Abara Danendra kaget saat mendapati sosok nenek-nenek di kamar pengantinnya. Dia mengaku Liyana. Istrii yang baru dinikahinya tadi pagi. Tetapi, Bara tak percaya pada pengakuan wanita tua itu. Liyana Sarah sang gadis merupakan kembang Desa yang sangat cantik. Cinta pandangan pertama membuat Bara jatuh hati saat melihat Lily di kebun teh milik orang tuanya. Lantas kemana Lily? Kejadian itu sangat membuat Bara frustasi! karena banyak sekali hal dan suatu rahasia yang aneh di hidupnya semenjak menikah dengan Liyana atau yang sering ia sapa Lily itu. Banyak yang tak suka dengan pernikahan dia dengan kembang desa itu. Membuat hidupnya di hantui oleh orang-orang yang ingin mencelakai Lily dan membuat jalan ceritanya semakin rumit. Dia pun tak kenal lelah untuk mencari keberadaan Liyana istrinya. Tanpa ia sadari bahwa orang yang sangat ia cintai sangat dekat di sisinya. Padahal, istrinya selalu menemani dia. Namun, Bara tak pantang menyerah. Ia rela menghabiskan seluruh hartanya bahkan hidupnya sekalipun untuk menemukan Sang Istri. Karena Bara yakin bahwa nenek tua itu bukanlah istrinya.
Lihat lebih banyak______
"Siapa, kau!" Bara kaget saat mendapati seorang Nenek-nenek tengah berada di kamarnya terduduk di kursi rias. Menatap cermin.
"Aa ... aku ... Istrimu, Mas." Wanita yang tampak delapan puluh tahunan itu berbalik dari cermin.
Sontak wajah Bara berkerut. Heran.
"Kau, bukan Istriku!" Bara mendekati wanita itu dari ambang pintu kamar yang baru dibukanya.
"Mas ... Aku Lily istrimu," ucap wanita itu parau sembari menitikkan air mata.
"Kau bukan Liyana!" Kini Bara semakin marah. Lantas saja ia merasa risih pada sosok wanita asing itu.
Apalagi Wanita paruh baya yang mengaku sebagai Istrinya. Jelas beda! wanita yang baru di ijab olehnya tadi pagi sangat cantik dan masih muda.
"Aku Liyana, Mas!" Dia masih bersih kukuh. Mengaku bahwa dirinya Liyana.
"Tidak, kau bukan istriku!" teriak Bara kali ini sembari menggelengkan kepalanya.
Wanita paruh baya itu hanya bisa menangis. Dan terus berucap bahwa dia adalah istrinya.
Namun, Bara terus menolak. Merasa tidak terima.
"Jangan bercanda! Di mana istri saya?" tanya Bara lagi pada sosok wanita itu
Kini wanita itu bersimpuh dan memegang kakinya.
"Aku tidak bercanda, ini aku Liyana, mas. Istrimu," balasnya sambil menangis.
"Bohong, kau bukan istriku! Katakan di mana dia sekarang?" teriak Bara lagi yang sesekali melihat ke bawah di mana ada sosok nenek itu yang tengah memegang kakinya.
"A ... Aku istrimu, Mas. Liyana," ucap wanita paruh baya itu kekeh.
Sementara Bara menyeret wanita yang memakai kebaya pengantin itu keluar dari kamar. Dan mengusir dari rumah mewah yang baru dibelinya.
"Pergi!"
Bara mendorong tubuh wanita paruh baya itu ke aspal. Lalu dirinya membanting pintu.
Berjalan cepat menginjak kotak per kotak lantai. Dia pun mulai duduk di ranjang berukuran king size putih yang bertaburan mawar merah.
Bara tak menyangka bahwa malam pertamanya akan strategis ini. Siapa Nenek itu? Dan kemana Istrinya? Apa benar ucapan Laksmi kala itu. Bahwa Liyana tak mencintainya.
Tetapi pernikahan ini ada karena dasar suka saling suka. Lalu ... apa mungkin Liyana memang terpaksa menjalankan janji Suci ini karena kedua orangtuanya yang haus akan harta.
Omongan Laksmi kala itu terus terputar dibenaknya. Masa Istrinya tega melakukan hal ini. Apa benar jika ia kabur dari rumah dan mengganti posisinya dengan Nenek tua itu!
Bara mulai frustasi! Yang ia bisa lakukan hanya terdiam merenungi kejadian ini. Sambil mengacak-ngacak rambut hitamnya. Merasa jengkel.
'Liyana, dimana kamu!'
'Sungguh, tak punya hati! Kemana kamu liyana. Apa benar bahwa omongan Laksmi tentangmu? atau apa mungkin bahwa Nenek tua itu adalah Liyana?'
Bara bergumam sendiri, sembari masih duduk di atas ranjang. Ia masih menatap sekeliling, kamar ini sungguh mewah nan indah. Namun, sayang, semua keindahan seakan sirna! kala ia mendapatkan suatu kejadian yang aneh baru saja.
Dia terus saja memikirkan semuanya. Dan bertanya-tanya kemana sosok wanita cantik yang baru ia nikahi.
Bara mulai frustasi! Yang ia bisa lakukan hanya memutar roda di otaknya agar bisa melaju untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Ia terus saja berpikir lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya lagi dan mulai semakin frustasi. Kepalanya seakan berasap sekarang.
"Liyana, dimana kamu!" Bara terus saja meneriaki nama itu. Tangannya mengepal di udara. Ia sangat marah dan ingin membogem siapa saja jika ada di hadapannya kali ini. Namun, hanya ranjang putih yang ia duduki itu yang kini jadi sasaran tinju dari tangannya.
🥀
Sementara diluar wanita itu menangkupkan kedua tangan dibadan. Memeluk dirinya sendiri. Semilir angin malam sangat dingin. Ditambah kebaya putih yang menerawang sungguh membuat tulang belulang merinding.
Berjalan ditengah-tengah jalan tanpa kendaraan. Sepi. Hanya ditemani rintikan air hujan yang mulai turun ke bumi. Tangisan terus saja keluar dari sudut mata dan terasa di pipinya yang keriput.
Kemana sekarang harus pergi? Sementara semuanya pasti tak akan mengakui jika dirinya Liyana putri tunggal dari keluarganya sendiri.
Rasanya tak ada jalan untuknya keluar dari semua permasalahan.
Ia terus saja berjalan hingga ada di pinggir trotoar kota. Hanya lampu jalanan yang menerangi dan sorot lampu dari lalu lalang mobil di jalan. Beriringan dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga.
'Kemana sekarang?'
Ia bergumam sendiri. Tak mungkin jika ia kembali lagi ke rumah mewah itu. Sedangkan baru saja beberapa menit yang lalu ia di seret keluar oleh lelaki tampan itu. Ternyata, ketampanan paras tak sama dengan apa yang ada di dalamnya. Pikir wanita itu.
"Mau, kemana? Biar aku bantu," ucap seseorang yang baru saja berdiri di samping dan memegang tangannya.
Wanita itu merasa kaget akan ulah cowok muda di sampingnya. Ia tak membalas sepatah kata pun. Hanya memperhatikan cowok dari atas sampai bawah.
Cowok itu lumayan tampan, memakai kaos putih di balut jaket jeans yang senada dengan celananya juga. Jeans cargo. Tak lupa tas ikut tersampir di bahu kanannya dan juga topi hitam yang ia pakai di rambutnya yang terbelah dua. Walau malam-malam begini ia cukup rupawan seperti oppa Korea.
"Nenek mau nyebrang, 'kan?" tanyanya lagi kini
"Biar sekalian, lagi pula saya juga mau nyebrang," ucapnya lagi sembari tersenyum dan menatap ke arahnya.
Wanita itu hanya mengangguk. Seakan setuju akan ucapan lelaki muda itu. Karena memang ia tak pandai untuk menyebrang jalan.
Cowok itu pun merekatkan pegangan tangan. Sembari tangan sebelahnya ia rentangkan agar kecepatan mobil berkurang.
Ia mulai celingak-celinguk ke arah jalan dan mereka pun berjalan menyebrangi jalanan kota yang walaupun malam-malam begini masih saja ramai. Bahkan mobil mulai merayap dan macet dari arah kiri dan kanan.
Setiba di jalan, ia melepaskan pegangan tangannya.
"Nenek, mau kemana malam-malam begini?" tanyanya kembali
Namun, tak ada balasan darinya.
"Nenek, gak usah takut aku bukan orang jahat kok. Lebih baik kita duduk dulu di sana. Itu ada warung," saran lelaki itu lagi sembari menunjuk ke arah warung angkringan yang berada di sisi jalan.
Tanpa menunggu persetujuan dari Wanita itu. Ia membawanya dan mulai memesankan makanan.
Cowok itu heran, kenapa nenek itu memakai gaun pengantin bahkan tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Apa mungkin nenek ini tengah mengalami sesuatu hal yang berat dan membuatnya shock?
Dan Wanita paruh baya itu pun juga
heran mengapa ada orang yang tiba-tiba baik? Apa mungkin dia adalah orang jahat yang tengah menyamar.
Mereka sama-sama menaruh rasa penasaran dan curiga. Namun, memilih lebih mengabaikannya.
Takk terasa mereka terus saja saling berpandangan satu sama lain. Hingga makanan yang telah dipesan diantarkan ke meja.
---Sapphire – Senyuman BeracunLangkah kaki Sapphire kembali ke kamarnya terasa ringan, tapi bukan karena bahagia. Itu ringan seperti helai bulu yang terbakar—sepi, namun menyimpan bara panas yang siap menyambar.Ia menutup pintu perlahan, lalu mendekati meja riasnya. Di cermin, ia melihat wajah cantik yang selama ini ia andalkan untuk menundukkan banyak laki-laki. Tapi untuk pertama kalinya, wajah itu terasa... tidak cukup.“Lily.”Nama itu terus terngiang. Panggilan penuh kelembutan yang keluar dari mulut Bara. Bukan “Bayu”, bukan “asisten”—tapi Lily. Penuh perasaan.Sapphire menyentuh bibirnya sendiri. Senyum tipis tercetak, namun matanya menajam.“Aku kalah karena aku terlalu sabar,” gumamnya. “Sekarang, waktunya aku main di arena yang sebenarnya.”Ia membuka laci dan menarik sebuah map biru tua. Di dalamnya, ada beberapa dokumen rahasia hasil penyelidikan pribadinya, termasuk fotokopi akta kelahiran seseorang bernama Liyana Sarah dan sebuah surat tugas investigasi dari lembaga m
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen