Pertemuan Tak Terduga
“Siapa pula yang ngikutin kamu?” bantah Melinda geram dengan tuduhan yang diberikan oleh laki-laki yang ada di depannya.
“Nyatanya aku kemana selalu saja ada kamu,” ucap Firdaus tidak mau mengalah. Melinda memutuskan langsung pergi begitu saja tanpa sebuah bantahan kembali. Tidak akan ada ujungnya jika bantahan sama Firdaus, ia masih mengingatnya dengan baik bagaimana sifat dan karakter dia.
“Hey mau kemana? Ditanya malah kabur gitu aja,” protes Firdaus setelah mengetahui Melinda menjauh darinya tanpa sebuah jawaban yang diberikannya. Melinda menghentikan langkahnya dengan kesal. Ruang tunggu stasiun kereta api kota Atlas sedang ramai, tidak salah lagi, mereka seperti tontonan gratis bagi para orang-orang yang telah lelah menunggu.
“Kamu mau apa lagi sih?”
“Bukannya bagus ya aku pergi duluan?” tanya Melinda dengan kesal. Ingin sekali Melinda mencekik leher Firdaus yang jenjang itu.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” ujar Firdaus begitu saja. Wajahnya menatap ke lain arah tanpa menoleh ke arah Melinda sekalipun.
“Penting ya?”
“Bukannya aku pergi terlebih dulu itu bagus agar aku tidak kamu tuduh membuntuti kamu terus?” tanya Melinda dengan ketus. Tidak ada respon apapun dari Firdaus, Melinda langsung pergi begitu saja meninggalkan Firdaus.
Melinda berjalan menuju pintu keluar stasiun dengan perasaan dongkol. Ia sudah memesan taksi online, tapi tidak kunjung juga datang. Melinda beberapa kali melirik map yang menunjukkan posisi mobil.
“Kenapa masih muter di sana terus sih?” ucap Melinda dengan kesal. Ini adalah hari yang ia tunggu, bisa jalan-jalan ke kota Atlas yang sudah lama ia rindukan. Namun entah apa pasalnya, hari ini cukup membuat Melinda merasa stress karena bertemu Firdaus, teman kecilnya yang usil, dan sekarang taksi online yang ia pesan sedari tadi belum juga datang.
“Ini kalau aku cancel takutnya orangnya pas lagi butuh, kalau nggak di cancel aku juga kelamaan nunggunya,” ucapnya galau. Beberapa kali Melinda melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah sepuluh menit ia menunggu tapi tak kunjung datang.
“Masih di sini? Nunggu siapa? Nungguin aku lagi?” tanya Firdaus yang tiba-tiba datang di belakang Melinda. Gadis berjilbab merah muda itu menarik nafasnya yang terasa berat karena menahan marah.
“Apa lagi sih, Fir?” tanya Melinda dengan kesal. Wajahnya terlihat seperti putus asa. Panas terik matahari membuatnya silau meski ia sudah mengenakan kacamata photocromic.
“Ayo naik,” ajak Firdaus tiba-tiba. Melinda sedikit melirik ke arah Firdaus dengan ragu.
“Udah ayo,” tangan Firdaus menarik tangan melinda tanpa izin. Melinda mendelik melihat tangannya ditarik begitu saja sama Firdaus.
“Kamu mau kemana sih?” tanya Firdaus dari arah depan.
“Mau jalan-jalan aja,” jawab Melinda cuek. Ia selalu waspada sama Firdaus. Bagaimana pun ia sama Firdaus bagaikan kucing sama tikus sejak dulu kala.
“Sendirian aja?” tanyanya lagi dengan cuek. Melinda duduk di sebelah Firdaus yang terlihat sibuk memainkan ponselnya.
“Kamu sendiri mau kemana?” tanya Melinda balik meski tanpa menoleh sedikitpun ke arah Firdaus.
“Mau pulang,” jawabnya singkat. Keduanya kini saling diam tanpa menoleh dan juga tanpa membuka mulutnya.
Taksi online yang tadi dipesan Firdaus terus melaju ke arah rumah Firdaus, Melinda kebingungan ketika mobil yang ditumpangi membawanya ke arah yang berbeda. Wajahnya terlihat paik, ia melirik Firdaus yang memejamkan matanya.
“Fir, ini mau kemana?” tanya Melinda dengan gugup.
“Mau ke rumahku,” ucap Firdaus dengan masih tetap memejamkan matanya.
“Hla ngapain ke rumah kamu? Aku kan mau jalan-jalan, Fir, bukan mau ke rumah kamu,” protes Melinda yang kesal melihat Firdaus tetap tidak mau membuka mata.
“Bisa diem bentar nggak sih? Aku mau merem bentar, Meli,” ucap Firdaus tidak kalah kesal dengan Melinda.
“Gimana mau tenang, ini bukan arah tujuanku,” Melinda masih tidak terima. Mau tidak mau Melinda membuka matanya. Ia menatap ke arah Melinda yang terlihat sangat cemas.
“Pak, saya turun sini,” ucap Melinda pada supir taksi yang sedari tadi hanya geleng-geleng melihat kelakuan Firdaus dan juga Melinda.
“Nggak usah, Pak, lanjut aja,” ucap Firdaus kembali memejamkan matanya.
“Pak, berhenti,” ucap Melinda tidak kalah tegas.
Firdaus benar-benar merasa kesal dengan Melinda, ia menatap Melinda dengan tatapan tidak suka. Kedua mata mereka saling beradu dan saling melotot tidak terima satu sama lain. Pak supir masih tetap mengemudikan dengan geleng-geleng melihat tingkah Melinda dan juga Firdaus.
“Kamu sudah ditumpangi tidak mau terima kasih banyak protes lagi,” ucap Firdaus kesal. Ia membuang muka dari Melinda.
“Apa? Siapa juga yang mau kamu tumpangi?” ucap Melinda tidak terima.
“Dari dulu kamu masih sama ya, Mel, keras kepala,” ucap Firdaus dengan menatap Melinda.
“Biarin.” Jawabnya singkat. Ia sudah kehilangan selera untuk berkomunikasi dengan Firdaus.
“Fir, turunin aku, aku nggak mau ke sini,” ucap Melinda dengan melunak. Wajahnya memelas. Firdaus tidak tega jika Melinda sudah bersikap seperti ini.
“Turun depan,” jawab Firdaus cuek. Ia kembali membuang muka pada Melinda. Perempuan itu tidak menjawab, ia menikmati pemandangan yang berjalan, ia mengunci rapat-rapat mulutnya.
Mobil yang Melinda dan Firdaus tumpangi berhenti di sebuah rumah sederhana dengan nomor rumah 12A.
“Kalian sepertinya bakal berjodoh, kalian ini sebenarnya cocok Cuma sama-sama gengsi,” ucap sopir taksi online sebelum pergi. Melinda dan Firdaus saling tatap tanpa menanggapi apapun.
“Ayo,” ajak Firdaus masuk lagi. melinda celingukan mengamati lingkungan sekitar rumah itu.
“Mas Firdaus sudah pulang? Wah ceweknya cantik juga ya, pinter nyari pacar nih Mas Firdaus,” ujar salah seorang ibu-ibu yang yang tengah bergerombol.
“Mari, Bu,” jawab Firdaus. Ia tidak menanggapi apa yang dikatakan oleh ibu-ibu tadi.
“Ngapain sih, Fir, ibu-ibu tadi?” tanya Melinda yang tanpa sadar mengikuti langkah Firdaus, ia masuk ke dalam rumah Firdaus.
“Kalau masuk rumah salam dulu,” ucap Firdaus yang menyadarkan Melinda.
“Ah?” Melinda kaget. Namun dengan cepat ia menyesuaikan diri dengan keadaan.
“Duduk, Mel,” ucap Firdaus yang kemudian berlalu masuk ke kamarnya begitu saja tanpa mengucapkan basa-basi apapun. Melinda mengamati ruangan yang sederhana milik Firdaus, ruangan kecil yang didesain sangat apik dan unik. Ruangan kecil yang bisa menimbulkan rasa nyaman bagi yang menikmatinya.
“Rumahku sederhana, mungkin nggak sebesar rumahmu, Mel,” ucap Firdaus yang terlihat lebih segar dan mengenakan kaos oblong. Ia berjalan mendekat ke arah Melinda yang tengah memperhatikan sederat foto-foto yang sengaja dipajang oleh Firdaus.
“Itu aku sewaktu kecil sama mama dan papa,” ucapnya dengan menyodorkan segelas kopi hangat. meinda menerima kopi dari Firdaus, ia lalu menyeruputnya.
“Auw,” Melinda langsung menjauhkan bibirnya dari cangkir kopi yang masih hangat.
“Panas,” ucap Melinda dengan meringis. Firdaus menahan tawa, tapi akhirnya tawa itu pecah ketika Firdaus tahu bahwa Melinda memperhatikannya yang menahan tawa.
“Malah tertawa,” protes Melinda Tidak terima.
“Nanggung, menahan tawa juga dilirik, tertawa juga dilirik, sekalian aja tertawa lepas,” ucap Firdaus masih melanjutkan dengan tawanya.
“Itu sudah hangat, Mel,” ucap Firdaus memberi tahu.
“Panas, Fir,” jawab Melinda tidak terima. Waktu yang terus berputar membuat Melinda lupa akan tujuan utamanya. Mereka kembali seperti kucing dan tikus, tidak ada yang mau mengalah. Baik Melinda maupun Firdaus, sama-sama mempertahankan egonya masing-masing.
Keseruan Firdaus dan ketiga temannya cukup mengganggu Melinda. Namun lebih tepatnya karena perasaan Melinda yang menyimpan kecemburuan pada Firdaus. Karena merasa tubuhnya panas dan alat pendingin yang ada di kamarnya pun tidak bisa berfungsi untuk meredakan panas yang ada di hatinya.Melinda keluar kamar ketika Firdaus dan teman-temannya tengah tengah tertawa. Karena kehadiran Melinda yang tiba-tiba keluar dari kamarnya, Firdaus dan teman-temannya kompak terdiam dan menatap Melinda dengan tatapan aneh.Melinda yang paham tengah ditatap dengan aneh oleh firdaus dan ketiga temannya hanya menatapnya balik kemudian pergi ke dapur untuk mengambil sebotol air minum.“Mel, are you okay?”Melinda hanya melirik Firdaus yang tengah disaksikan oleh ketiga temannya. Sal
Firduas sedari tadi wira-wiri ke kamar mandi meski susah payah berjalan. Keadannya memang sudah membaik, tapi karena ulah Melinda kini perutnya bermasalah. Melinda ketar-ketir melihat keadaan Firdaus yang sedari tadi merintih karena ulahnya.“Masih sakit ya?” Melinda mendekat dengan perasaan takut.“Menurutmu?”“Kalau kamu tahu nggak doyan pedes kenapa nekat dimakan?”“Kamu tadi sudah tahu ‘kan kalau aku nggak doyan pedes, kenapa kamu masak pedes sih, Mel?” nadanya sedikit meninggi dengan memegangi perutnya yang terasa perih.Melinda mendekat, ia berniat hendak menolong Firdaus. namun, Firdaus menolak pertolongan dari Melinda. Wajahnya terihat datar. Raut wajah kekecewaan yang telah ia tunjukkan padanya.“Fir, aku belikan obat ya,”Firdaus masih tidak menjawab. Ia langsung masuk kamar dan menutup pintunya. Melinda hanya berdiam dibalik pintu yang telah ditutup oleh Fird
Melinda melihat jam dinding yang menggantung di atas TV, sudah menunjukkan pukul empat sore. ‘Benar saja Firdaus bangunin aku,’ gumamnya. Ia kemudian tersenyum menatap ke arah kamar yang tadi ia gunakan untuk istrahat, kamar yang kini ada Firdaus di dalamnya.Laki-laki itu tiba-tiba keluar dari kamarnya ketika Melinda tengah mesam-mesem dengan menatap ke arah kamar. Dengan cepat Melinda membalikkan muka, tapi kepalang tanggung, Firdaus sudah melihatnya.“Kenapa mesam-mesem begitu?” tanya Firdaus dengan menatap aneh pada Firdaus.“Nggak,” Melinda langsung pergi ke kamar mandi dan meninggalkan Firdaus yang masih menatap aneh pada Firdaus.Melinda keluar drai kamar mandi dengan wajah yang shock ketika melihat Firdaus sudah siap dengan baju muslim lengkap dengan sajadah yang ada di pundaknya. M“Kenapa? Gantengku menambah 100 derajat?”Melinda langsung tersadar dan tersenyum kecut ketika mendengar
“Aku carikan perawat yang khusus buat ngerawat kamu aja ya, Fir,” Melinda masih menawar permintaan Firdaus. wajahnya terlihat penuh harap Firdaus akan mengiyakan penawarannya. Namun, wajah laki-laki itu tetap datar seperti ketika awal mengajukan permintaan pada Melinda.“Wes gini aja, mau mu gimana we?” tanya Melinda dengan suara yang kesal. Ia duduk dengan menatap penuh harap pada Firdaus.“Aku tadi kan sudah bilang, Mel,”“Aku maunya yang ngerawat itu kamu, bukan orang lain,” ucap Firdaus lagi. dan kali ini terlihat serius dari raut wajahnya. Sorot mata Firdaus menunjukkan keseriusan yang tidak pernah dilihat oleh Melinda sebelumnya.“Tapi kamu tahu kan, Fir, aku juga harus kerja,” ucap Melinda yang tetap beru
Untuk masalah dapur Melinda sudah cukup ahli dalam menanganinya. Hal itu dikarenakan Melinda memliki hobi memasak. Kalau hanya membuat makanan apa adanya sesuai permintaan Firdaus itu bukanlah hal yang sulit baginya.Sejak baru mulai melangkah ke dapur Firdaus sudah terkagum dengan Melinda. Gadis yang sejak dulu bahkan hingga hari lalu dan beberapa waktu yang lalu masih sering berdebat dengannya tenyata ia bukanlah gadis seperti kebanyakan perempuan.“Kelihatannya sejak aku baru mulai masak sampai selesai memperhatiin aku terus, kenapa?”“Naksir atau kagum?” kini giliran Melinda yang menggoda. Meski Firdaus sepertinya tengah sibuk dengan ponselnya, tapi sorot mata Firdaus tidak bisa berbohong. Ponsel yang sedari tadi ia mainkan hanyalah sebagai sarana agar ia tidak ketahuan .“Siapa yang memperhatikan situ terus?”“Ini anak pede banget ya,” jawab Firdaus seperti biasa yang selalu dengan blagaknya yang
Melinda cengar-cengir menyadari apa yang baru saja ia kerjakan. Ia membalikkan perjalanan dan langsung menuju Semarang setelah mendengar berita bahwa Firdaus sakit. Melinda berhenti di tengah jalan dengan mendadak, hal ii membuat pejalan kaki yang ada dibelakangnya menbraknya seketika.“Jangan berhenti mendadak di tengah jalan dong, Mbak,” tegur laki-laki yang terlihat kesal dengan kelakuan Melinda.“Iya, maaf, Mas,” jawab Melinda dengan mengangguk seraya meminta maaf.Setelah kepergian laki-laki tersebut Melinda kembali menatap layar HP nya. Ia membaca alamat yang dikirim oleh Firdaus.“Berlebihan nggak ya kalau aku ke sana?” tanya Melinda seorang diri. Ia ragu-rau hendak melanjutkan perjalanannya ataukah kembalu pulang.“Kalau aku kembali pulang, percuma dong aku sekarag sampai Semarang,”“Tapi kalau Firdaus berpikir aku khawatir banget sama dia atau dia tahu kalau aku kangen dia gimana