Home / Thriller / BUKU TERLARANG / BAB 2 - MEREKA SEDANG MENGAWASI

Share

BAB 2 - MEREKA SEDANG MENGAWASI

Author: awaaasky
last update Huling Na-update: 2025-03-21 21:57:32

Jantung Riven berdetak kencang. Tubuhnya menegang, kertas kecil di tangannya hampir terjatuh. Pesan itu masih tergenggam erat.

"Jangan menoleh ke belakang."

Tapi justru perintah itu yang membuatnya semakin sadar akan kehadiran sesuatu di belakangnya. Dia bisa merasakan desiran napas yang dingin, seolah ada sosok tak kasat mata yang berdiri tepat di belakang kursinya.

Perlahan, tangannya bergerak ke meja, meraba-raba mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi diri. Pikirannya terus berputar—haruskah dia langsung berlari keluar atau pura-pura tidak menyadari?

Udara di sekitarnya semakin dingin. Lampu kamar berkedip lagi, kali ini lebih lama. Saat cahaya kembali stabil, sesuatu terasa berubah.

Riven menguatkan diri. Dia tidak bisa tinggal diam. Dengan gerakan cepat, dia meraih ponselnya, mengaktifkan kamera, dan mengarahkannya ke belakang tanpa benar-benar menoleh.

Layar ponselnya langsung menunjukkan sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Sosok itu ada di sana.

Bayangan hitam, lebih jelas dari sebelumnya. Tidak lagi hanya berupa siluet samar, tetapi kini memiliki bentuk lebih nyata—tinggi, dengan tubuh kurus, dan wajah yang seperti ditutupi kabut gelap.

Matanya… tidak ada. Hanya rongga kosong yang menatap lurus ke arahnya.

Tiba-tiba, sosok itu bergerak cepat. Dalam sekejap, bayangan itu menghilang, dan Riven merasakan sesuatu mencengkram pundaknya.

Seketika, dia menjerit dan melempar ponselnya ke lantai.

Tapi saat dia berani menoleh…

Tidak ada siapa-siapa.

Hanya kamarnya sendiri, sunyi seperti sebelumnya.

Namun, ada sesuatu yang berubah.

Buku hitam itu… kini berada di lantai, terbuka di tengah.

Dan di halaman itu, ada tulisan baru.

"Aku melihatmu."

Riven mundur selangkah. Dadanya naik turun cepat, pikirannya kacau. Ini tidak mungkin hanya kebetulan.

Buku ini tidak hanya berisi cerita.

Buku ini hidup.

Dan yang lebih mengerikan… sesuatu dari dalam buku itu telah melihatnya.

Pagi Hari

Matahari baru saja terbit saat Riven keluar dari kamarnya dengan wajah pucat. Dia tidak bisa tidur semalaman. Setiap kali dia mencoba memejamkan mata, suara-suara aneh memenuhi kepalanya—bisikan, ketukan, atau suara nafas yang tidak seharusnya ada.

"Aduh, lo kenapa, Vin? Mukanya kayak mayat," suara Marco, sahabatnya, terdengar saat mereka bertemu di kampus.

Riven menatapnya lelah. "Gue gak tidur semalaman."

"Serius? Gara-gara tugas?"

"Kalau cuma tugas mah gue masih bisa tidur," gumam Riven sambil duduk di bangku kantin.

Marco menaikkan alis. "Terus, kenapa? Jangan bilang lo masih mikirin buku aneh itu?"

Riven menghela napas. Dia memang pernah cerita ke Marco soal buku yang dia temukan di toko antik. Waktu itu Marco cuma menertawakan dan bilang kalau itu cuma mitos, tapi sekarang, setelah semua yang terjadi tadi malam… Riven tidak bisa menganggapnya sebagai kebetulan lagi.

"Marco… kemarin malam, gue ngalamin sesuatu yang gak masuk akal," kata Riven pelan.

Marco menyilangkan tangan, menatapnya serius. "Lo mimpi buruk?"

"Kalau itu mimpi, gue pengen banget bangun. Tapi masalahnya, ini nyata."

Riven pun menceritakan semuanya—tentang bayangan di cermin, tulisan aneh di buku, pesan misterius, dan sosok yang muncul di kamera ponselnya.

Saat dia selesai bercerita, Marco hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa.

"Lo gak percaya, ya?"

Marco menghela napas. "Gue gak bilang gue gak percaya. Tapi lo sadar kan, Vin? Bisa aja lo cuma kebawa sugesti."

Riven menatap sahabatnya dengan ekspresi frustasi. "Kalau lo yang ngalamin sendiri, gue yakin lo gak bakal ngomong gitu."

Marco terdiam, lalu menggaruk kepalanya. "Oke, kalau memang buku itu yang bikin lo jadi kayak gini, kenapa gak lo buang aja?"

Riven terdiam.

Buang?

Entah kenapa, ide itu terasa mustahil.

Bukan karena dia tidak mau, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan kalau buku itu tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.

"Gue… gak tahu, Mar," jawabnya lirih.

Marco menatapnya skeptis, lalu mendesah. "Oke, kalau gitu, malam ini gue nginep di tempat lo. Biar gue lihat sendiri apa yang sebenernya terjadi."

Riven ragu. Dia tidak ingin Marco ikut terjebak dalam mimpi buruk yang sama. Tapi di sisi lain, dia juga tidak mau menghadapi ini sendirian lagi.

"...Oke."

Marco tersenyum, menepuk pundaknya. "Santai, Vin. Lo gak sendirian. Apapun itu, kita hadapi bareng-bareng."

Riven mengangguk. Tapi di dalam hatinya, dia tahu…

Ini bukan sesuatu yang bisa dihadapi dengan mudah.

Malam Kedua

Marco merebahkan dirinya di kasur Riven dengan santai. "Jadi, kita cuma nunggu doang? Gini doang?"

Riven yang duduk di meja belajar hanya melirik sekilas. "Jangan sombong dulu. Kita lihat nanti."

Buku hitam itu masih ada di mejanya. Kali ini, Riven tidak berani membukanya lagi.

"Lo yakin kita gak perlu baca lagi?" tanya Marco.

"Tidak," jawab Riven tegas. "Gue gak mau ada hal aneh yang terjadi lagi."

Marco tertawa kecil. "Ya udah, kalau gitu, gue tidur dulu."

Riven tidak membalas. Dia masih waspada.

Waktu berjalan lambat.

Pukul 1:00 pagi.

Pukul 2:00 pagi.

Tidak ada yang terjadi.

Riven mulai berpikir kalau mungkin semua ini benar-benar hanya halusinasinya. Mungkin dia memang terlalu lelah dan otaknya menciptakan kejadian-kejadian aneh.

Tapi saat pukul 3:00 pagi…

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan terdengar dari luar kamar.

Riven dan Marco saling pandang.

"Siapa?" bisik Marco.

Riven menggeleng. Tidak mungkin orang rumahnya, karena mereka semua seharusnya sudah tidur.

Tok. Tok. Tok.

Kali ini lebih keras.

Dengan jantung berdebar, Riven berdiri dan berjalan perlahan ke pintu. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu.

Dia menarik napas dalam-dalam… lalu membuka pintu dengan cepat.

Tidak ada siapa-siapa.

Riven menelan ludah. Dia menutup pintu kembali, tapi saat berbalik…

Marco tidak ada di kasur.

Matanya melebar. "Marco?"

Tidak ada jawaban.

Tiba-tiba, lampu kamar berkedip. Udara berubah dingin lagi.

Dan di atas meja, buku hitam itu kini terbuka sendiri.

Di halaman yang kosong, ada tulisan baru yang tidak ada sebelumnya.

"Satu per satu akan menghilang."

Riven merasa seluruh tubuhnya membeku.

Sesuatu telah membawa Marco pergi.

Dan dia tidak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.

Ketakutan yang Nyata

Riven menatap tulisan di dalam buku itu dengan mata membelalak.

"Satu per satu akan menghilang."

Tangan dan kakinya gemetar. Ini tidak mungkin. Ini tidak nyata. Tapi… Marco benar-benar hilang.

Dia buru-buru mengelilingi kamar, membuka lemari, melihat ke bawah ranjang—tidak ada siapa-siapa. Dia bahkan memeriksa pintu dan jendela, tetapi semuanya masih terkunci dari dalam.

"Marco?" suaranya terdengar serak, hampir seperti bisikan.

Tidak ada jawaban.

Riven menggigit bibir, otaknya berusaha mencari penjelasan logis. Marco tidak mungkin pergi begitu saja tanpa suara. Apakah dia sedang bercanda? Tapi… dia sendiri yang melihat Marco ada di kasur beberapa menit lalu.

Berkali-kali, Riven menampar pipinya sendiri, berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tapi rasa sakit yang menjalar di wajahnya membuktikan kalau ini nyata.

Dengan tangan gemetar, dia kembali melihat buku yang terbuka di meja. Tulisan itu masih ada. Namun, perlahan, tinta hitam di kertas mulai berubah bentuk, huruf-hurufnya bergeser dan membentuk kalimat baru.

"Kau akan menjadi yang berikutnya."

Riven membanting buku itu dengan kasar dan mundur hingga menabrak dinding.

"Brengsek! Ini gak masuk akal!"

Nafasnya semakin memburu. Dia harus berpikir. Dia harus menemukan cara untuk mengembalikan Marco.

Ponselnya!

Dengan panik, dia merogoh saku celananya dan menarik keluar ponsel. Tangannya begitu gemetar hingga butuh beberapa detik hanya untuk membuka layar kunci. Dia segera menelepon Marco.

Terdengar nada sambung.

Satu detik… dua detik…

Tiba-tiba, suara Marco terdengar di ujung telepon.

Namun, suara itu tidak seperti biasanya.

Nadanya datar, hampir seperti suara yang keluar dari rekaman rusak.

"Halo?"

Riven merasakan bulu kuduknya berdiri. "Marco! Lo di mana?!"

Hening.

"Aku melihatmu."

Suara itu… bukan suara Marco.

Riven menahan napas. Tangannya mencengkeram ponsel erat. "Siapa lo?"

Tapi panggilan itu langsung terputus.

Dia menatap layar dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Buru-buru, dia mencoba menelepon lagi. Tapi kali ini, tidak ada nada sambung.

Seolah-olah ponsel Marco sudah tidak ada dalam jaringan.

Tiba-tiba, udara di kamar terasa semakin dingin.

Sebuah bisikan terdengar dari belakangnya.

"Kau tidak bisa melarikan diri."

Dengan jantung berdetak kencang, Riven menoleh.

Dan saat itulah dia melihatnya.

Sosok itu berdiri di sudut kamar.

Lebih dekat daripada sebelumnya.

Bayangan tinggi, tubuh kurus dengan wajah yang masih tertutup kabut hitam.

Riven ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Tiba-tiba, lampu di kamar berkedip cepat. Bayangan itu mulai bergerak.

Riven tidak berpikir panjang. Dia segera meraih buku hitam itu dan melemparkannya ke sudut ruangan.

Seketika, sosok itu berhenti.

Senyap.

Riven terpaku, mengawasi dengan napas tertahan.

Beberapa detik berlalu… dan perlahan, bayangan itu mulai menghilang.

Udara dingin yang tadi menusuk pun perlahan menghilang.

Suasana kembali hening.

Riven masih berdiri di tempatnya, tubuhnya terasa lemas. Dia mengusap wajahnya yang berkeringat.

"Astaga…" dia berbisik pelan.

Buku itu… benda itu… apa sebenarnya?

Dan yang lebih penting… di mana Marco?

Keesokan Harinya

Matahari telah terbit ketika Riven akhirnya memberanikan diri untuk keluar dari kamar.

Dia langsung menghubungi semua teman mereka untuk menanyakan keberadaan Marco, tetapi tidak ada yang tahu di mana dia. Orang tua Marco juga mengatakan bahwa anak mereka tidak pulang sejak kemarin.

Ini tidak mungkin.

Marco tidak mungkin menghilang begitu saja.

Dengan hati penuh kecemasan, Riven berjalan ke kampus, berharap Marco tiba-tiba muncul dan menganggap semua ini hanya lelucon. Tapi sepanjang hari, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.

Saat duduk di kantin sendirian, Riven merasakan ponselnya bergetar. Dia buru-buru melihat layar, berharap itu adalah pesan dari Marco.

Namun, yang muncul adalah pesan tanpa nama.

"Berhenti mencari dia. Jika tidak, kau akan bernasib sama."

Tangannya langsung mencengkeram ponsel erat.

Tidak.

Dia tidak bisa berhenti sekarang.

Dia harus menemukan Marco.

Dengan tekad bulat, Riven berdiri dari kursinya dan meninggalkan kantin.

Dia akan mencari tahu rahasia buku itu.

Dan dia akan menyelamatkan Marco… sebelum semuanya terlambat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BUKU TERLARANG   BAB 23

    Langit di luar bangunan terbengkalai itu memucat. Awan tebal menggantung seperti ancaman yang belum jatuh. Riven membuka matanya perlahan, mendapati dirinya duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Kepalanya berdenyut, dan sisa-sisa mimpi buruk yang terasa seperti kenyataan masih membekas di ingatannya. Tapi yang paling membuatnya sulit bernapas adalah kenyataan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia bisa berada di tempat ini.Kamar itu tak memiliki jendela. Hanya satu pintu logam tua yang tampak berkarat dan tertutup rapat. Cahaya kuning redup berasal dari lampu gantung yang berkedip sesekali, seperti bernapas dengan napas terputus-putus. Riven berdiri dengan lutut gemetar, memeriksa sekitar. Tidak ada kamera, tidak ada furnitur, hanya satu meja kecil di sudut ruangan dan catatan lusuh di atasnya.Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil catatan itu dan membacanya.> *"Mereka sudah melihatmu. Jangan percaya suara yang akan kamu dengar. Mereka bukan milikmu. Tapi kamu adalah milik mer

  • BUKU TERLARANG   BAB 22

    bau besi tua dan api yang membara menyambut langkah mereka. riven, liora, dan kaela tiba di dimensi berikutnya melalui celah cahaya yang retak dari atas. kali ini, mereka tak mendarat di tempat yang familiar. bukan ruangan atau tanah. mereka berdiri di atas cermin. cermin raksasa, sejauh mata memandang, memantulkan langit kelam tanpa bintang. > “ini... bukan dunia nyata,” gumam kaela, menatap ke bawah. bayangannya tak mengikuti gerakannya. > “kita ada di dimensi refleksi,” liora menjawab. “semua hal yang lo takutin, yang lo coba kubur dalam hati... bakal hidup di sini.” riven menghela napas. ia merasakan tubuhnya berat. bukan karena luka atau lelah. tapi karena… dirinya sendiri. > “jadi... kita harus ngadepin versi terburuk dari diri kita?” tanyanya. > “nggak,” kata suara dari kejauhan. suara yang dingin. lembut. tapi seperti pisau. dari balik kabut, muncullah tiga sosok. masing-masing sama persis dengan riven, kaela, dan liora. tapi mata mereka kosong. kulit mereka

  • BUKU TERLARANG   BAB 21

    labirin itu tak kasat mata, tapi jejaknya terasa di kulit—seperti kabut dingin yang menyusup sampai ke tulang belakang. saat riven, liora, dan kaela melangkah ke ambang pintu dimensi pemurnian, langit ungu tadi berubah jadi kaca. transparan. seolah semesta mengintip mereka dari balik batas realitas.“ini dia,” bisik liora sambil meletakkan telapak tangannya ke dinding tak terlihat itu. seketika, dinding itu bergetar dan muncul retakan cahaya. seperti puzzle yang tersusun ulang.> “labirin dimensi, tempat semua potensi dan kemungkinan bercampur jadi satu,” gumam liora.riven hanya menatapnya tanpa kata. tangannya masih menggenggam buku hitam—tapi kini beratnya terasa berbeda. seperti dia bukan lagi pemilik, tapi sekadar penanggung jawab dosa dari ribuan cerita.saat mereka melangkah masuk, semuanya jadi putih. hanya putih.“dimana kita?” tanya kaela, suaranya gemetar.> “di ruang netral antara semua dimensi. di tempat ini… apa yang lo pikirkan bisa jadi nyata. tapi juga bisa membunuh l

  • BUKU TERLARANG   BAB 20

    derit pintu menara itu terdengar seakan merobek udara. udara di dalam ruangan seperti membeku, membungkam semua suara. kaca patri memantulkan cahaya merah dari naskah besar di tengah altar. seolah buku itu berdenyut seperti jantung, menghembuskan napas yang tak terlihat.riven melangkah perlahan. kakinya gemetar, tapi matanya terpaku pada buku yang terikat rantai besi, seolah dunia tak ingin buku itu dibuka.“gue ngerasa kayak... kalau gue buka buku itu, gak akan ada yang sama lagi,” bisiknya.liora berdiri di sampingnya, menatap tajam. “itu bukan cuma perasaan. buku itu nyimpen awal dan akhir semua narasi yang pernah ada. bahkan cerita kita sekarang ini—udah ditulis di dalam sana, jauh sebelum lo lahir.”kaela memeluk bahunya sendiri, menggigil. “jadi selama ini... kita semua cuma bagian dari cerita yang udah ditulis?”liora menoleh cepat. “enggak. justru karena lo sadar, lo bisa menulis ulang. tapi itu juga yang paling ditakuti sama mereka—penjaga asli naskah ini.”dari bayangan di

  • BUKU TERLARANG   BAB 19

    siap sayangku tercintaaaa 🤍 sekarang mas lanjutin bab 19 – jejak rahasia, bab ini bakal mulai ngebuka misteri besar di balik siapa sebenarnya yang menyebarkan buku terlarang dan mulai muncul benih konflik eksternal yang lebih nyata 💥---Bab 19 – Jejak Rahasiahari itu, udara kota kembali terasa normal. gak ada langit retak, gak ada bayangan hidup, gak ada mata raksasa yang mengintip. tapi keheningan ini gak terasa nyaman.setelah keluar dari dunia sumur asal, riven dan kaela kembali ke dunia nyata… atau setidaknya, sesuatu yang mirip dengan dunia nyata.> “tempat ini… agak beda, ya?” kaela menatap gedung-gedung tinggi di sekeliling mereka.> “ini kampus gue… tapi kayaknya versi ‘lainnya’,” riven menjawab pelan.kampus itu terlihat sama—bangunan, taman, ruang kelas—semuanya familiar. tapi suasananya dingin, terlalu rapi, terlalu… kosong.lalu riven melihat sesuatu yang bikin jantungnya mencelos.di dinding luar perpustakaan, terpasang poster besar wajahnya sendiri.> “wanted: riven

  • BUKU TERLARANG   BAB 18

    langkah pertama riven dan kaela ke dalam sumur asal seperti menembus lautan kabut. bukan kabut biasa—tapi kabut yang memutar ingatan, menjerat emosi, dan memantulkan luka yang belum sembuh.suara langkah mereka bergema aneh.padahal hanya mereka berdua di sana…tapi suara langkah itu… ada tiga.> “dengar itu?” kaela berbisik, menggenggam tangan riven lebih erat.riven mengangguk. “langkah ketiga…”tiba-tiba kabut terbelah.di hadapan mereka terbentang sebuah tanah luas, berwarna abu-abu pekat, seperti dunia tak bernyawa. di kejauhan terlihat ribuan cermin berdiri—tinggi, rapi, dan menghadap ke satu titik tengah: sumur hitam.> “itu sumurnya?” kaela menunjuk.> “iya… dan itu semua…” riven menatap cermin-cermin itu dengan mata penuh luka, “…versi lain dari gue.”setiap cermin memantulkan riven… tapi berbeda-beda.ada riven yang tersenyum polos seperti anak kecil, riven yang dipenuhi darah, riven yang tertunduk patah… dan bahkan ada satu cermin di mana riven terlihat berlumuran api, tert

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status