“Mas? Kamu kok tidur di bawah?” Alma menyimpan gelas di nakas dan duduk disamping tubuh Adam yang tertidur di atas karpet bulu bawah ranjangnya.
“Gak papa aku disini aja.” “Mas, jangan dong, kamu bangun, naik ke atas. Yuk.” Adam membuka matanya, “Aku pikir kamu masih marah sama aku karena makannya lama." “Maaas, gak gitu. Tadi aku ngobrol dulu sama mama.” “Oh.” “Ayo bangun, tidurnya di atas.” “Sini tarik tangan aku.” pintanya manja. Alma menurut, ia menarik lengan Adam. Dengan sengaja Adam menarik Alma ke dalam tubuhnya. Wajah mereka berdekatan, Alma bahkan sengaja menahan nafasnya karena kaget jarak mereka begitu dekat. Adam memajukkan wajahnya, dan, Cup! Bibir mereka menempel. Hanya menempel. Alma melotot dan badannya membeku. Ia menarik badannya dan duduk tegap memunggungi Adam. Sadar Alma enggan meneruskan proses itu, Adam ikut bangun dan berpindah ke atas kaAlma tengah membantu mama membuat Banana Strudel untuk camilan sore. Meski tidak membantu banyak, tapi lumayan lah, mama bisa menyuruh Alma ini dan itu. Siang ini mama sengaja masak banyak untuk membuat Alma punya kegiatan. Beliau sangat khawatir kalau setelah menikah Alma tetap menjadi orang yang hobi tidur dan hibernasi seperti beruang yang diam di kamar seharian.“Ma, udah dong jangan bikin menu lain lagi. Capek tau.”Mama melirik Alma yang tengah manyun sambil mencuci tangannya, “Baru segini. Kamu tuh harus pintar mencuri hati suami kamu. Salah satu caranya ya ini, masak.”Alma menatap punggung mama yang tengah mengelap meja yang kotor dengan terigu, “Mas Adam bisa masak juga, jadi kalo aku masakkin dia terus, dia gak akan aneh lah.”Mama membalikkan badannya, “Justru itu. Kalo Adam bisa masak, kamu harus lebih jago dari dia. Lawan dia. Nanti juga luluh sendiri.”“Iyaaa.”“Ma, tolong angkatin Banana Strudelny
“Belle sayang.” Adam menghampiri suster Ruth yang mendorong stroller Belle. Ia memangku Belle dan menciuminya hingga puas, “Papa kangen banget sama kamu, nak.”Alma yang melilhat itu menatap malas ke arah mereka. Ia menatap suster Ruth yang mengangguk dan tersenyum sopan padanya, “Masuk, sus.”“Iya, bu.” Suster Ruth melipat sroller dan mengangkatnya ke atas teras. Adam yang anteng memangku Belle harus mengangkat telponnya yang terus bergetar di saku celananya, “Sayang, tolong pegang Belle dulu.”Alma mengernyit, “Kok aku?”“Sayang, ini aku harus angkat telpon dulu.”Alma membuang nafasnya kesal. Dengan terpaksa ia menerima Belle, “Sini.”Adam merogoh saku celananya. Ia mengangkat telpon buru-buru, “Iya, saya ke rumah sakit sekarang.” Ia menutup telpon dan mencium Belle lagi, “Belle, papa kerja dulu ya. Kamu anteng-anteng sama mami.”“Yayayayah.”Adam menatap Alma yang membuang mukanya dengan
Alma menempelkan banyak baju ke badan suster Ruth, “Kurang masuk sama karakter sus.” Ia melempar baju sembarang.“Alma, udah, aku pake yang mana aja.”Alma menatap suster Ruth, “Gak bisa gitu, sus. Kita harus pake baju sesuai suasana hati dan cuaca di luar, gak bisa sembarangan.”“Emang kalo sembarangan kenapa?”“Ya gak bagus aja.” kilahnya. Ia terus melempar baju yang tak sesuai dengan maunya ke atas kasur.“Alma, baju kamu jadi berantakkan.”“Gak papa, nanti bisa bibi beresin. Naaaah ini cocok.” pekiknya. “Pake, sus.”Suster Ruth mengambil baju dan pergi ke kamar mandi. Sedang Alma masih memilih baju untuk dirinya sendiri.Saat suster Ruth keluar dari kamar mandi, Alma sedang bersolek di meja rias. Ia melihat pantulan suster Ruth dari cermin, “Wah, cantik banget sus.”“Ma, aku lepas ya, aku gak bisa pake baju gini.” Suster Ruth terus menarik ujung dress di atas lututnya.Alma membal
Alma berdiri memunggungi Mario yang berjalan melewatinya. Ia menarik lengan suster Ruth dan mengatakkan untuk terus memperhatikan kemana arah cowok itu pergi.Suster Ruth menurut. Meski tidak tahu itu siapa, ia menjalankan tugasnya dengan baik. Ketika Mario sudah berjalan jauh dan tak nampak dirinya lagi, suster Ruth melirik Alma, “Orangnya udah pergi.”Alma bergerak pelan dan melongokkan wajahnya ke arah Mario melewati mereka. Ia membuang nafas lega, “Akhirnyaaa.”“Dia siapa?”“Mantan aku.”“Oh.”“Dia pergi kemana?”“Tadi sih ke arah timur.”Alma merapikan rambutnya dan mengatur nafas sedemikian rupa karena benar-benar kaget ketika melihat Mario dari kejauhan. Ia tidak siap bertengkar dengan mantan pacarnya. Ia juga tidak siap meladeni beribu pertanyaannya yang pasti akan bertanya mengenai alasan memutuskannya sepihak setelah jadi istri orang.“Kita pulang sekarang?”Alma menggeleng
“Suara Alma kekencengan ya? Aduh, maaf ya, mama jadi gak enak.” mama menarik lengan Alma, “Minta maaf sama suami kamu.”Alma melipat kedua tangannya, “Ogah.”Adam memijat dahinya yang pusing. Ia baru saja tertidur setelah menyelesaikan jurnal penelitiannya, tapi harus terbangun dengan suara kencang Alma yang menyebut enggan satu kasur dengan Belle selamanya, membuatnya tersinggung dan harus mengambil sikap tegas.“Kamu masuk kamar sana, mama juga mau tidur lagi.” mama melirik Adam, “Nak Adam, mama tinggal dulu ya.”Adam mengangguk, “Maaf ya, ma tidurnya terganggu karena Alma.”“Hehehe, gak papa, mama udah biasa kok.”Setelah mama masuk ke dalam kamar, Adam duduk disamping Alma, “Ayo ke kamar.” pintanya dengan suara lembut.“Gak. Kamu aja sana.”Adam merebahkan dirinya di sofa, “Ya udah aku tidur disini juga deh.”Alma melirik Adam tanpa bicara apa pun. Ia tetap ngambek dan enggan pindah ke dal
Setelah melempar Adam dengan bantal, Alma di minta untuk diam di ruangan bertiga dengan Virza dan suster yang akan menemaninya konseling. Papa-mama dan Adam diminta keluar.“Dokter, saya kan mamanya, saya tetap tunggu disini ya?” mama memohon.Virza melirik Adam sebentar, “Tidak bisa, bu, sudah begitu prosedurnya. Ibu tunggu di luar, jika saya butuhkan keterangannya nanti ibu dan bapak akan suster panggil.”“Udah lah, ma, kita ikut prosedur saja. Itu Alma keliatan udah baik-baik aja kok, jadi gak perlu di temani.” Papa mengelus bahu mama dan memberikannya pengertian. Papa menatap Virza, “Kami akan menunggu di luar.”Virza mengangguk, “Silakan, pak.”Papa menarik lengan mama. Adam juga berjalan membuntut dibelakang mama dan papa. Mereka akan menunggu di luar.“Nak Adam tidak ada jadwal dinas?” tanya papa ketika mereka sudah berada di luar ruangan.“Ada, pa, saya udah izin sampe tahu penjelasan dari psikiater menge
“Ma, pa, saya izin tinggal dulu.”“Oh iya, nak Adam, silakan.” Papa mempersilakan Adam bertugas.Adam berlari ke UGD untuk bertemu dengan pasien yang ngamuk yang katanya meminta untuk bertemu dengannya. Siapakah gerangan manusia yang sempat-sempatnya ngamuk di saat genting begini.Dokter yang berjaga di UGD menunjuk seorang perempuan jangkung berwajah blaseteran yang tengah di tahan oleh dua perawat karena ngamuk ingin mencari Adam.“Tiara?”“Adam? Kamu dateng juga akhirnya.”Adam meminta dua perawat yang menahan perempuan bernama Tiara itu untuk pergi.“Adam, aku kangen sama kamu.” Tiara memeluk Adam.“Ti, lepas.” Adam berusaha keras melepas Tiara dari badannya.“Kamu kenapa? Kok gini sama aku?”Adam tak menggubris pertanyaan Tiara, “Kamu kenapa bisa masuk UGD?”Tiara menunjuk kakinya yang baret penuh luka, dan salah satu pergelangan kakinya sudah di perban karena mengeluarkan darah cuku
“Virza? Adam?”Adam keluar dari pintu lift buru-buru. Ia sangat menghindari kejaran dan bertemu Tiara yang akan memperkeruh hubungan suami istrinya dengan Alma. Tiara yang masih terobsesi dengan Adam pasti akan melakukan banyak hal untuk memenuhi egonya.“Adam! Tunggu, aku mau ngomong sama kamu.” Tiara menarik lengan Adam.Dengan cepat Adam melepaskan cengkraman Tiara di lengannya, “Jangan pernah deketin aku lagi, Ra.”“Dam, aku masih sayang sama kamu.”“Tapi bukan berarti kita harus ketemu lagi ‘kan? Kita udah selesai, jauh sebelum aku menikahi Dara. Jadi dengan sangat, aku memohon sama kamu untuk pergi tinggalin aku.”“Tapi kan Dara udah gak ada, Dam, jadi kita bisa mulai kisah kita yang terhenti sementara.” Tiara memasang wajah memelas untuk merayu Adam.“Ra, aku udah menikah lagi minggu lalu.”Tiara tertawa, “Kamu bohong.”“Kamu gak percaya?” Adam memamerkan cincin nikahnya, “Kamu percaya sekarang?”“Dam, kamu.... nikah sama siapa?”“Ada satu perempuan yang sangat aku