“Sayang, apa kau terluka?” Joana menatap sendu gadis berkulit terang itu. Suhu ruangan tidak mampu mendinginkan panas di otaknya.
“Tidak apa. Terima kasih, sudah membantuku.” Elfara tersenyum tulus meski ruang matanya masih saja basah, ia segera mengalihkannya ke kolong meja yang menopang ke dua tangannya agar Joana tidak melihat kerapuhannya.
“Jangan berlebihan itu sudah tugasku. Aku minta maaf atas kelancangan Veronica.”
“Tidak apa, lupakan saja!”
“Kenapa kau tidak mengelola perusahaan ayahmu? Bukankah semua itu sudah dialihkan atas namamu?”
“Aku hanya ingin mempunyai perusahaan yang dibangun atas kerja kerasku sendiri.”
“Kau hebat, Elfara. Beruntung sekali Nick dan Jess memiliki putri sepertimu.” Elfara tersenyum getir. Pada kenyataannya, ia tak sebahagia itu.
Hari ini, mood Elfara sedikit membaik. Gadis itu pergi ke alamat kantor yang telah dikirimkan oleh Joana. Gedung sepuluh tingkat itu dijelajahinya dengan gembira. Baru saja ia keluar dari ruang rekrut. Hasil interview dan segala test yang ada sangat memuaskan. Elfara berhasil membuat tim HRD terkesima, mereka benar-benar bekerja dengan profesional. Walaupun, ia belum pernah memiliki riwayat sebagai sekretaris, ini akan menjadi pengalaman baru yang menyenangkan. Kedua mata Elfara menyapu seluruh ruangan bersekat tersebut, ruangan bernuansa perak tersebut terlihat rapi dan bersih. Orang-orang di gedung itu terlihat cuek dan sedikit kaku, mereka sangat fokus dengan pekerjaan mereka masing-masing. Gadis itu meletakkan tas di meja yang ditunjuk oleh salah seorang dari divisi HRD, sebuah potret yang terbingkai diletakkannya di sudut meja. Tiba-tiba, sudut matanya menghangat. Lelaki dalam foto itu selalu mengusik perasaannya. Elfara larut setiap kali mengenang sosok
Brak! Suara pintu terdengar nyaring di kamar Elfara, Jess yang mendapati anak itu telah pulang, segera menyusul tanpa memikirkan keletihan yang melanda putrinya. Ia memiliki pertanyaan yang harus segera terjawab. Namun, ternyata gadis itu mengunci pintunya. “Elfara!” “Elfara!” “Keluar sebentar, kita harus bicara!” Beberapa saat berlalu, pintu terbuka. Elfara keluar dari kamar dengan pakaian kerja yang masih melekat. “Ada apa?” Elfara berkata sedikit ketus. “Semakin hari, kau semakin berani, ya?” “Mommy, aku tidak ingin berdebat. Katakan saja, apa yang ingin Mommy katakan!” Jess menatap lekat anak gadisnya yang kini tengah melipat tangan sambil bersandar di tembok. “Sejak kapan kau bekerja untuk Joana, hah? Katakan, untuk apa kau bekerja dengannya!” Elfara menarik sudut bibirnya kemudian tertawa kecil. Wanita yang berpangkat ‘ibu’ itu menunjukkan keegoisannya. “Memangnya apa masalahn
Dev memeriksa setiap ruangan, keberadaan Jessy tidak terlihat. Sepasang netranya kemudian beralih ke pintu utama yang telah terbuka, Dev menemukan Elfara yang sudah tidak sadarkan diri. Pecahan guci berserakan di lantai, semua tak luput dari noda darah, tetapi darah siapa? Pemuda tampan itu mengangkat kakaknya hingga akhirnya ia merasakan aliran merah di punggung gadis itu mengenai lengannya.“Elfara!” Aura wajahnya bertambah kelam, lelaki itu meletakkan kakaknya di sofa. Dev mengobrak-abrik semua tempat dengan gusar.“Sial, Mommy sama sekali tidak memiliki telepon di rumah ini. Ponsel Elfara juga tidak ada! Haah!” Dev membanting meja yang berada di sisinya hingga menimbulkan suara yang menusuk gendang telinga. Meskipun begitu, kesadaran Elfara tidak terpancing untuk segera pulih. Luka Elfara cukup dalam, akhirnya Dev menggotong tubuh gadis itu ke luar.“Demi penguasa alam kegelapan, semua ini pasti sudah direncanakan!
Nick meringkuk di dalam temaramnya kamar. Putih sprei yang memangku punggung perlahan berubah menjadi milyaran kristal berwarna kecokelatan. Kawanan angin yang bermigrasi membawa sebagian besar butiran paling halus yang tertidur dilapisan paling atas. Nick menunduk, tak mengizinkan pasir terbang menyerang sepasang jendela dunianya yang terang. “Di mana aku?” Nick meninggalkan jejak meskipun belenggu badai mengikat tulang kakinya. Sesekali ia terantuk, tidak berhasil berdamai dengan kekuatan alam sebesar itu. Sebagian debu pasir berselimut memberatkan punggung. Jakun Nick yang naik turun mengisyaratkan betapa menyusutnya buih saliva yang selalu bermukim di sepanjang mulut dan kerongkongan. Gurun pasir yang ditumpu seolah tak memiliki ujung. Nick menyeret tubuhnya berharap menemukan oase. Akan tetapi, hanya ada kaktus meranggas di bawah arkamaya kelabu. Haruskah ia menyerahkan diri kepada penguasa takdir? Membiarkan tubuhnya perlahan berubah menj
Sengat mentari merangsang pori-pori, Jessy segera bangun ketika menyadari dirinya berada di bahu jalan. Ia merasakan sakit di sekujur tubuh, bahkan luka di punggung tangan masih terlihat basah. Jess memindai sekeliling, ternyata ia berada di dekat katredal. Jessy berusaha mengingat apa yang terjadi, tentang bagaimana ia bisa tergeletak di pinggir jalan begitu saja. “Arrrgh!” Jessy memegang kepala dengan kedua tangannya seperti tengah merasakan sakit. “Sial! Kenapa aku tidak mengingat apa pun?” Karena bingung harus melakukan apa dan akan pergi ke mana, Jessy memutuskan untuk masuk ke katredal unik berkaca patri itu. Namun, rupanya kekuatan Jessy hanya sampai di salah satu patung Penginjil. Ketika wanita bergelar ibu itu hampir kehilangan kesadaran, seorang lelaki berkacamata berlari ke arahnya. Lelaki tak dikenal itu membantu Jess untuk duduk. “Nyonya, maaf izinkan aku membawamu ke rumah sakit. Kau terluka!” ucapnya penuh kelembutan.
Brasilia digegerkan oleh berita ledakan sebuah mansion. Polisi dalam penyelidikannya menemukan satu korban jiwa yang mengalami luka bakar serius sebanyak 60%. Wajah korban tidak dikenali, dan para petugas tidak menemukan apa pun yang dapat menjadi petunjuk identitas korban. Joana mengernyit mendengar berita itu di layar ponselnya.“Mansion itu, aku sering melintasinya. Apa yang terjadi?” Joana meletakkan kembali benda pipihnya, tangannya beralih ke meja, membereskan sisa-sisa barang yang berserakan. Pekerjaan hari ini cukup menguras tenaga dan membuatnya lupa bahwa ia telah melewati separuh malamnya di ruang yang memusingkan itu. Perempuan itu melirik arloji yang melingkar di tangan ketika sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke ponselnya.“Aku tidak peduli, jangan menghubungiku sebelum kau mendapatkan informasi keberadaan Jessy!” Tanpa sadar, tangan kiri Joana meremas berkas yang tengah dibereskannya.“Tidak berguna! Untuk apa aku memb
Di Flat Particular, Jessy menyaksikan tayangan televisi dengan liur yang hampir menetes. Waktu satu detik tanpa sensor pada korban ledakan di mansion yang sedang hangat-hangatnya disiarkan oleh acara berita seolah menciptakan sensasi liar pada wanita berparas cantik tersebut. Jessy meneguk minuman kaleng seolah kerongkongannya tidak dialiri air selama berhari-hari.“Kau belum tidur?” Jessy terkesiap mendapati Michele yang tiba-tiba bersuara dari belakang punggungnya.“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu.” Michele berucap seraya menangkupkan kedua tangan.“Ah, tidak masalah. Aku yang terlalu serius.”“Kau menonton apa?”“Biasa, acara berita.”“Em, berhubung kita sama-sama tidak tahu siapa namamu, bolehkah aku memanggilmu Jeselyn?” Jess terbatuk dan sontak memegang kepala. Kata-kata Jeselyn seperti sebuah clue dari sepotong memorinya yang ingin
Hening mendominasi perjalanan pulang Michele dan Jessy. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Melihat sekilas foto Nick ketika sampai di rumah, Michele seperti bingung dengan kejadian itu. Akan tetapi, dia tidak begitu memusingkan hal tersebut karena Nick hanyalah pasien yang mengalami gangguan jiwa. Berbeda dengan Jess yang terus gelisah sepanjang waktu. Usaha untuk tidak memikirkan pria itu dengan berlebihan gagal total. Sentuhan, ucapan, dan tatapan Nick seolah menempel di semua indera hingga terbawa ke mana pun kaki melangkah. Bayang-bayang itu sama sekali tidak memberinya waktu beristirahat.“Apa yang terjadi? Itu semua, apakah hanya kebetulan? Malam itu, mulutku spontan mengucapkan nama Nick dan pagi harinya aku bertemu pasien Michele yang memiliki nama serupa.” Jessy membuang selimut yang terbentang di sebagian tubuh. Segelas air putih langsung tandas setelah sebutir pil masuk ke kerongkongan. Mengendap-endap, ia melihat Michele mendengkur di unit s