Setelah beberapa saat, Bell 412 yang mereka tumpangi telah sampai di titik yang mereka tuju. Mereka terjun dengan parasut dan bersiap memasuki paru-paru dunia dengan perasaan yang tak menentu. Nick memimpin perjalanan di depan. Sepasang mata cokelatnya yang terang menyapu seluruh tempat.
Tidak ada sesuatu yang berarti, mereka terus berjalan melewati pohon-pohon kapuk dan karet serta rerumputan yang tumbuh liar di bawah kaki mereka. Ternyata hutan itu tak seseram yang dibayangkan.
Hampir separuh waktu menyusuri wilayah itu, komunitas memutuskan untuk beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Mereka menemukan beberapa batuan besar yang melumut, sepertinya itu tempat yang cocok untuk bersandar.Lutfi, Joe, dan Sanskar menyandarkan punggung di badan bebatuan sedangkan Steve dan Gaffin asyik mengamati bunga-bunga anggrek yang dihinggapi kupu-kupu morpho biru. Seolah tersihir, mereka berdua tak sekali pun mengedipkan mata.
“It’s so amazing!” ujar Gaffin. Youvee yang mendengar hanya melirik sekilas, ia sibuk meneguk air rendaman apel di bawah pohon. Nick, Yodas, dan Mehmet, mata mereka terus berpatroli.“Hentikan tanganmu yang menjijikan itu. Apa kau tidak ingat kekasihmu di rumah?” tanya Joe, merasa jijik dengan sentuhan lembut yang menggelikan di bagian tengkuk.“Aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kau melotot ke arahku?” Lutfi yang tak terima dituduh berusaha membela diri.“Hm … Sanskar, bercandamu sungguh tidak lucu. Apa kau pikir aku ini lelaki tidak waras?” Kembali, Joe bertanya, berusaha menahan amarah di ujung hidung. Sanskar mencondongkan badan ke arah Joe, kemudian membentangkan kedua tangan. Joe diam dengan ekspresi bingung, ia kembali merasakan sapuan yang menggelitik di tengkuknya.“Kalau bukan kalian yang melakukannya lalu siapa?” Suara pemuda berkumis tipis itu terdengar rendah dan sedikit bergetar.Wajahnya menjadi sepucat mayat ketika menyadari ekspresi tidak beres dari kedua teman duduknya. Joe memberanikan diri untuk menoleh ke belakang ketika menyadari Lutfi dan Sanskar pelan-pelan bangkit dan menjauh dengan perlahan.
“Arggh!!!” Suara Joe seketika mengejutkan sekelompok burung yang sedang bersantai di pepohonan. Sesuatu merayap ke tanah."Hiya!" Dengan sigap Lutfi menghantamkan kayu yang baru saja diambilnya ke arah di mana Joe tadi mendaratkan pantat. Nick dan semua orang yang terkejut pun segera menghambur dan membantu pria malang itu untuk berdiri.“Dasar lipan sialan!!” Joe mengumpat sambil menginjak lipan seukuran jempol orang dewasa, lipan itu hanya pingsan. Lutfi bukanlah orang yang tega membunuh hewan.“Joe, kau tidak apa-apa?” tanya Nick.“Tidak, aku hanya syok.” Lelaki itu menyeka keringat di pelipis sambil berusaha menetralkan napasnya yang tersengal.“Nick, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan saja!” usul Yodas, ia mengusap brewok tipisnya yang dijamah nyamuk.“Iya, sepertinya tempat ini tidak aman untuk istirahat,” timpal Sanskar.“Baiklah. Tetap waspada dan hati-hati karena kita tidak tahu, bahaya apa yang sedang menunggu kita.” Nick berjalan lurus diikuti semua anggota.Malam telah menjelang, mereka masih berjalan menggunakan senter sebagai penerang. Beraneka macam suara binatang malam saling bersahutan. Burung-burung bersuara seram memecah keheningan langit rimba, mengentalkan suasana yang tak biasa.Mereka masih menjejak menembus hawa dingin yang menusuk kulit, berbagai macam binatang kecil yang beracun seperti kalajengking dan king kobra telah mereka melewati. Mereka kelelahan, melawan binatang-binatang berbisa tanpa membunuh sangatlah menguras tenaga. Nick menyeru semua anggota untuk berhenti. Bagaimana pun juga mereka harus tetap sehat sampai kembali ke kota. Mereka bersepakat untuk membangun tenda dan mengisi perut yang telah kosong semenjak memasuki hutan.
Usai makan, mereka bertukar cerita tentang karakter pasangan masing-masing. Mereka juga meledek Steve yang tak kunjung memiliki istri bahkan selalu mendapat penolakan dari gadis-gadis di seluruh Amerika Selatan. Steve yang merasa tersinggung memilih diam dan memasang senyum masam, hanya Nick dan Mehmet yang tidak pernah melontarkan kata-kata menyakitkan.Steve menyadari betul, apa yang menjadi kekurangannya. Ia memang tak sekaya dan tak setampan teman yang lain, itulah sebabnya di usia yang ke-30, ia tak kunjung mendapatkan pasangan.
Lagi pula ia bukan tipe orang yang sembarangan memilih wanita. Ia memiliki kriteria khusus yang belum pernah ditemukan pada gadis-gadis di sekitarnya.
Mulai bosan dan merasa ngantuk, mereka memasuki tenda. Steve meminta Mehmet untuk menjadi teman tidurnya. Karena tak merasa keberatan, pria berpawakan tinggi itu setuju saja. Pemuda yang selalu menggenggam tasbih itu mengerti apa yang tengah dirasakan Steve, menjadi bahan olok-olokkan di komunitas memang tidak menyenangkan. Mehmet hanya berharap, agar mereka lebih bisa menjaga perasaan antar sesama anggota.Di saat semuanya terlelap, Nick masih di luar untuk berjaga-jaga, sekadar ingin memastikan bahwa tempat yang mereka diami aman. Sedang asyik menikmati nyala api unggun, tiba-tiba indera pendengarannya menangkap suara yang mencurigakan dari arah belakang.Ia bangkit dan berjalan perlahan-lahan, ada pergerakan di balik semak-semak yang rimbun. Lelaki tampan itu meraih ranting besar untuk berjaga-jaga. Pelan tapi pasti, satu gerakan dapat menyibak dahan yang bergoyang menggunakan ranting hasil pungutan tersebut. Dan tiba-tiba ….
Pluk!Sebuah jambu biji mendarat sempurna di wajah ovalnya hingga semua daging dan biji terurai ke mana-mana. Nick menyeka kedua matanya yang telah berubah warna menjadi merah jambu. Tiba-tiba, senyuman terlukis ketika melihat siapa pelakunya. Pasangan monyet yang tertangkap basah itu sudah melarikan diri dengan cicitan yang tak berkesudahan. Sepertinya mereka kesal sekali dengan Nick, sampai-sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak melempari wajahnya.Untuk beberapa saat, pemilik lesung pipit itu tenggelam dalam pikiran yang entah dan sama sekali tak menyadari sesuatu sedang mendekat ke arahnya. Nick berjingkat ketika tiba-tiba bahunya ditepuk dari belakang. Secara spontan, ranting yang masih berada digenggaman mengayun tepat pada sasaran.
“Au, kenapa kau memukulku?” Nick memutar bola mata sembari menjatuhkan ranting yang ada di tangan.“Kenapa kau mengejutkanku, Youvee?” Nick menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku ingin buang air kecil dan melihat kau di sini. Ya sudah, aku sudah tidak tahan lagi.” Youvee berlari kecil ke depan, lalu dengan segenap nikmat membuang sesuatu yang mendesak kandung kemih.Nick memutar badan dan bermaksud akan kembali ke tenda. Namun, tiba-tiba Youvee berteriak sangat kencang. Segera, ia berlari dan menanyakan apa yang terjadi.
“Tolong aku!” Pria bermata sipit itu terus berteriak.Nick terpaku pada semut-semut yang menggerayangi tubuh Youvee. Bukan semut biasa, hewan hitam berukuran besar itu sangat beracun dan bisa membahayakan nyawa seseorang jika tidak cepat-cepat ditangani.
Panik, suami Jess melepas jaket dan membakar ujungnya. Setelah itu, jaket tersebut dikibas-kibaskan ke badan Youvee hingga semut-semut lenyap. Youvee yang merasa seperti ditusuki ribuan jarum langsung tersungkur, sensasi panas segera menjalar hingga kulit putihnya menjadi bersemu merah. Melihat Youvee kesakitan, Nick bergegas memapahnya ke tenda. Pemuda tionghoa itu terus mengerang kesakitan hingga membuat Lutfi—teman satu tendanya tersadar.“Kau kenapa?” Lutfi mengucek mata beberapa kali demi melihat kondisi tubuh memprihatinkan teman sekamarnya. Sejurus dengan itu, Nick datang membawa sebaskom air hangat. Dengan telaten ia mengompres tubuh Youvee.“Nick, ada apa dengan Youvee?” Lutfi mendesak mereka dengan pertanyaan.“Diserang sekelompok semut.” Nick menjawab sekadarnya.“Kok, bisa?”“Tadi, dia buang air di bawah pohon tua.”“Oh, karma kencing sembarangan.” Nick melotot, mulut Lutfi menambah raungan Youvee bertambah keras.“Istirahatlah, agar cepat pulih.” Nick menutup tubuh Youvee dengan selimut yang dingin kemudian pamit untuk beristirahat. Lutfi yang merasa terganggu segera menutup kedua lubang telinganya. Kalau tidak, bagaimana ia bisa tidur.“Callin?” Dev tersenyum miring mendengar suara gelisah Ezhar.“Kau menyentuh bonekaku?”“Tenanglah, aku hanya sebentar saja memainkannya!” Ezhar menjawab.“Tinggalkan kami, Ezhar! Aku ingin memainkannya sendiri.” Setelah berkata demikian, Ezhar mulai menghitung langkah dengan sorot mata penuh pertanyaan.Beberapa saat setelah kepergian Ezhar, Callin memulai aksinya. Ruangan 3x4 meter itu penuh dengan raungannya. Tidak ada apa pun yang bisa menjadi tempat pelampiasannya kecuali Dev. Callin menjadikan adiknya seperti mainan yang tidak diinginkan. Sesekali, tinju-tinjunya dilayangkan pada wajahnya sendiri. Hal itu membuat kepala Dev dipenuhi tanda tanya.“Apakah dia sedang mengingat penderitaannya?” gumam Dev.“Cih, untuk apa aku peduli soal dia!” Dev menggeliatkan sedikit badannya yang dipenuhi darah. Walaupun sedikit, pergerakannya membuat besi rantai yang membelenggu tangannya bergemerincing. Callin yang tengah berusaha untuk tenang seketika menoleh. Membalik badan dan menusuk Dev den
Boom!Dentuman menggelegar meriuhkan jagat. Angin berdebu mengaburkan penglihatan dalam sejenak. Dalam satu pukulan itu, Callin berhasil membuat seluruh tempat menjadi porak-poranda."Dev!" Michele kembali berteriak saat dia melihat Dev bertelengkup dan mengangkat kepala dengan lemah."Jika kau ingin selamat, diam dan pergilah!" Callin berkata dingin kepada Michele. Dia kemudian menyeru semua anggota yang tersisa dan mengisyaratkan Ezhar untuk pergi."Dev!" Teriakan Michele terdengar pilu. Dia harus menyaksikan Callin menyeret Dev seperti menyeret babi hutan.Di sebuah tempat tersembunyi di São Paulo, Dev diasingkan. Rumah kayu yang tak bersekat di sana akan menjadi tempat baru yang sangat mengerikan untuk Dev. Bayangan Callin akan mengulitinya hidup-hidup terus berputar di kepala dan mungkin itu akan terwujud saat Callin muncul dengan tombak bermata tiga di tangannya."Apa kau merasa lelah dengan perjalanan kita sampai kau harus tidak sadarkan diri dalam waktu selama itu?" Callin ber
"Dasar anak bodoh!" Elios membuka mata dan melihat Dev sudah ada di depannya."Kau? Apa kau berubah pikiran?" Elios menebak. Dev mendecak. Tidak bisa memahami jalan pikiran pemuda latin itu."Ikut aku!""Tidak! Aku harus mencari Devada.""Lupakan dia!""Hei, apa kau sudah gila?" Elios mendecih. Terlihat sangat tidak suka dengan perkataan Dev."Ikut aku jika kau ingin selamat." Elios memberi tanda penolakan dengan menggeleng."Kau bukan Tuhan yang menjamin keselamatanku. Bagaimana mungkin aku mengikuti orang yang tidak kukenal sementara gadis yang aku cintai sedang dalam bahaya?" Dada Dev kembang kempis. Ingin memukul Elios, tetapi pemuda itu tidak sepenuhnya salah."Kau terlalu banyak membual, Elios!" Dev berkata dingin."Membual? Apa kau tidak pernah mencintai seseorang sehingga kau bertindak seperti orang yang tidak punya hati?""Hei ... dia sudah mati!" Seketika, bentakan Dev membuat tangan Elios melayang keras ke pipi Dev."Dev! Sudah!" Michele menahan tangan Dev yang sudah terkep
"Devada? Di mana Devada?" Seorang pemuda terbangun cemas setelah pingsan dari perjalanan menuju tempat tersembunyi."Diamlah, Elios!" Dev menghentikan aktivitas tangannya. Elios terhenyak, tetapi bukan karena suara dingin Dev melainkan laki-laki yang tergeletak tak berdaya di depan Dev."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada orang itu?" Elios tersudut pada dipan yang menjadi dinding rumah yang mereka singgahi.Dev memutar badannya, lalu menumpahi Elios dengan tatapan kesal. Selanjutnya sebuah tanggapan dia haturkan, "Seharusnya aku meninggalkanmu saja di tempat terkutuk itu!"Dev mengangkat beban tubuhnya meninggalkan Elios yang belum pulih dari rasa syok. Hanya sebentar saja mengambil secawan air putih dia ambil dari mata air di area yang tidak jauh, lalu kembali lagi ke ruangan di mana Elios berada."Minumlah!" Dev mengulurkan gelas bambu pada Elios."Terima kasih!" balas Elios, keruh di wajahnya sudah hilang."Katakan kalau kau merasa lebih baik." Dev membalas."Maaf, aku sudah sala
"Apa hasilnya?" Dev menatap punggung seorang dokter yang baru saja memeriksa keadaannya. Dia beringsut dari brankar, lalu duduk."Tunggulah! Kau pasti akan mengetahuinya. Sekarang, kau hanya perlu pulang dan istirahat." Dokter perempuan itu berkata sambil berkutat dengan pekerjaannya."Aku tidak memiliki banyak waktu, Dokter!""Sepertinya kau tidak kalah sibuk dengan Jair Bolsonaro yang seorang pria nomor satu di Brazil." Dokter itu kemudian terbahak. Namun, keadaan menjadi hening ketika Dev menghentakkan telapak tangannya di meja."Ternyata kau sama keras kepalanya dengan ayahmu!""Jika aku menjadi pemilik rumah sakit ini, aku tidak akan membiarkan orang sepertimu menjadi tenaga kerja." Ucapan Dev membuat dokter itu mengunci tatapannya dalam sekejap."Apa kau benar-benar siap untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, Dev Sasaka Erhan?" Mata tajam Dev seketika jatuh pada perempuan berseragam di seberangnya. Tidak disangka, dokter itu sudah terlebih dahulu menusuknya.Ketegangan meng
"Siapa kau?" Perempuan telanjang itu bergeming dan terus mendekati Dev dengan membawa ular di tubuhnya. Dev mengelak saat perempuan aneh itu mengendusnya."Menyingkir dariku, Jalang!" Dev terlihat marah. Akan tetapi, lawan bicaranya hanya tersenyum, memamerkan gigi taring. Saat melihat itu, seketika Dev mengerti bahwa dia sedang berhadapan dengan iblis. "Apakah kau yang mereka panggil dengan sebutan dewi?" Dev mengejek."Jika kau makin banyak bicara maka aku akan makin tertarik. Mulutmu sangat wangi dengan bau Asmodeus. Kau sudah memakan jatahku malam ini dan kau harus menggantinya." Perempuan itu berkata sambil mengendus leher Dev. Jilatan lidahnya membuat Dev merasa sedikit terlena."Apa maksudmu?" tanya Dev."Raja Asmodeus, kau adalah raja kegelapan. Setiap tatapanmu adalah mutiara. Engkau Bapak penguasa singgasana neraka. Birahi dan napsu tunduk di bawah kakimu. Aku datang sebagai kekasihmu, naungi aku dengan geloramu. Berkati aku dengan keringatmu. Aku mempersembahkan seluruh ke