Pagi harinya, panas tubuh Alif sudah sedikit mereda. Warna kebiruan akibat endapan racun di tangannya kini berubah menjadi kemerahan. Obat-obatan yang Kenanga balurkan bekerja perlahan tapi pasti membersihkan semuanya. Ketika matahari sudah mulai meninggi, ia pamit pergi ke bawah bukit, mencari tumbuh-tumbuhan lain yang bisa digunakan sebagai obat. Langkah demi langkah ia terus mencari beberapa tanaman liar seperti rumput anting-anting, tempuyung, bayam duri serta meniran.Ia sedikit terperanjat melihat bangkai ular tergeletak begitu saja tak jauh dari tempat mereka kini bermukim. Ular yang semalam tadi ia paksa mengeluarkan bisanya. Itu artinya racun dari tumbuhan tersebut bekerja perlahan tapi sangat kuat. Beruntung ia datang tepat waktu sebelum Alif mati tersiksa perlahan-lahan. Rumput liar yang ia temukan ia bawa ke atas. Alif masih menggigil memeluk kain kerawang. Tiga orang pemuda yang lain atas perintah Kenanga berpencar. Ada yang membuat API unggun lebih besar sebab udara pa
Tubuh Cempaka semakin kurus selama berminggu-minggu lamanya di kurung dalam penjara sempit. Ia hanya makan seperlunya saja untuk menghilangkan lapar. Gadis itu tak sudi sebenarnya untuk makan makanan dari tangan Belanda. Namun, ia tak punya pilihan lain. Andai bunuh diri boleh akan ia lakukan dengan tulang berbentuk runcing yang ada di tangannya sekarang. “Mevrow, makanlah.” Seorang juru masak datang memberikan roti dan buah padanya.Cemapaka hanya mendengkus kesal. Baginya semua yang terlibat dalam pembantaian sukunya termasuk juru masak yang menghindangkan makanan untuk Daalen juga harus ia musuhi. “Aku tak tega melihap pipimu peot seperti itu. Makanlah, kau perlu banyak tenaga untuk menghadapi Tuan Daalen.” Lelaki pribumi bertubuh kurus itu miris dengan keadaan Cempaka. “Aku curi dengar tadi, Meneer akan membawamu ke rumahnya.” Cempaka mendongak mendengar perkataannya. Gadis itu mengambil buah ranum yang ada di dekat kakinya, juga sekerat roti untuk mengisi perutnya. Ia bagai m
Dr. William Scout, lelaki berkebangsaan Inggris yang diperbantukan di Aceh atas kerja sama Inggris Raya dan Negeri Holand. Bagi William, tak ada bedanya antara orang asal negerinya atau asal mana saja, jika terluka atau sakit sama-sama membutuhkan pertolongan. Selama dua tahun tinggal di Aceh ia menyempatkan diri merawat pribumi yang membutuhkan bantuannya. Walau kerap kali ia mendapat makian karena wajah asing, pirang rambut dan biru matanya. Namun, sudah merupakan tugasnya pula untuk terus menolong sesuai dengan kode etik kejuruan yang ia pelajari, meski ia harus didamprat oleh pihak Belanda berkali-kali. Di tempatnya sekarang tinggal pula William banyak mempelajari budaya setempat termasuk bahasa warga sekitar. Lelaki itu tinggal satu atap di rumah baru milik Van Daalen. Ia termasuk golongan lelaki yang rajin beribadah. Pagi ini seperti biasa ia mendekap dua tangannya di depan dua buah lilin yang menyala. “God, please be good to me,”ujarnya sambil memejamkan mata. Pintu kamarny
Selama tiga hari Cempaka tak keluar dari kamarnya. Baginya, tempat itu lebih buruk daripada penjara sekalipun meski terlihat megah dan tertata rapi. Ia juga memaksa para pelayan wanita untuk menjahit pakaian baru untuknya. Pakaian panjang, tipis dan banyak hiasan bunga-bunga berukuran besar tak cocok untuknya. Para pelayan tak ada yang berani membantah, sebab mereka mendengar sendiri bagaimana keberanian Cempaka yang membunuh satu demi satu serdadu yang berani mendekatinya. Juga pesan yang ditinggalkan meneer agar melayani gadis itu sebaik-baiknya. Tiga pasang baju dengan kantong bagian depan telah ia pakai, ditambah celana panjang yang menutup sampai mata kakinya dan kerudung segiempat dengan pengait besi kecil menutupi seluruh rambut dan leher Cempaka. Pagi itu ia berjalan menuju tempat lelaki yang ia lupa siapa namanya. Gadis bermata tajam itu harus bergerak cepat. Sebelum Daalen kembali dari perjalanannya, ia harus pergi dari tempat itu. Cempaka menarik napas berulang kali unt
Lelaki asal Inggris itu kembali memberi beberapa lembar gulden dengan angka lima pada para marsose. Ia hanya ingin jalan berdua saja dengan Cempaka sebab, tempat yang dituju juga sangat rahasia. Sekaligus dalam keheningan dokter itu bisa mengagumi kecantikan Cemapaka. Liam sangat ingin menggenggam tangan gadis itu dan membawanya berkeliling sambil bercerita, persis seperti kebiasaan lelaki dan perempuan di negaranya. Akan tetapi, sakit di telapak tangannya yang diputar oleh Cempaka masih membekas di ingatan Liam. Langkah demi langkah dua orang itu berjalan, hanya William saja yang bercerita dan dijawab oleh senyuman oleh Cempaka. Gadis itu sama sekali tak tertarik, ia memperhatikan lingkungan yang atap rumahnya telah roboh dan beberapa bahkan hancur. Pemandangan yang mengingatkannya dengan kampung halaman. “Sini, aku tunjukkan sesuatu padamu.” Liam membuka sebuah pintu dan mengajak Cempaka untuk mengikutinya. Gadis itu mengerutkan keningnya. Ia harus mawas dengan segala pergerakan
Beberapa minggu telah mereka lewati untuk mencari keberadaan Cempaka. Namun, belum juga menampakkan hasil. Tak jarang Kenanga, Alif dan sahabatnya harus berhadapan dengan serdadu Belanda terlebih dahulu. Banyaknya marsose yang dikirim oleh Daalen untuk membunuh sisa-sisa pejuang membuat mereka kerepotan. Kenanga lebih sering memainkan perannya sebagai seorang tabib. Ia harus mengobati luka-luka yang diderita oleh para pemuda dari pesisir. Terkadang rombongan itu terpaksa mundur jika persejataan yang dibawa Belanda jauh lebih lengkap dari mereka. Seperti sekarang, hampir dua minggu mereka menetap di balik bukit kecil yang belum dijangkau oleh para serdadu. Demam yang mendera tubuh Kenanga menjadi sebab. Untuk mengisi waktu sambil menunggu sembuhnya sang tabib, para pemuda pesisir itu membuat ragam senjata seperti tombak dan panah. Sudah satu minggu gadis bisu itu demam. Panas dan dingin secara bersamaan singgah di tubuhnya. Sakit yang bukan disebabkan racun atau luka-luka, melainkan
Mereka berempat menunggu beberapa waktu lamanya, Kenanga bergerak cepat terlebih dahulu hingga membuat jantung para pemuda pesisir itu nyaris copot. Gadis itu kembali dengan satu buah senapan panjang. Matanya sedikit memerah terkena sisa-sisa asap yang belum mereda. “Ayo, kita pergi dari sini. Aku khawatir marsose lain akan menemukan kita,” perintah Alif sambil menerima senapan dari Kenanga. Sang pangeran risau luar biasa, gadis itu baru saja sembuh dari demamnya dan sudah terkena racun lagi. *** Wakil Daalen yang diperintahkan untuk membunuh sisa-sisa gerilyawan yang masih berjuang tiba di tepi sungai. Ia bersama puluhan serdadunya menemukan bawahannya mati terbujur kaku begitu saja tanpa sebab yang jelas. “Cari terus di sekitar hutan ini. Aku yakin ini bukan perbuatan binatang berbisa.” Sersan itu mengobrak-abrik tumpukan daun yang telah mengering. Ada sedikit bau yang membuatnya sesak napas. Serdadu yang berjumlah puluhan nyaris ratusan mulai bergerak, mereka menyiagakan masin
Adrian Van Mook---lelaki dengan satu pangkat lebih rendah daripada Daalen, berdiri di hadapan dua laki-laki dan satu orang perempuan yang membawa senjata masing-masing di tangannya. Lelaki dengan bekas luka di pipi kanannnya membuka peti kecil yang berisikan lembaran gulden dan beberapa keping emas hasil jarahan dari Kerajaan Pesisir Aceh. Ia membuka sebuah gulungan kertas yang bergambarkan wajah keturunan raja terakhir yang masih hidup dan berkeliaran. “Bawa kepala lelaki keturunan bangsawan ini ke hadapanku. Setelah itu berlembar-lembar gulden dan puluhan keping emas akan menjadi milik kalian.” Adrian mengembuskan asap cerutunya. “Namanya Teuku Alif Muda, lelaki yang merusak wajahku.” Tiga orang pembunuh bayaran itu pergi setelah menerima uang panjar dari Adrian. Mereka melacak jejak demi jejak yang ditinggalkan Alif berserta gerilyawan yang ia pimpin. Salah satu dari pembunuh bayaran itu adalah seorang wanita yang kerap memikat lawan dengan pesonanya. Tiga orang itu kini telah b