“Kau berurusan dengan yang gaib, bukan? Pusaran angin tadi, apa kau yang memanggilnya?” Alif menahan tangan Kenanga yang berusaha menghindari pembicaraan. Enggan berdebat, gadis itu mengempas genggaman di tangannya dan berusaha lari. Namun, terlebih dahulu bahunya ditahan oleh Alif. “Kau tak boleh pergi sampai semuanya jelas!” Sang pangeran mendesak.Kenanga mendorong Alif, tetapi lelaki itu bergeming. Ia tahu gadis bisu itu pasti tak akan memberi penjelasan sedikit pun. Tabib muda itu mengepalkan tangannya, ia mengarahkan tepat ke dada Alif, tetapi terlebih dahulu berhasil diempaskan oleh sang pangeran. “Aku tak mau mencari keributan denganmu. Aku hanya minta kau menjelaskan semuanya. Mengapa kau tak terluka saat tertembak? Mengapa selama kita berjalan bersama kau juga tak pernah terluka walau hanya sedikit?” tanya Alif sekali lagi.Gadis itu tahu apa yang ingin Alif cari tahu darinya. Hanya saja ia sedang tak ingin membahas perihal perjanjian gaibnya dengan Datok Panglima. Namun,
“Kaphe Ulanda. Cuih! Sampai mati pun aku tak akan pernah mengakui kemenangan kalian.” Snouck Hurgronje mengembuskan asap cerutunya ketika mengingat makian dari Cut Nyak Dien yang ditujukan padanya. Wanita pejuang sekaligus ulama itu telah ditangkap dan diasingkan ke Sumedang. Lelaki itu lanjut menorehkan dawatnya, memanipulasi banyak catatan sejarah Islam di bumi nusantara. Pintu ruang kerjanya diketuk ketika ia menyalin catatan dua ulama penting yang sangat disegani. Gegas lelaki yang mendapat kepercayaan besar dari Pemerintah Hindia Belanda itu berdiri dan membuka pintu. Dua orang yang ia perintah telah hadir, Van Daalen dan Ivan. “Bagaimana perkembangan genosida warga Gayo Alas?” Tanpa berbasa basi Snouck lansung membuka perbincangan. Ia mempersilakan dua bawahannya duduk dan menuangkan sendiri minuman beraroma pekat ke gelas kristal mewah. “Aku sudah banyak membunuh warga Gayo. Lucu sekali melihat mereka berjuang hanya dengan pisau, pedang, dan tombak, terlalu sombong dan akh
Siang ba’da dzuhur, Liam mengajak Cempaka untuk berkeliling dengan kereta tentu dengan pengawalan beberapa marsose bersenjata lengkap. Lelaki berkebangsaan Inggris itu menunjukkan rute perjalanan yang akan mereka tempuh ke pelabuhan. Ketatnya penjagaan di rumah Daalen membuat dua orang itu akan pergi dengan waktu yang berbeda.“Supaya tak menimbulkan kecurigaan, aku akan pergi sore hari setelah menyelesaikan tugasku di rumah sakit. Kau bisa pergi pada malam hari saat pertukaran penjaga. Manfaatkan kekosongan waktu selama setengah jam. Kau gadis pemberani dan pintar, aku yakin kau bisa,” bisik Liam perlahan agar tak didengar para penjaga. “Baik, demi kebebasanku, aku bisa lakukan apa saja.” Senyum palsu terkembang dari bibir Cempaka. Ia memberi seikat dusta pada William agar bisa keluar dari rumah Daalen. Dua hari lagi lelaki itu akan sampai di rumahnya. “Jalan belok ke kiri menuju pelabuhan, ke kanan menuju wilayah perbukitan. Kau bisa menunggang kuda, bukan?” “Bisa,” jawab Cempaka
“Susah payah aku membunuh ribuan orang demi mendapatkan semua harta ini. Sekarang semuanya hangus jadi abu!” Terpaku Daalen di tempatnya berdiri melihat tragedi yang dibuat oleh Cempaka. Lelaki berkumis tebal itu menyuruh para marsose yang bertanggung jawab tadi malam untuk berbaris. Mereka ditanyai satu per satu termasuk juga para babu yang berhasil menyelamatkan diri dari kobaran api. Salah satu babu berhasil memergoki Cempaka berjalan mengendap-endap memasuki ruang kerjanya dengan pakaian hitam, tetapi ia tak berani menegur karena takut mati di tangan gadis yang bergerak sangat cepat dan tenang itu. Daalen murka, semua kebanggaannya dalam istana itu musnah hanya karena kehadiran seorang wanita. Ia tak pernah berpikir jika gadis Gayo yang ia culik akan melakukan perlawanan, sebab dia hanya seorang diri.“Kau dipermalukan oleh sekuntum bunga, Meneer?” ejek Adrian yang baru sampai di rumah Daalen. “Soldaten!” panggil Daalen, “buat lukisan gadis itu, masukkan dalam daftar buronan
Kenanga menelisik penampilan wanita yang terluka di hadapannya. Wanita itu memiliki beberapa luka bekas di pipinya, meski samar gadis bisu itu tahu itu bekas goresan senjata tajam. Wanita berbaju merah tersebut terus menerus mengaduh, bahkan kini menggenggam jemari Alif walau pemuda itu terlihat enggan. Sang tabib menggulung kain bajunya, mencoba memeriksa tangan wanita itu, ia mencari asal bau racun itu. Namun, gadis bisu tersebut menemukan satu tanda di kulitnya, sebuah huruf yang tak ia kenali dengan lambang tengkorak di atasnya.“Cepatlah, Ken. Kau tak lihat darahnya terus mengucur?” perintah Alif padanya. Gadis bisu itu beranjak, ia tak menjawab dengan bahasa isyarat sama sekali. Kenanga menarik tangan Akbar agak menjauh dari tempat wanita tersebut terluka. Ia mengambil ranting kayu dan menuliskan beberapa pesan dengan huruf Arab Melayu di tanah. “Hati-hati, sepertinya dia bukan orang biasa.” Kenanga kemudian terus berjalan tanpa tahu ke mana arah yang akan ia tuju. Akbar me
Satu batang jarum beracun menancap tepat di leher Mantili. Wanita itu terdiam, ia meraba bagian tubuhnya yang terasa perih sampai ke mata, tangannya mencabut jarum beracun yang melukai dirinya sendiri. Alif melihat ke arah Kenanga terus berlari, ia mengabaikan lawannya yang sekarang duduk bersimpuh di tanah. Pembunuh bayaran itu meraba pinggangnya, membuka batang bambu lain berusaha meminum penangkal dari jarum beracun tersebut. Gemetar tangannya memegang benda hijau itu, Mantili tak mau mati terlalu cepat, ia masih ingin menagih janji Adrian yang akan menjadikannya salah satu nyonya di dalam istananya. Batang bambu itu ia arahkan ke mulutnya dengan tangan gemetar. Namun, penawar itu tumpah dan sesaat kemudian tubuhnya roboh, terbaring di tanah. Perlahan-lahan bibirnya membiru dan kantong matanya berubah warna menjadi hitam pekat, ia mati dengan mata tak terpejam. ***Alif membantu Ridwan yang terlihat kesusahan melumpuhkan lawannya. Lelaki ulebalang itu mengambil pisau Mantili yan
Dua pemuda pesisir itu hanya diam melihat bahasa isyarat Kenanga. Mereka paham jika situasi yang ditempuh sekarang sangat berat, tetapi hal itu bukanlah keinginan Alif dan Ridwan. “Kita tetap jalan bertiga. Bersama saja kita mati satu per satu, apalagi jika kami meninggalkanmu seorang diri,” jawab Alif. Tak ada perubahan air muka gadis bisu itu, ia mengambil langkah ke arah kanan tetap pada pendiriannya. Akbar dan Alif hanya mengikuti dari belakang. Bagi dua pemuda pesisir tersebut, membiarkan seorang wanita berjalan seorang diri dalam keadaan perang seperti sekarang bukanlah tindakan seorang lelaki sejati.Kenanga tahu jika ia diikuti, meski dua lelaki itu menjaga jarak beberapa puluh langkah darinya. Namun, ia tak ingin melarang, gadis itu hanya mencoba mencari jalan sendiri, sebab telah banyak purnama yang ia lewati dan Cempaka tak kunjung ia temukan. Gadis itu terdiam beberapa saat, telapak kakinya perih tertusuk duri. Sejak benda pusaka pemberian Datok Panglima dimusnahkan Ali
Salah seorang dari tiga pemuda itu berlarian ke tengah sungai, menahan laju batang pohon yang hanyut oleh air. Lelaki dengan rambut panjang dan diikat rapi, memeriksa tubuh seseorang berpakaian serba hitam yang tak tak melepas pelukannya pada batang pohon itu. “Bagaimana, apa masih hidup?” tanya Razi pada temannya bernama Tandi. “Masih, Bang. Kita bawa saja dia ke peristirahatan kita? Tangannya dingin sekali.” Gegas lelaki itu membawa tubuh Cempaka ke punggungnya. Razi memerintah pada Tandi dan juga Madi, agar membangun tenda satu lagi untuk tempat beristirahat wanita yang mereka temukan. Ia sendiri lebih memilih mencari beberapa kayu bakar tambahan untuk rombongannya. Lelaki yang mahir membuat senjata itu memutuskan untuk bermalam di dalam hutan sampai wanita tadi sadar. Madi berkekas mendirikan tenda tambahan, setelahnya Tandi baringkan tubuh Cempaka di dalamnya dengan beralaskan dedaunan kering. Teman seperjuangan Razi itu menekan perut wanita yang ia jumpai sampai semua air su