Share

Aksi Kenanga

Kenanga terus berlari menyusuri jalan setapak menuju kampungnya. Di jalan menurun ia jatuh berguling-guling karena kakinya tersangkut akar pohon yang melintang. Gadis itu terbatuk karena dadanya menghantam batang pohon kayu yang sangat besar. 

Sungai kecil membentang di hadapannya. Kenanga melompat lalu berlari memijak batu-batu sungai hingga sampai di tepian. Ia menaiki jurang yang tak terlalu tinggi dengan dua tangan dan kaki sebagai tumpuannya. 

Gadis berkerudung hitam itu memindai sekeliling dengan tetap bergantung di dahan pohon, firasatnya tak enak.

Tempat ini benar-besar sunyi, biasanya beberapa anak kecil akan bermain atau berlatih bersama yang lain. Gadis bisu dan tuli itu menaiki kaki kanannya. Namun, ia turunkan lagi ketika dengan matanya ia lihat dua orang asing dengan seragam yang sama sedang datang dengan senapan panjang di tangan. 

Langkah Kenanga terhalang untuk segera sampai di kampungnya. Gadis yang telah dilatih sangat keras dari kecil itu memang sudah sangat sering diperingati tentang perang ratusan tahun yang berlangsung di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. 

Ia yang selalu memerhatikan gerak bibir ketika orang tua dan guru ngajinya selalu menyebutkan kekejaman serdadu asing.  Mulai dari Portugis, Inggris juga Belanda yang selalu mencoba merebut semua yang ada di tanah di mana mereka melabuhkan kapalnya. 

Gadis berkerudung hitam itu melepaskan kelinci hutan yang ia tangkap tepat di tanah lapang. Membiarkan binatang itu berlari ke sana kemari untuk mengalihkan perhatian dua serdadu yang tengah berjaga. 

Salah satunya berhasil mengikuti ke mana arah kelinci itu berlari sedangkan yang lain mencoba menyisir tempat yang lain masih dengan senapan di tangan.

Tak tinggal diam, Kenanga mengambil sebuah batu kali lalu melemparkan tepat mengenai kepala serdadu Belanda. 

Terpancing, bawahan yang diperintahkan Daalen untuk mencari harta kekayaan Kampung Rikit Gaib datang ke arah lemparan batu berasal. Putri kedua kepala kampung itu menyiapkan seutas tali yang akan ia gunakan untuk menyambut kedatangan musuh. 

Dor! 

Satu tembakan dilepaskan sebagai peringatan. Namun, gadis yang tak bisa mendengar itu tak takut sama sekali meski bau mesiu begitu merasuki indra penciumannya. Satu batu lagi ia lemparkan sebagai balasan lalu Kenanga bersembunyi di balik tanah dengan tali yang sudah berbentuk sebuah simpul mati. 

Gadis itu menarik kaki serdadu Belanda ketika telah sampai di tepi jurang. Satu tembakan tak sengaja dilepaskan oleh penjajah itu. Bawahan Daalen  kemudian terjatuh dan tubuhnya langsung tercebur ke sungai yang airnya jernih. 

Kenanga menyusul dan beberapa kali membenamkan kepala lelaki berambut pirang itu hingga nyaris kehabisan napas. Gadis itu memang tak berniat mengampuninya meski berkali-kali tangannya ditepuk sebagai tanda lawannya telah menyerah. 

Tali yang telah ia simpul mati dipasang di leher serdadu Belanda. Ia ikat lebih kencang hingga mencekik leher lawannya. 

“Lepas. Sakit. Jalang!” umpatnya walau tak didengar Kenanga. 

Adiknya Cempaka itu terus saja menyeret tubuh lawan yang lebih besar darinya sekuat tenaga. Sampai di sebuah pohon dengan dahan yang cukup kuat ia berhenti. Lalu ia melempar sisa tali yang tidak diikat lalu menarik tubuh lawannya hingga tergantung di sana. 

Satu tarikan ia menghela napas, tubuh itu begitu berat. Kenanga tarik lagi hingga dua kali tarikan serdadu itu benar-benar menggantung di atas pohon sambil tubuhnya bergerak-gerak tak tentu arah. Sisa talinya gadis itu ikat kuat  setelah ia menaiki dahan pohon dengan dua tangannya. 

Kenanga tinggalkan tubuh yang masih terus bergerak-gerak hingga beberapa saat setelahnya diam, tak ada lagi pergerakan. Putri kedua kepala Kampung Rikit Gaib itu menaiki jurang yang tak terlalu tinggi. Ia keluarkan beberapa tanaman beracun, menghancurkan dengan batu-batu kecil hingga sari-sari daunnya keluar. Masih ada satu lagi yang harus ia selesaikan. 

Dengan tangan kanannya ia menggenggam dedaunan beracun yang telah halus, menuju di mana serdadu Belanda masih mencari kelinci hutan berdasarkan getaran di telapak kaki Kenanga.

Mengendap-ngendap Kenanga berjalan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dengan langkah tenang ia memerhatikan lelaki yang nampaknya bukanlah orang asing mendapatkah hasil tangkapannya. 

Langkah demi langkah yang sangat pelan Kenanga mendekat dan kini ia telah berada tepat di belakang serdadu Belanda. Ia menepuk bahun lawan hingga lelaki itu menoleh dan membalikkan tubuh ketika tahu masih ada warga kampung yang selamat. 

Namun, Kenanga terlebih dahulu menghantam leher serdadu itu dengan tangan kirinya hingga ia membuka mulut. Kesempatan itu digunakan olehnya untuk memasukkan tumbukan daun beracun dengan paksa hingga tertelan. 

Gadis itu memegang kepala dan dagu serdadu Belanda agar tak memuntahkan tumbuhan yang ia telan. Detik demi detik lelaki itu terus meronta hingga tak lama kemudian tubuhnya mengejang kuat.

Kenanga melepaskan belitannya. Ia membersihkan tangannya dengan baju seragam biru serdadu yang mulutnya telah mengeluarkan busa. Tubuh itu kini telah tak bernyawa. 

Kenanga melangkah dengan ragu dan penuh rasa cemas. Mengapa kampungnya terasa begitu tenang. Ia hanya sebentar meninggalkan rumahnya, hanya tiga hari berada di dalam hutan. Matanya lalu mawas ketika menangkap sebuah bendera yang tak biasa berkibar di salah batang bambu. 

Sebuah bendera dengan tiga warna berkibar di sana. Kening gadis itu berkerut, ini terlalu tiba-tiba. Biasanya bendera kampungnya yang berwarna hitam dengan gambar dua buah pedang saling silang dan dua kalimat syahadat yang ada di sana. 

Kenanga berlari sambil terus mengendus bau yang terasa sangat menyengat. Kepulan asap itu terlihat begitu pekat di matanya. Ia mempercepat larinya lagi ketika bambu-bambu yang digunakan sebagai pembatas pemukiman dengan hutan telah berlumuran darah. 

Napasnya naik turun, Kenanga saat itu telah sampai di kampungnya. Ia terduduk dengan dua lutut sebagai tumpuan. Di hadapannya sekarang ada tumpukan mayat yang sangat tinggi serupa bukit kecil. Tumpukan tempat di mana asap dengan bau menyengat tersebut berasal. 

Air mata Kenanga berlomba berjatuhan membasahi pipi. Sejauh mata memandang hanya ia saksikan cipratan darah yang menempel di dinding kayu.

Mayat anak-anak bergelimpangan begitu saja. Sebagian bahkan mulai dihinggapi lalat. 

Sekuat tenaga gadis bisu itu berdiri walau kakinya gemetar kuat. Sebagian rumah bahkan telah hangus terbakar. Termasuk masjid kecil tempat warga beribadah dan bermusyawarah.

Kenanga menaiki tangga masjid yang atap rumbianya telah hilang. Memasuki tempat di mana Cempaka dulu waktu kecil diajari mengaji dan Kenanga hanya memerhatikan saja. 

Lembaran-lembaran kain yang tertuliskan surah demi surah ayat AL Qur’an telah hangus terbakar. Mimbar tempat calon suami kakaknya biasa berkutbah di hari Jum’at telah roboh.

Gadis itu tak sanggup lagi, dadanya telah sesak, suara tangisnya tak keluar walau ia sangat ingin menjerit. 

Kenanga berlari lagi, ia menuju rumahnya yang tertelak di tengah-tengah perkampungan. Ia naiki lima anak tangga rumahnya yang pintunya telah lepas entah kemana.

Gadis berkerudung hitam itu terdiam di tempat ketika di dalam rumahnya ia temukan jasad adik bungsunya terbujur kaku dengan sebuah lubang di bagian perutnya. 

Ia menuju tempat adik lelakinya berbaring. Kenanga tetap memeluknya jasad itu walau telah mengeluarkan bau tak sedap. Air matanya tak pernah berhenti sambil terus menepuk pipi Yusuf-adiknya berharap ia masih hidup. 

Beberapa saat lamanya Kenanga tak mau melepaskan dekapannya, ia terisak bahkan beberapa kali mencoba berteriak dan menjerit melampiaskan kesedihannya. Namun, yang sudah mati tak akan pernah hidup kembali. 

Kenanga memindai sekeliling lagi setelah membaringkan dan menutup mata Yusuf. Ia mencari di mana keberadaan ayah, mak dan kakaknya, Cempaka. 

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status