkinan jawaban kalian akan sama.”

  “Ck! Sok tahu.”

  “Yasudah kalau nggak percaya.”

Peter kembali menghela nafasnya tuk kedua kali.

     “Karena melihat kedekatanmu dengan adikmu, aku jadi ingin melihatnya juga,” gumam Peter

     “Bukannya kau sudah mempelajarinya?”

   “Mempelajari apa?”

  “Telepati memori, itukan kekuatanmu?”

  “Aih, aku ragu bisa melakukannya.”

  “Kalau begitu cobalah disini.”

  “Gila kau!! Kalau sempat ada mata-mata dari SOS di sekitar sini, bagaimana?! Kau mau bertanggung jawab?”

  “Hanya ada kita berdua disini, lagipula sudah selarut ini..” ucap Draco berusaha menyakinkan

   “Aku belum ahli melakukannya!”

  “Makanya coba!!” paksa Draco sedikit membentak

 “Aish, kau ini keras kepala sekali!”

“Kan kau sendiri yang bilang mau melihatnya, yasudah coba saja!!”

  “Yasudah iya, tapi jangan salahkan aku kalau gagal.”

 “Gagal yah coba lagi.”

  “Iya coba katamu, terus besok paginya aku yang berurusan sama kepala sekolah.”

   “Sudah cepat sana. Aku tunggu disini.” perintah Draco yang ternyata sedaritadi sibuk mengukur jarak jauh dari Peter, tanpa memperdulikan ocehan dari temannya itu.

     “Dasar teman sialan.”

  “Pathy Memoria..

Dengan keyakinan penuh ia mencoba mengeluarkan kekuatannya di hadapan Draco untuk kali pertamanya. Dan Sriiing!

Cahaya silau seketika menyinari area tersebut lalu kemudian keluar sebuah portal transparan yang merupakan pembatas bagi dunia mereka dan dunia manusia biasa.

Sesuai aturan penggunaan kekuatannya, Peter pun cepat-cepat memberitahukan alamat lengkap yang merupakan tempat dimana keluarga ibunya tinggal, dan tak butuh waktu lama portal tersebut telah memperlihatkan seisi bagian rumah keluarga ibunya.

Layaknya seperti sedang bermain permainan gaya 3D, begitulah cara Peter mengontrol portal tersebut agar dapat menemukan kamar pribadi milik adik tirinya, namun dirinya tak kunjung menemukannya.

  Karena tak melihat reaksi apapun dari Peter, pemuda tampan yang tadinya masih berdiri dibalik pohon kini sudah berjalan menghampiri posisi Peter.

          “Kenapa kau diam saja?” tegur Draco

    “Ada yang aneh,”

   “Apanya yang aneh?”

   “Aku nggak ada lihat kamar khusus perempuan di dalam rumah itu,” jelasnya yang masih berusaha mencari ke seluruh bagian rumah

   “Kau yakin nggak salah alamat?”

  “Yakin.”

  “Tapi coba cari pelan-pelan dulu,”

Brakk!

Mendadak terdengar suara benda terjatuh dengan keras, suara itu spontan menimbulkan kepanikan di antara kedua pemuda tersebut, mereka saling memandang satu sama lain, berharap hanya mereka saja yang mendengarnya.

        “Tutup saja portalnya, Peter!” pinta Draco yang mulai panik, takut akan ketahuan.

    “Gila kau! Aku harus periksa dulu lah, aku nggak mau Ibuku kenapa-kenapa nantinya.”

Peter membantah, ia mengarahkan portal tersebut ke bagian sisi ruang tamu yang berada di dekat pintu masuk.

Walau tangan besarnya sedikit gemetaran ia tetap memberanikan dirinya untuk memeriksa, dan alhasil Peter mendadak merasakan jantungnya berdegup sangat kencang saat kedua matanya tak sengaja mendapati sesosok gadis remaja berparas cantik nan jelita yang tengah sibuk membersihkan serpihan kaca bening dari pecahan toples cemilan yang di ambilnya diam-diam dari meja dapur.

        “Cewek itu siapa?” tanya Peter terpelongo

     “Adikmu sudah ketemu?” tanya Draco yang masih focus mengawasi sekitaran mereka

    “Cewek itu adik tiriku?” ujar Peter tak percaya

    “Kenapa nada bicaramu malah seperti itu sih?” tanya Draco justru merasa kesal

Peter berbalik badan menghadap Draco dan membiarkan temannya itu melihat sendiri apa yang terpantul dari portal tersebut tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

        “ITU ADIKMU?!” tanya Draco kaget bukan main

     “Aku nggak tahu, kenapa dia bias secantik itu coba?” heran Peter hampir menangis

    “APA?! Kenapa kau malah mikir kesitu, bodoh!”

   “Melihat sosoknya saja, hatiku sudah mau hampir copot rasanya”

 “Aish kau ini, terlalu jujur sekali kalau ngomong.” gumam Draco sangat pelan. Ia juga tak dapat mengelak akan satu fakta, bahwa dirinya telah jatuh cinta pada gadis tersebut.

Peter kembali membalikkan badannya menghadap portal, ia sama sekali tak menyangka kalau sosok adik tirinya akan secantik itu.

     “Target utama dikunci.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status