Share

Pedih

Cempaka duduk diam di dalam penjara kayu. Hatinya tak pernah putus berzikir. Sepanjang perjalan di desa-desa yang ia lewati semuanya sama, terbakar dan menjadi abu.

Pilu hatinya menyaksikan mayat yang bergelimpangan tidak ada yang mengubur. Mereka ditinggalkan begitu saja setelah diambil gambarnya. 

Dingin angin malam begitu terasa menusuk tulang wanita pejuang itu. Kulitnya yang terluka dibiarkan menganga begitu saja. Kuda-kuda yang ditunggangi para penjajah terus berjalan menembus malam yang semakin kelam. 

Anjing-anjing pelacak yang berada di kandang sebelah Cempaka, menatapnya seolah ingin mengoyak daging pejuang tersebut.

Tak mau kalah, wanita itu menatapnya tanpa berkedip, serupa kobaran api dendam yang sangat panas. Beberapa saat berlalu anjing-anjing pelacak itu lalu menutup mulutnya dan berbaring tanpa beradu pandang dengannya lagi. 

Dengan jelas mata putri kepala kampung Rikit Gaib itu melihat beberapa serdadu Belanda yang berbaris dan berjalan di bagian belakang.

Mereka pasukan pribumi, warna kulit dan bentuk wajah yang hampir sama dengan warga yang dibantai. 

“Cuih!” Wanita itu meludah berkali-kali melampiaskan kekesalannya. 

“Pengkhianat negeri seperti kalian rela membantai saudara sendiri. Bedebah!” umpatnya lagi. 

Wanita pejuang itu jatuh tersungkur karena kereta yang mendadak berhenti. Wajahnya menghantam lantai kayu yang kasar.

Gegas ia menegakkan badannya melihat situasi yang menyebabkan rombongan Daalen menghentikan perjalanan. 

Dor!

Desingan peluru kembali terdengar. Atas perintah Dari Van Daalen pasukan pribumi pengkhianat maju  meninggalkan Cempaka sendirian.

Mereka menghadapi pasukan gerilyawan yang mencoba menyelamatkan wanita pejuang anak kepala kampung. 

Wanita itu setengah berdiri, kedua kakinya menekuk di lantai kayu. Penjara ini memang untuk anjing, bukan manusia. Tentu saja sangat sempit untuknya yang bertubuh tinggi. Ia mencoba melepaskan ikatan di tangannya.

Berkali-kali mencoba merobohkan penjara yang berdindingkan batang kayu sambil terus mengumpat menyumpahi serdadu-serdadu yang terus mengarahkan moncong senapannya pada para gerilyawan. 

“Lepas. Kalian pengecut!” Lagi Cempaka menggoyang dinding penjara kayu. 

Salah satu serdadu Belanda datang, lelaki berambut pirang itu mengarahkan pangkal senapannya ingin menghantam perut wanita yang terus menteriakkan takbir dari bibirnya.

Sesaat Cempaka jatuh tersungkur. Namun, jatuhnya tanpa melepaskan pangkal senapan yang sebenarnya tak pernah menghantam perutnya. 

Dengan daya tarik yang sangat kuat dari tangannya. Ia menarik senapan itu hingga serdadu belanda tersebut mau tak mau mendekat dan kepalanya terhimpit di antara dua dinding penjara kayu.

Tak menyia-nyiakan kesempatan, wanita pejuang itu menarik kepalanya dan melakukan gerakan memutar dengan dua tangannya hingga bunyi tulang leher patah menjadi pertanda lelaki Belanda itu telah meregang nyawa. 

Hantaman dari arah belakang Cempaka dapatkan sebagai balasan kematian serdadu Belanda yang ia bunuh. Telinganya berdengung, pandangan matanya mengabur, air matanya turut menetes, ia menangisi kematian para gerilyawan satu per satu yang dengan kejinya ditembaki oleh para penjajah. Satu hantaman lagi ia dapatkan di bagian kepala, berat terasa lalu semuanya gelap. Cempaka tak sadarkan diri. 

*** 

Seember air disiramkan ke tubuh wanita tersebut yang terbaring selama beberapa jam. Ia terbatuk dan perlahan-lahan membuka matanya.

Hari masih gelap ketika pintu penjara kayu itu dibuka dan Cempaka ditarik paksa menuju suatu tempat. 

“Mungkin mereka akan membunuhku.” Cempaka memerhatikan lima orang serdadu dengan senjata lengkap yang turut menyertainya. 

Hidungnya mencium bau yang sangat lezat, bau daging dibakar yang sangat harum. Tak lama kemudian ia melihat Daalen duduk di kursi yang mejanya bundar dengan alas kain berwarna putih. Sebuah botol berwarna hijau dengan gelas tinggi ada di hadapannya. 

Lelaki Belanda itu sedang berunding dengan wakilnya, lalu menuliskan laporan di buku kerjanyanya untuk dilaporkan pada Snouck Hurgronje. Satu piring hidangan daging yang masih berasap disajikan di meja oleh salah satu bawahannya yang baru selesai memasak. 

Daalen melambaikan tangannya, memerintahkan wakilnya untuk pergi. Lelaki berkumis tebal itu meminta Cempaka untuk duduk dan makan bersama dengannya.

Wanita pejuang itu didorong oleh lima serdadunya. Ia didudukkan paksa di hadapan Daalen yang sedang menyesap minuman berwarna ungu kemerahan. 

Aroma daging dibakar membuat perut Cempaka berbunyi. Sebagai manusia biasa, ia yang telah mengeluarkan banyak tenaga untuk berjuang merasa lapar.

Daalen memotong daging dengan pisau lalu menusuk dengan garpunya. Telihat darah masih ada di dalam daging itu. 

“Makanlah, Cantik. Kau harus kuat perjalanan kita masih jauh.” Daalen memutar daging di garpunya. Cempaka tetap tak membuka mulutnya. 

Pemimpin Belanda itu membanting garpu ke piringnya. Ia menuangkan minuman anggur ke dalam gelasnya sampai penuh. Atas perintahnya dua orang serdadunya datang dan membuka paksa mulut Cempaka. 

Perlahan-lahan Daalen paksakan minuman itu masuk ke dalam mulut wanita tersebut. Sedikit demi sedikit hingga yang di dalam gelas habis.

Cempaka menegakkan kepalanya dengan pipi menggembung. Ia semburkan minuman haram tadi ke wajah Daalen. Kemudian setelahnya ia meludah berkali-kali membersihkan mulutnya dari minuman dengan rasa sangat aneh itu. 

“Perempuan tak tahu diuntung!” Daalen menyeka wajahnya dengan sapu tangan. 

“Kurung dia kembali bersama anjing!” perintahnya, “kalian beristirahatlah, makan dan biarkan dia kelaparan karena kesombongannya. Aku ingin lihat sampai sejauh mana kau bisa bertahan.” 

Cempaka dibawa kembali dengan kawalan lima serdadu. Lagi ia dikurung bersebelahan dengan anjing-anjing pelacak yang diberi makan tulang hewan. Wanita itu menoleh ketika di dalam penjaranya ia juga dilemparkan sepotong tulang. 

“Hah. Wanita kotor, bau, kau tak ada bedanya dengan anjing sekarang. Coba kau mau berpihak dengan Belanda, kau pasti sudah jadi putri yang sangat cantik dan menawan.” 

Cempaka menelan semua hinaan mentah-mentah yang ditujukan pasukan pribumi pengkhianat padanya. Diam-diam ia simpan tulang yang dilemparkan padanya. Sedikit demi sedikit ia patahkan dengan jemarinya yang diikat dengan tali. Mungkin bisa ia jadikan senjata di waktu yang tepat. 

Desir angin malam yang semakin dingin membelai kepalanya, lelah, lapar, luka yang masih menganga serta pikirannya yang tertuju pada Kenanga membuatnya tertidur lagi dengan kepala bersandar ke dinding kayu. 

*** 

Gadis berkerudung hitam itu berjalan dengan langkah yang sangat tenang. Ia ditugaskan untuk mencari beberapa tanaman beracun oleh Cempaka. Gadis yang sejak lahir telah bisu dan tuli. Kain yang berisi aneka tanaman mematikan itu ia bawa di pundak sebelah kanannya. 

Di tangan kanannya kini ia membawa seekor kelinci hutan berwarna cokelat. Binatang yang sangat gemuk. Gadis yang lebih muda dua tahun dari Cempaka. Gadis yang diberi nama Kenanga oleh kedua orang tuanya. 

Kelinci hutan itu akan ia hadiahkan untuk kakak tercintanya. Sebentar lagi ia akan sampai ke kampungnya.

Akad nikah kakaknya dengan seorang ulama muda bergelar Tengku akan diikrarkan usai salat Zuhur, sesuai rencana para tetua kampung dan juga orang tuanya. 

Ia berlari tak sabar ingin melihat kakaknya dihias dengan baju putih suci dengan kuku berhiaskan tumbukan daun pacar. Sesekali angin turut memainkan kerudung yang menutupi kepala dan rambutnya hingga terlihat indah tertiup angin. 

Dari jarak yang tak begitu jauh ia lihat dari kampungnya kepulan asap berwarna hitam dengan bau yang tak pernah Kenanga cium sebelumnya. Gadis itu meski bisu dan tuli tapi indra penciumannya sangat tajam. 

Bau yang sangat aneh baginya. Tanpa pikir dua kali ia pun berlari lebih kencang menuju kampungnya. Seketika firasat Kenanga tak enak.

Telapak kakinya yang tidak memakai alas sama sekali tak merasakan getaran dari pijakan kaki orang-orang di tempatnya. Semuanya terlalu hening dan tenang baginya. Ia waswas. 

Sejenak Kenanga berdiri di tempatnya, ia menggerak-gerakkan tapak kakinya, mencoba mencari pergerakan lain. Kegiatan warga yang sedang mencangkul tanah menaman tumbuhan. Pekerjaan warga kampungnya yang sedang memanjat pohon memetik kelapa. 

Namun, lagi-lagi ini tak seperti biasanya. Aneh, terlalu sunyi untuk ukuran kampung yang akan menyelenggarakan akad nikah. 

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status