Share

Bab 3

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-30 08:59:11

Papa Hutama tersenyum ramah ketika kami datang. Mas Wisnu menarikkan kursi untukku. Semua sudah duduk di meja makan dan tampak beragam hidangan yang sudah ditata.

“Duduk, Sayang …,” bisik Mas Wisnu sambil memegangi belakang kursi. Sepasang matanya melirik ke arahku.

“Iya, Mas.”

Aku pun menurut. Lalu duduk. Mas Wisnu sendiri duduk di sampingku. Jadi kini di sisiku kananku ada Sandy dan Maria. Sementara itu, di depanku ada Papa Hutama dan Mama Rida. Mas Wisnu berada di samping kiriku. Meja makan ini menjadi gak balance. Di depan sana memang hanya didominasi dua orang.

“Semoga kamu suka makanan di sini, Nika.” Papa Hutama membuka suara. Aku tersenyum sambil mengangguk.

“InsyaAllah, Pa. Nika bukan pemilih makanan, kok.”

"Syukurlah! Kalau ada rasa yang kurang, bilang saja sama Bi Narti."

"Iya, Pa."

Papa Hutama pun lanjut mengambil lauk. Mama Rida tampak sekali cekatan melayaninya.

“Ini, nasinya, Sayang!” Mas Wisnu menyendokkanku nasi. Perhatianku pada sepasang suami istri di depanku kini jadi teralihkan.

“Duh, Mas kebanyakan!” Aku menahan tangan Mas Wisnu yang sibuk menyendokkan nasi ke piringku.

“Oo, maaf. Segimana maunya?” Mas Wisnu terkekeh. Dia pun menyerahkan centong nasi padaku.

"Nah, segini cukup, Mas!" Aku mengurangi jatah di piringku.

“Ck, sok jaim. Padahal biasanya juga paling makannya banyak,” celetuk Sandy sambil menyuap.

Aku diam saja. Lirikan tajam Papa Hutama pada putrinya membuatku merasa ada yang membela.

“Sandy, gak baik bicara seperti itu.”

Sandy mencebik, hanya sekilas melirik pada Papanya. Dia pun melanjutkan makannya. Aku duduk setelah menyendokkan nasi untuk Mas Wisnu.

“Lauk yang ini mau?” Mas Wisnu mengambilkan irisan daging sapi yang dicampur paprika, bawang bombay dan saus teriyaki.

“Boleh, Mas.” Aku mengangguk. Lalu dia pun mengambilkan yang lainnya. Hanya saja aku menolak ketika jatah lauk di piringku sudah cukup banyak.

“Kamu harus makan banyak, Sayang. Biar sehat.” Mas Wisnu bicara sebelum menyuap.

“Ini sudah banyak, Mas.”

“Oh ya sudah. Dimakan, ya!” bisiknya sambil menepuk punggung tanganku.

“Iya, Mas.” Aku mengangguk.

“Males ya, Mbak. Sekarang lagi musim drama,” bisik Maria, tapi masih terdengar olehku.

“Sssst!” Sandy tampak menyiku Maria.

Papa Hutama mendelik ke arah mereka. Rupanya, meskipun kedua gadis itu manja. Satu kuncinya, yaitu mereka takut dengan Papa Hutama. Baguslah....

Aku mulai menyuap. Nasi pulen dan hangat memanjakkan lidah. Apalagi berpadu dengan irisan daging sapi yang empuk. Jujur, masakan ini kuacungi jempol empat. Begitupun dengan bumbu pada udang yang dibuat sambal ini. Pedas, gurih bercampur dengan daging udang yang agak manis ini. Pantas saja Bi Narti dipertahankan. Dari segi masakanpun memang cukup pantas diperhitungkan.

Aku baru setengah menghabiskan jatah pada piringku. Jarak air minum dalam gelas yang agak jauh membuat tanganku harus terjulur melewati Sandy yang duduk di sampingku. Namun, tanpa kukira, Sandy berteriak sendiri.

“Awww! Mbak, yang bener, dong! Basah, nih!” protesnya.

Sontak aku menoleh. Agak kaget ketika tampak air minumnya sudah menggelinding di atas meja. Airnya tumpah mengenai kakinya.

“Kok bisa tumpah? Mbak gak kena, kok.” Aku bicara sejujurnya. Jarakku dengan air minumnya memang dekat, tapi tersentuh pun tidak.

“Gak usah sok polos deh, Mbak. Aku juga lihat sama mata kepalaku sendiri. Mbak Nika yang menyenggol gelas Mbak Sandy.” Maria menimpali. Dia sibuk mengambilkan tissue dan membersihkan meja kakaknya.

Ooo ... jadi mau main fitnah keroyokan rupanya.

“Mbak Nika itu sengaja, ya! Masih dendam sama aku. Tadi kan aku sudah minta maaf.” Sandy memberengut. Seolah betulan terzolimi.

“Sandy, Maria … sudah … jangan diperpanjang … air tumpah saja ‘kan?” Suara Papa Hutama terdengar.

“Ck, Papa dikasih apa sih sama perempuan ini! Masih saja dibelain, sudah jelas salah. Aku benci Papa!” Sandy membanting sendok. Lalu beranjak meninggalkan meja makan.

“Aku juga benci Papa!” Maria kini ikut-ikutan. Kedua gadis itu meninggalkan meja makan.

Aku yang diserang mendadak, belum menyiapkan perlawanan. Hanya kutatap dua punggung gadis itu. Rupanya dia sudah mulai main sudut menyudutkan. Aku harus lebih waspada sekarang. Otak licik Mama Rida pastinya menurun pada mereka juga.

Papa Hutama menarik napas kasar. Namun dia tampak tetap masih bersikap biasa.

“Mama, habis makan nanti … tolong beri pengertian untuk Sandy dan Maria.”

“Iya, Pa. Sekarang … ayo Papa makan dulu. Mereka masih anak-anak, biar Mama kasih pengertian nanti,” tutur lembut Mama Rida. Padahal sekilas tadi dia pun menatapku dengan kebencian yang sama.

Kami pun tetap melanjutkan makan meski tanpa dua gadis itu. Mas Wisnu mengusap-usap punggungku dan berbicara pelan. Katanya, jangan terlalu dipikirkan.

Usai makan. Aku tak langsung beranjak. Meskipun Mas Wisnu melarang. Namun aku ingin mengenal lebih jauh dulu siapa Bi Narti. Aku memutuskan untuk membantunya membereskan meja makan.

“Gak usah, Non. Bibi saja.” Bi Narti menampik bantuanku. Dia tampak segan.

“Bibi pasti sibuk. Ini banyak yang harus dibereskan. Saya sudah terbiasa, Bi. Saya hidup di kampung dan bukan dari golongan orang kaya. Bibi tenang saja.” Aku bicara panjang lebar untuk meyakinkannya.

“Bibi biasa kerjain semuanya sendiri, kok, Non.”

“Ya, itu dulu … mulai hari ini, tenang … Bibi gak akan sendiri lagi. Ada Arunika yang akan sering membantu Bibi.” Aku menyunggingkan senyum dan menepuk dada menawarkan diri. Dia tak berkata apa-apa lagi selain tersenyum kaku sambil mengangguk saja.

Aku pun mulai membawa piring-piring kotor ke belakang. Sementara itu, Bi Narti tampak kikuk dan terlihat belum nyaman. Hanya saja, aku terus menerus mengajaknya mengobrol ngalor ngidul. Kuharap dia akan mulai membuka diri dan percaya padaku. Bukankah untuk mendapat dukungan, kita harus berteman lebih dulu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 47 - End

    Mami Ratna yang sudah mangayun langkah, mau tak mau berhenti. Dia menatap wajah panik Mas Wisnu dan Arunika yang membopong Papa Hutama. Melihat wajah panik itu, hati Mami Ratna tak tega. Dia pun menoleh pada Pak Benny dan bicara. “Pak Benny, sepertinya saya tak jadi ke Bandung. Mohon maaf kalau saya ambil kesempatan tadi.” “M--Maksud Bu Ratna?” “Saya gak jadi pulang, Pak.” “Ya sudah gak apa. Lain kali saja. Saya juga gak terburu-buru, lagipula kita belum lama saling mengenal. Sambil jalan saja, Bu Ratna. Yang penting saya sudah mendapat lampu hijau dari keluarga Ibu.” Mami Ratna mematung. Dia pun mengusap wajah, lalu berjalan ke arah sofa. Di luar sana, mobil Mas Wisnu terdengar menjauh. Papa Hutama langsung dibawa ke rumah sakit sepertinya. “Maaf, Pak Benny. Sepertinya ada yang harus kita luruskan! Duduklah ….” Mami Ratna mengusap wajah, lalu mempersilakan Pak Benny untuk duduk pada kursi yang ada di depannya. “Maksud Bu Ratna apa, ya?” Pak Benny menatap wajah per

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 46

    Sore itu, aku sedang duduk bersandar pada kursi di teras rumah. Baru saja aku selesai melakukan video call dengan Mama dan Papa. Sebentar lagi, usia kandunganku memasuki empat bulan. Mereka tengah bersiap-siap untuk ke sini pas acara nanti. Mami Ratna, seperti biasa, dia senang sekali menyirami tanaman. Meskipun Bi Asih sudah berulang kali melarangnya. Namun, Mami Ratna bersikeras. Dia bosan, katanya. Jadi setiap pagi dan sore, dia rutin Aku masih duduk berselonjor ketika mobil yang kukenali berhenti di depan gerbang. Mami Ratna menoleh lalu berjalan dan membukakan pintu. Lalu, lelaki yang akhir-akhir ini sering banget datang pun turun. Mereka mengobrol sebentar lalu mendekat ke arahku. Sementara itu, Mami Ratna beranjak ke dalam. “Sore Pak Benny! Sehat, Pak!” “Sore, Bu Nika! Alhamdulilah sehat.” “Silakan duduk, Pak. Hmmm ada perlu sama Mas Wisnu, ya? Dia belum pulang ngantor sebetulnya.” “Ahm baik, Bu Nika, terima kasih. Oh iya, Bu Nika … begini … saya ada perlu sebetulnya sama

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 45

    Pov 3Papa Hutama duduk tepekur mendengar penjelasan Bi Narti. Dunianya seperti dijungkirbalikkan. Tiba-tiba saja, semua fakta berjejalan memenuhi kelopak matanya, pendengarannya dan terasa menjejal menyumbat dadanya. “Kenapa Bi Narti diam saja selama ini?” Papa Hutama menatap perempuan paruh baya itu. Bi Narti tampak membasahi bibirnya dan menatap takut-takut sebelum menjawab. “Maaf, Tuan! Mungkin Tuan lupa, dulu Bibi pernah mengingatkan, tetapi Tuan bilang … Bibi ini hanya pembantu, tak perlu ikut campur urusan majikan!” Papa Hutama memijit pelipisnya. Dia ingat, ingat betul. Dia tak suka orang lain ikut campur atas keputusannya. “Ya, sorry, sorry … dulu, entah kenapa saya begitu bod*h, selalu saja percaya pada apa yang dikatakan Rida.” Papa Hutama menghela napas kasar. Saat semua sudah terang benderang, bahkan yang tertinggal hanya sesal. Urusan syahwat yang menggila sewaktu muda dan terpenuhi oleh keliaran Mama Rida membuatnya bertekuk lutut. Apalagi, memang perempuan itu sel

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 44

    “Mami, Mami mau ke mana?” Aku terkejut ketika tiba-tiba Mami Ratna muncul mengikuti Bi Asih dengan membawa ransel besar. Wajahnya tampak sekali tak bersemangat seperti biasa. “Pesankan Mami mobil, Nika. Mami mau pulang ke Bandung.” Aku dan Mas Wisnu saling tukar pandang. Wajah Mas Wisnu yang sejak tadi sudah merah padam makin tegang. Aku tahu, dia sedang kesal. Kuusap bahunya pelan-pelan, hingga dia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Bahunya perlahan turun dan wajahnya tampak lebih tenang sekarang. “Papa … mintalah maaf pada Mami! Di sini yang salah itu Papa dan Mama Rida. Mintalah maaf padanya. Ucapan-ucapan Papa sepertinya membuat Mami merasa terluka.” Mas Wisnu bicara dengan nada rendah. Namun, wajah Papa Hutama kali ini tampak memberengut tak senang.“Papa gak bersalah, Wisnu. Perempuan itulah yang diam-diam menduakan Papa, dulu dia sering ketemuan dengan lelaki lain di belakang Papa. Asal kamu tahu, Wisnu, dia itu dulu pemakai … mereka sering bersenang-senang berdua

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 43

    Pagi itu, Mami Ratna tengah menyirami tanaman. Berada satu atap dengan lelaki masa lalu yang sudah menorehkan rasa pahit, nyeri dan segala trauma yang memilukan, membuat kondisinya kembali murung. Kini, dia selalu mencari kegiatan agar terhindar dari rongrongan Papa Hutama. Pernah berniat untuk kembali ke Bandung, tapi Maz Wisnu melarangnya. Pagi itu, dia tengah menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa sedikit mengalihkan pikirannya itu. Namun, suara derit kursi roda, terdengar mendekat. Mami Ratna menoleh, tampak Bi Asih tengah mendorong kursi roda Papa Hutama. Sepasang mata mereka, bersirobok sebentar, hingga akhirnya, Mami Ratna membuang muka. Dia berpindah menyirami tanaman lainnya yang agak jauh dengan lokasi Papa Hutama berjemur. Mami Ratna yang merasa tak nyaman berniat menyegerakan menyirami tanaman-tanaman bunga itu, tetapi suara Papa Hutama keburu membuat langkahnya yang hendak pergi terhenti.“Ratna … boleh bicara?” Mami Ratna menoleh, memindai sekilas wajah Papa Hutam

  • BUKAN IPAR SEMBARANGAN   Bab 42

    Mobil yang dikendarai Mama Rida melesat kencang. Dia menyetir dengan tujuan pasti yaitu satu tempat yang sudah dijanjikan. Rasa bencinya pada Berry, benar-benar membuatnya nekat. Kedatangan Berry kali ini, sudah menghancurkan seluruh hidupnya yang selama ini baik-baik saja. Dia harus kehilangan suami yang selama ini jadi pohon uangnya, kedua anaknya harus kehilangan hak warisnya dan kini dia menjadi janda setelah mendapat talak tiga. “Kamu harus lenyap Berry! Kau buat aku hancur, kamu harus membayar lebih dahsyat!” Setelah puluhan menit berkendara, mobil yang dipacu oleh Mama Rida akhirnya tiba di tempat yang dijanjikan, sebuah gudang kosong di tepi area pasar lama yang sudah tak digunakan. Sebuah mobil lain tampak terparkir di sana. Mama Rida tak langsung keluar, dia menghubungi dulu orang itu. “Saya sudah sampai, Bang!” “Ya, saya lihat! Saya di mobil warna hitam di depan kamu! Bawa uangnya ke sini!” Suara itu terdengar memerintah. Mama Rida tergesa keluar dan membawa koper keci

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status