BUKAN SALAH IBU 32"Kedua putri saya sedang tidur. Mereka berdua shock berat dan belum bisa ditanyai. Tapi mereka sudah menceritakan semuanya, persis sama seperti yang saya ceritakan barusan. Dan dengan rekaman suara ini, saya harap cukup untuk menjerat lelaki itu dengan hukuman seberat-beratnya."Sayup kudengar suara Ayah dari arah ruang depan. Aku membuka mata, dan pandanganku langsung tertuju ke langit-langit ruang tengah. Aku masih tertidur di atas sofa bed, dengan selimut tua yang empuk dan nyaman. Otakku bekerja dengan segera, memilah ingatan, pada apa yang baru saja kami alami. Sebuah peristiwa besar dan mengerikan, yang kuharap hanya terjadi sekali dalam seumur hidupku."Baiklah, Bapak Wisnu. Saya harap anda bisa bekerja sama dengan pihak kepolisian. Jika kedua putri anda sudah bisa diajak berkomunikasi, mereka harus tetap memberi keterangan sendiri tanpa perwakilan. Sebagai saksi utama."Polisi.Aku berusaha bangun, tapi ternyata kepalaku pusing sekali saat diangkat tadi. Ku
BUKAN SALAH IBU 33"Bella!"Suara Helena riang. Saat sudah dekat, aku baru tahu bahwa yang ada di tangannya adalah es krim kacang merah, persis seperti yang kubawa. Dan orang yang membawanya adalah seseorang yang berjanji akan datang ke rumah menemui Ayah dan Ibu."Aku mengirim pesan whatsapp, menanyakan kapan aku bisa datang. Tapi, pesanku hanya ceklis satu," terang Pak Emir, yang tampak tak enak hati melihatku datang. Aku teringat bahwa ponselku masih disimpan Ayah. Ponsel yang ada rekaman mengerikan kejadian malam itu. Ayah lalu membelikanku ponsel baru dan tidak terpikir olehku untuk menghubunginya."Kamu nggak marah kan, Bels? Aku dan Bang Emir tadi nungguin kamu."Kenapa nada suaranya berbeda saat menyebut namanya? Dan Helen memanggilnya apa? Abang?Aku tersenyum."Kenapa harus marah? Emm, aku tadi mampir depan sekolah, beliin ini buat kamu, tapi rupanya sudah ada yang beliin duluan."Helena dan Pak Emir sama-sama menatap kantung plastik di tanganku. Mereka saling melirik dan ta
BUKAN SALAH IBU 34PoV HELENA"Aku nggak punya perasaan apa-apa sama Pak Emir, Helen. Sungguh. Aku nggak suka sama dia."Kata-kata Bella terngiang lagi. Aku tersenyum. Bella, kamu bukan orang yang bisa berbohong. Meski bibirmu berucap seperti itu, aku tahu hatimu mengatakan sebaliknya. Matamu dengan jelas menyatakan perasaanmu. Kenapa harus berbohong? Apakah demi aku? Lagi?Ponselku berbunyi. Aku meraihnya dan langsung berdebar begitu melihat siapa yang menghubungi. Arlan, sahabatku di Singapura. Apartemen kami bersebelahan dan dia satu-satunya sahabat berjenis lelaki yang kupunya."Helen, Mamamu benar ada disini. Tadi, Mami sempat mengintip ke sebelah. Ada apakah? Kenapa kau tak ikut?""Arlan, ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Tapi, bisakah kau membantuku? Tolong jaga Mama sebentar sampai aku tiba.""Your wish my lady. Jangan lama-lama. I'm gonna miss you, Helen. Dua tahun kita nggak bertemu. Pulanglah kesini. Disini tempatmu."Aku mematikan sambungan telepon. Ya, sedetik saja ta
BUKAN SALAH IBU 25PoV BELLAAku menatap burung besi itu melayang, terbang ke atas awan lalu lenyap dari pandangan. Hanya suara gemuruhnya yang terasa masih terngiang di telinga. Di dalamnya, dua orang yang kusayangi berada, membawa sebuah niat mulia. Semoga, kedatangan Helena dan Ayah, bisa membuat Tante Meira bertahan dan menyadari kesalahannya. Bukankah semua orang berhak diberi kesempatan kedua?"Ayo pulang."Ibu menarik tanganku dengan lembut menuju area parkir. Aku mengangguk, menikmati rasa tercekat di tenggorokan. Sungguh tak pernah kuduga, kepergian Helena membuatku sesedih ini. Apalagi, dia dengan jujur mengatakan bahwa tak akan pulang dalam waktu dekat. Helena telah mengajukan cuti ke kampus, entah berapa lama. Rencananya, dia juga akan mendaftar kuliah di Negeri Singa itu. Entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi."Doakan saja, Nak. Semoga kita semua diberi umur panjang hingga bisa berkumpul lagi."Ibu menyentuh bahuku sesaat sebelum mobil meninggalkan area bandara. Aku
BUKAN SALAH IBU 36Orang bilang, ujian yang kita terima dalam hidup adalah karena Allah sayang. Pertanda kita akan naik ke kelas yang lebih tinggi. Kelas kehidupan. Tapi, bagaimana dengan aku dan Ibu? Yang nyaris seumur hidup, hanya berisi ujian tanpa pernah ada latihan lebih dulu."Bella, Ayahmu … "Aku memeluk Ibu, tak tahu lagi bagaimana cara menghiburnya karena aku sendiri hancur di dalam sini. Televisi telah dimatikan. Berita tentang hilangnya Singapore Airlines dari radar tadi telah melenyapkan harapan kami untuk kembali memeluk Ayah. Telepon berdering bersahutan, tak ada satupun yang kami angkat. Ayah memang belum sempat mengumumkan pernikahan keduanya dengan Ibu karena masalah Tante Meira keburu datang. Tapi, keluarga besar perusahaan dan rekan bisnisnya telah tahu dari berita yang dimuat di koran bisnis lokal.Aku membiarkan saja ponsel terus berkedip tanpa minat untuk melihatnya. Fokusku saat ini adalah Ibu, yang terbaring di atas ranjang dengan pandangan menerawang ke lang
BUKAN SALAH IBU 37Sebulan berlalu, kabar hilangnya Singapore Airlines di portal berita online maupun televisi mulai redup. Pesawat yang membawa seratus tujuh penumpang dan tujuh awak kapal itu benar-benar bak hilang ditelan bumi. Ini tentu bukan yang pertama terjadi, tapi aku tak pernah menyangka bahwa peristiwa yang mengerikan ini menimpa kamiMengerikan. Karena, hendak kemana aku dan Ibu menziarahi makam Ayah jika rindu?Jika dulu, aku yang kerap duduk di bangku kayu teras rumah demi menunggu Ayah, sekarang, Ibulah yang melakukan kebiasaanku. Setiap pagi sore setelah mandi dan berdandan cantik dan rapi, Ibu akan duduk di teras depan. Matanya yang sendu menatap ke ujung jalan, seolah berharap keajaiban."Ibu, bukankah dulu Ibu yang mengajariku untuk menerima semua takdir yang Allah berikan dengan lapang dada? Ayah mungkin tak akan pernah kembali. Mari kita doakan saja agar Ayah tenang di alam sana."Dan Ibu langsung mendelik."Kenapa kau bicara seolah-olah Ayahmu sudah tiada? Mana b
BUKAN SALAH IBU"Dasar anak pel-acur! Berani-beraninya kamu sekolah disini!"Sepasang tangan mendorongku dengan keras dari belakang. Aku terjerembab dan jatuh ke lantai sekolah yang menyisakan jejak-jejak tapak sepatu berdebu. Mendongakkan kepala, kudapati Helena dan gerombolannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Aku menelan ludah, berusaha berdiri tapi sepatu putih gadis itu telah mendarat di atas kepalaku.Sungguh, ini adalah hinaan yang paling menyakitkan. Aku berontak, berusaha berdiri, dan kejap berikutnya, kudorong gadis itu sekuat tenaga, tanganku mencari-cari bagian tubuhnya, apa saja, yang bisa kupakai untuk membalasnya."Ibuku bukan pelacur!" teriakku histeris.Tentu saja aku kalah. Helena dan ketiga temannya memiting tanganku, menyandarkan tubuhku ke dinding. Gadis itu menamparku berulang kali, keras sekali, hingga kurasakan cairan asin menetes dari sudut bibir."Ibumu menjual dirinya pada laki-laki! Apa namanya kalau bukan pel-acur?!" teriak Helena di depan wajahku. "Ib
BUKAN SALAH IBU 2Pak Emir menepati janjinya untuk tidak membawa masalah pembullyanku ke sekolah. Tapi, aku tahu diam-diam dia mengawasiku. Helena sendiri rupanya mendapat teguran keras dari Pak Emir. Dia seringkali menatapku dengan geram, tapi tak berbuat apa-apa. Sesaat, aku merasa aman. Tapi aku tahu, hanya menunggu waktu sebelum Helena melemparkan bom yang lebih besar ke wajahku."Biarkan saja, Nak. Tak perlu menjelaskan dirimu pada orang yang membenci. Dia tak akan percaya.""Tapi, Ibu benar-benar nggak ada hubungan dengan Papanya Helena kan?"Ibu menggeleng dengan wajah sendu, tapi tak berkata apa-apa. Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti yang Ibu minta, aku hanya cukup mempercayainya. Percaya, bahwa dia tak akan pernah membuatku kecewa.Dulu, aku menghabiskan hari untuk bertanya siapa Ayahku. Dan setiap kali itu juga, Ibu menjawab dengan gelengan kepala dan tetesan air mata. Beranjak dewasa, aku mulai berhenti bertanya. Untuk apa? Pertanyaanku hanya membuat luka di hati Ibu