“Sudah lama, Sayang. Kata Papi, waktu usia Mas masih dua tahun. Mami meninggal karena kecelakaan. Untung ada Mami Rida yang mau mengurusi Mas hingga sekarang.”
Aku menghela napas lalu kutatap manik hitam yang selalu tampak sendu itu sambil bicara pelan, “Aku sekarang sudah resmi jadi istrimu, Mas. Aku ingin Mas cerita padaku. Apa … Mas ingin bertemu dengan Ibu kandung, Mas?” tanyaku hati-hati. “Kenapa kamu bertanya begitu, Sayang? Anak mana yang gak ingin bertemu Ibunya. Hanya saja, Mas tak mau mengandaikan yang tak mungkin lagi terjadi. Mami sudah tenang di surga-Nya. Dia pun pasti akan sedih kalau melihat Mas tak bahagia.” Aku mengangguk. Sangat paham atas apa yang dia rasakan. “Aku jadi penasaran, foto Mami mas seperti apa, ya? Pasti sangat cantik. Sejak ke rumah ini, tak ada satupun foto Mami Mas yang dipajang.” “Oh, itu … Mas ada simpan satu di laci. Papa meminta ART menurunkan semua foto Mami takut Mama Rida tersinggung, katanya. Dulu waktu Mas masih kecil, Mas masih inget nemuin ini satu di gudang belakang.” Mas Wisnu membuka lemarinya lalu mengambil satu buah foto yang sudah pudar. Gi-la, sampai semua jejak terkait Mami Mas Wisnu dihilangkan. Mereka benar-benar tak mau Mas Wisnu mendapati kemungkinan bertemu dengan Ibu kandungnya. Benar-benar jahat. Hanya labelnya saja keluarga Hutama yang terhormat dan dermawan. Isinya hanyalah orang-orang memuakkan dan congkak. “Ratna Mustika?” Aku membaca tulisan yang tertera pada foto tersebut. Tulisan tangan yang sudah hampir hilang. “Mas yang tulis nama itu. Mas tahu nama lengkap Ibu dari akta lahir Mas, Sayang.” Mas Wisnu menjelaskan sambil merapikan lemarinya. Dia tampak sibuk mengosongkan beberapa area. “Masya Allah, cantik sekali Mami, Mas. Rasanya aku pernah melihat wajah perempuan yang sama persis, Mas.” Aku mulai memancingnya. Siapa tahu dia penasaran ingin bertemu. “Di dunia ini ada tujuh orang yang mirip, Sayang. Jadi mungkin itu salah satu orang yang mirip Mami.” Aku menghela napas kasar. Gimana caranya untuk menggiring pemikiran Mas Wisnu agar curiga kalau ibu kandungnya masih ada. Tiba-tiba terbayang wajah tirus yang menyedihkan itu. Wajah seorang Ibu yang merindukkan kehadiran anak kandungnya dan hampir Gila. Seorang Ibu yang tiap hari hanya menyebut satu nama saja, Wisnu Hutama. “Sayang, kenapa nangis?” Suara Mas Wisnu membuatku terhenyak. Aku terkekeh untuk menyamarkan suasana hatiku yang tengah gerimis. Tak terasa airnya melimpah membasahi kelopak. “Gak apa, Mas. Hanya sedih saja membayangkan Mas, sejak bayi tak pernah merasakan pelukan Mami.” “Ya, Sayang … itulah … hanya saja, selama ini, Mama Rida sudah merawat Mas dengan sangat baik. Dia bahkan begitu memanjakkan Mas. Tak dia bedakan dengan anak-anak kandungnya juga.” Aku membuang napas kasar. Dinding tebal ini akan sulit untuk dipecahkan. Puluhan tahun otak Mas Wisnu didoktrin jika maminya telah meninggal. Berarti semua keluarga mendukungnya dan tak ada yang pernah membeberkan kejadian sebenarnya. Mas Wisnu tak pernah tahu seperti apa sosok Mama Rida yang dia banggakan itu dengan keji memisahkannya. Sepertinya aku harus memikirkan trik baru, untuk memunculkan keraguan Mas Wisnu atas keyakinannya. Tak boleh gegabah atau aku mungkin akan bernasib sama dengan Tante Ratna. Ratna Mustikadewi yang malang nasibnya. Ketukan pada daun pintu membuat Mas Wisnu beranjak. Dia pun membuka pintu dan tampak seorang perempuan paruh baya yang muncul di sana. “Ada apa, Bi?” Mas Wisnu menatap perempuan sepuh itu. Bisa kutebak usianya mungkin sudah hampir enam puluh tahunan. “Dipanggil Tuan makan siang ke bawah, Den!” tukasnya sopan. Bicaranya lembut disertai kepalanya yang mengangguk. “Oh, baik, Bi! Makasih, ya!” tukas Mas Wisnu seraya tersenyum. “Muhun, Den! Mari!”Perempuan itu hendak memutar tubuhnya dan meninggalkan kami. “Eh, Bibi … ini kenalin istriku, namanya Arunika.” Mas Wisnu menoleh padaku. “Selemat datang, Non! Salam kenal. Nama Bibi, Narti, Non!” “Salam kenal, Bi! Panggil saja saya Arun atau Ika atau Nika, jangan Non lah, berasa gimana, ya?” tukasku sambil tersenyum. “Wah, maaf … Bibi gak berani atuh, Non!” Aku belum sempat menyahuti lagi ketika Mas Wisnu memaparkan sebuah penjelasan. “Bi Narti ini sudah kerja di sini puluhan tahun, Sayang. Tapi sopan santunnya tetap paling terjaga. Karena itulah Papa tak mau menggantinya.” Mas Wisnu menjelaskan sambil tersenyum sumringah. Seketika seperti ada bola lampu yang terang benderang. Bersama anggukkan Bi Narti yang kemudian hanya terlihat punggung ringkihnya menuruni tangga. Kepercayaan yang terlihat terpancar dari tatapan Mas Wisnu Hutama. Sepertinya aku tahu, siapa orang yang bisa kuajak bekerja sama. Bi Narti pasti adalah saksi mata semua rahasia-rahasia yang mereka tutup rapat selama ini. “Ayo kita makan dulu, Sayang!” Mas Wisnu mengulurkan tangannya ke arahku. Aku tersenyum lantas meraih jemarinya. Lalu, kami saling menggamit dan bersisian menuruni anak tangga. “Mas, kalau Bi Narti ini sudah ada dari Mas kecil?” tanyaku sambil menuju ke lantai bawah. “Sepertinya malah sebelum Mas lahir, Sayang. Soalnya Papa sangat mempercayai dia. Katanya Bi Narti ini orangnya jujur dan mudah diatur. Ya, selain cekatan juga kerjanya.” Sebelum Mas Wisnu lahir. Ini artinya, Bi Narti adalah saksi kunci. Benar, dialah orangnya yang bisa membuka mata Mas Wisnu tentang masa kecilnya. Hanya saja pertanyaannya, apakah Bi Narti akan semudah itu berpihak kepadaku?Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per
Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama
Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel
“Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua
Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam
Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci