Pencarian Dimulai
Riven berdiri di depan perpustakaan kampus, mengencangkan jaketnya saat angin sore berembus pelan. Ini pertama kalinya dia datang ke sini dengan perasaan seperti ini—tegang, takut, sekaligus penasaran.
Setelah pesan misterius yang dia terima siang tadi, dia tahu dia tidak bisa tinggal diam. Jika ada sesuatu yang bisa menjelaskan misteri buku itu dan hilangnya Marco, maka jawabannya mungkin ada di sini.
Dengan langkah cepat, dia memasuki gedung tua itu. Deretan rak buku yang tinggi menjulang di sekelilingnya, bau kertas tua memenuhi udara. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang belajar di meja panjang, tenggelam dalam buku dan laptop mereka.
Riven menghela napas dalam, lalu berjalan ke bagian arsip. Dia tidak tahu harus mulai dari mana, tapi instingnya mengatakan kalau dia harus mencari sesuatu tentang buku terlarang atau kejadian-kejadian aneh yang pernah terjadi di kampus ini.
Tangannya menyusuri punggung buku-buku tua, mencari sesuatu yang terlihat mencurigakan. Hingga akhirnya, matanya tertumbuk pada sebuah buku tebal dengan sampul cokelat lusuh berjudul "Misteri dan Legenda Kota Ini."
Dengan cepat, dia menariknya keluar dan membuka isinya.
Lembar demi lembar dia baca, sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang membuatnya menahan napas.
"Tahun 1998, seorang mahasiswa bernama Adrian Leighton ditemukan tewas di kamar asramanya dalam kondisi mengenaskan. Tidak ada tanda-tanda perlawanan, namun yang aneh adalah satu-satunya benda yang ditemukan di dekatnya adalah sebuah buku tua berwarna hitam tanpa judul."
Riven meneguk ludah. Buku hitam? Itu terdengar seperti…
Dia membaca lebih lanjut.
"Beberapa saksi mengatakan bahwa sebelum kematiannya, Adrian sempat bertingkah aneh. Dia berbicara sendiri, mengatakan bahwa dia diawasi, dan terus menggumamkan nama-nama orang yang akhirnya menghilang satu per satu tanpa jejak."
Jantung Riven berdetak lebih kencang.
Marco menghilang. Dan dia sendiri juga mulai merasa diawasi.
Apa mungkin… dia sedang mengalami hal yang sama seperti Adrian?
Tiba-tiba, seseorang berdeham di belakangnya.
"Sedang mencari sesuatu yang menarik?"
Riven tersentak dan menoleh.
Seorang perempuan berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi penasaran.
Dia mengenali gadis itu—Celine, mahasiswa jurusan sejarah. Dia sering melihatnya di beberapa mata kuliah, tapi mereka jarang berbicara.
"Uh, cuma… iseng aja," kata Riven sambil menutup buku dengan cepat.
Celine menyipitkan mata. "Lo gak terlihat seperti orang yang iseng. Lo terlihat kayak seseorang yang sedang mencari jawaban."
Riven terdiam.
Haruskah dia menceritakan semuanya?
Setelah beberapa detik ragu, dia akhirnya menghela napas dan berkata, "Gue cuma lagi nyari tahu soal… buku hitam tanpa judul. Lo pernah denger soal itu?"
Ekspresi Celine langsung berubah serius.
"Lo nemuin buku itu?" tanyanya dengan suara pelan.
Riven terkejut. "Lo tahu tentang itu?"
Celine menggigit bibirnya, lalu menoleh ke kiri dan kanan seolah memastikan tidak ada yang mendengar mereka.
"Ayo ikut gue," katanya sambil menarik tangan Riven.
Mereka berjalan ke sudut perpustakaan yang sepi. Celine bersandar di rak buku dan menatap Riven dengan ekspresi tegang.
"Buku itu bukan buku biasa," katanya. "Gue gak tahu lo nemuin itu di mana, tapi kalau lo udah membukanya, lo dalam bahaya."
Riven menelan ludah. "Kenapa?"
Celine menghela napas. "Buku itu… selalu muncul di tempat berbeda setiap beberapa tahun sekali. Orang yang menemukannya biasanya akan mengalami hal-hal aneh. Dan lebih buruknya… kebanyakan dari mereka menghilang tanpa jejak."
Darah Riven berdesir.
"Kayak Adrian Leighton?" tanyanya pelan.
Celine mengangguk. "Gue pernah baca soal dia. Dan dia bukan satu-satunya korban. Sebelum dia, ada kasus serupa di tahun 1973, 1956, bahkan lebih lama lagi."
Riven merasa pusing. Jika ini benar… berarti dia sedang terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dia kira.
Celine menatapnya dengan tajam. "Gue harus tanya sesuatu. Lo masih punya buku itu?"
Riven terdiam sejenak, lalu mengangguk.
Celine menggigit bibirnya. "Kalau gitu… kita harus menghancurkannya sebelum terlambat."
Mereka Tidak Akan Membiarkan Itu Terjadi
Malam itu, Riven dan Celine pergi ke sebuah lapangan kosong di belakang kampus, membawa buku hitam itu bersama mereka.
Celine membawa sebuah wadah logam berisi bensin dan pemantik api.
"Kalau ini memang benar sumber dari semua masalah, kita harus membakarnya sekarang," kata Celine dengan tegas.
Riven menatap buku di tangannya, merasa ragu.
Apakah ini benar-benar akan berhasil?
Dengan perlahan, dia meletakkan buku itu di tengah lapangan.
Celine menuangkan bensin di atasnya. Bau menyengat langsung menyebar di udara.
Riven menarik napas dalam, lalu menyalakan pemantik dan melemparkannya ke buku.
Api langsung menyala, membakar halaman-halaman tua itu dengan cepat.
Riven menghela napas lega.
Namun, beberapa detik kemudian, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Api yang seharusnya membakar buku itu… tiba-tiba padam begitu saja.
Seolah-olah ada sesuatu yang menghentikannya.
Riven dan Celine menatap dengan mata membelalak.
Buku itu… masih utuh.
Tidak ada bekas terbakar sedikit pun.
Angin kencang tiba-tiba bertiup, membuat pepohonan di sekitar bergoyang keras.
Dan lalu, sebuah suara berbisik di telinga mereka.
"Kalian tidak bisa menghancurkan apa yang bukan milik kalian."
Riven langsung meraih tangan Celine dan menariknya mundur.
Mereka harus pergi dari sini. Sekarang juga.
Tapi sebelum mereka bisa berlari, sesuatu terjadi.
Bayangan hitam mulai muncul dari tanah di sekitar mereka, membentuk sosok tinggi tanpa wajah, sama seperti yang Riven lihat di kamarnya.
Makhluk itu bergerak mendekati mereka.
Celine menjerit.
Riven menggenggam tangan Celine lebih erat dan berbisik, "Jangan lihat ke mata mereka!"
Mereka berdua berlari secepat mungkin, meninggalkan lapangan itu dengan napas tersengal.
Saat akhirnya mereka sampai di gerbang kampus, Riven menoleh ke belakang.
Sosok-sosok itu masih berdiri di tempat yang sama.
Tidak bergerak. Tidak mengejar.
Tapi… mereka sedang mengawasi.
Dan Riven tahu, ini baru permulaan.
Kegelapan yang Mengintai
Riven dan Celine berdiri terengah-engah di depan gerbang kampus. Angin malam berembus dingin, tapi keringat membasahi pelipis mereka. Sosok-sosok hitam itu masih di sana, berdiri diam seperti bayangan yang menempel di kegelapan.
"Kita harus pergi dari sini," gumam Celine dengan suara gemetar.
Riven mengangguk, tapi matanya masih tertuju pada buku itu yang tergeletak di tengah lapangan kosong. Buku yang seharusnya terbakar itu masih utuh, seolah-olah api tidak memiliki kekuatan untuk menyentuhnya.
"Apa yang sebenarnya kita hadapi?" Riven bertanya pelan.
Celine menggeleng, wajahnya pucat. "Gue juga gak tahu. Tapi satu hal yang pasti—buku itu bukan benda biasa."
Riven menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Kalau gak bisa dihancurkan, terus apa yang harus kita lakuin?"
Celine terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Kita harus mencari tahu asal-usulnya. Kalau kita tahu dari mana buku itu berasal, mungkin kita bisa menemukan cara untuk menghentikannya."
Riven menatapnya ragu. "Dan kita harus mulai dari mana?"
Celine menatapnya dalam-dalam. "Kita harus menemui seseorang yang pernah berurusan dengan buku itu sebelumnya."
Jejak yang Hilang
Keesokan paginya, Riven dan Celine bertemu di kafe kecil dekat kampus. Mereka duduk di sudut ruangan, menjauh dari keramaian.
"Ada satu nama yang terus muncul dalam semua cerita tentang buku itu," kata Celine sambil membuka laptopnya. "Profesor Elias Grant. Dia adalah mantan dosen sejarah di kampus ini, tapi tiba-tiba menghilang sekitar lima tahun yang lalu."
Riven mengerutkan kening. "Menghilang?"
Celine mengangguk. "Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Tapi sebelum dia menghilang, dia sempat melakukan penelitian tentang buku-buku terlarang dan artefak kuno. Gue yakin dia tahu sesuatu tentang buku ini."
Riven menatap layar laptop, membaca artikel lama tentang profesor itu. Tidak ada banyak informasi, hanya rumor bahwa dia terakhir kali terlihat di sebuah desa kecil di pinggiran kota.
"Kita harus mencarinya," kata Celine dengan suara mantap.
Riven menghela napas panjang. "Lo sadar ini bisa jadi berbahaya, kan?"
Celine tersenyum tipis. "Gue tahu. Tapi lo juga sadar kita gak punya pilihan lain, kan?"
Riven mengangguk pelan. Dia tahu Celine benar. Jika mereka ingin memahami buku itu, mereka harus menemukan Profesor Elias Grant.
Perjalanan ke Desa Terlupakan
Sore itu, mereka berangkat ke desa yang disebutkan dalam artikel. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam, melewati jalanan sepi yang dikelilingi hutan lebat.
Saat mereka tiba, suasana desa terasa aneh. Sepi. Terlalu sepi untuk sebuah desa yang masih dihuni.
"Kenapa tempat ini terasa… mati?" gumam Riven sambil melihat sekeliling.
Celine merapatkan jaketnya. "Gue gak tahu. Tapi ini gak terasa normal."
Mereka berjalan menyusuri jalan berbatu, mencari informasi tentang Profesor Elias Grant. Tapi setiap kali mereka bertanya pada penduduk setempat, mereka hanya mendapat tatapan kosong atau jawaban yang mengambang.
Hingga akhirnya, seorang wanita tua yang duduk di depan rumah kayunya menatap mereka dengan tajam.
"Kalian mencari Elias Grant?" tanyanya dengan suara serak.
Riven dan Celine saling berpandangan sebelum mengangguk.
Wanita tua itu menghela napas. "Dia ada di rumah tua di ujung desa. Tapi jika kalian ingin bertahan hidup, aku sarankan kalian tidak mendekatinya."
Celine menelan ludah. "Kenapa?"
Wanita itu menatap mereka dalam-dalam. "Karena dia bukan lagi manusia yang sama seperti dulu."
Rahasia yang Tersembunyi
Mereka berdiri di depan rumah tua yang hampir runtuh, kayunya sudah lapuk dan jendela-jendelanya pecah. Tidak ada tanda kehidupan di dalamnya.
Riven mengetuk pintu pelan.
Tidak ada jawaban.
Dia mencoba lagi, kali ini lebih keras. "Profesor Elias?"
Suara gesekan terdengar dari dalam. Lalu, pintu berderit terbuka perlahan.
Seorang pria tua berdiri di sana, tubuhnya kurus dan matanya cekung. Rambut putihnya berantakan, dan kulitnya pucat seolah sudah lama tidak terkena sinar matahari.
"Apa yang kalian inginkan?" suaranya serak dan penuh kelelahan.
Riven menelan ludah. "Kami ingin tahu tentang buku hitam tanpa judul."
Mata Elias langsung melebar, dan dalam sekejap, ekspresinya berubah menjadi ketakutan.
"Kalian harus pergi," katanya dengan nada mendesak. "Sebelum terlambat."
"Tolong, Profesor," kata Celine, suaranya memohon. "Kami sudah menemukannya. Kami harus tahu apa yang sedang terjadi."
Elias menatap mereka dengan ragu, lalu akhirnya menghela napas panjang.
"Masuklah," katanya pelan.
Mereka melangkah masuk ke dalam rumah, dan segera disambut oleh bau debu dan buku-buku tua yang berserakan di mana-mana.
Elias duduk di kursi reyot dan menatap mereka dengan mata penuh kelelahan.
"Buku itu… bukan hanya sekadar buku," katanya. "Itu adalah kunci."
"Kunci untuk apa?" tanya Riven.
Elias menghela napas. "Kunci untuk membuka sesuatu yang seharusnya tidak pernah dibuka. Dan sekarang, kalian telah menarik perhatiannya."
Riven merasakan bulu kuduknya meremang. "Apa maksud Anda?"
Elias menatapnya dalam-dalam. "Kalian sudah melihat mereka, bukan?"
Riven dan Celine saling berpandangan, lalu perlahan mengangguk.
Elias tersenyum tipis, tapi senyum itu dipenuhi kesedihan. "Mereka adalah penjaga buku itu. Mereka tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkannya. Dan sekarang, mereka akan terus mengikuti kalian."
Celine menggigit bibirnya. "Lalu, bagaimana cara menghentikannya?"
Elias terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan suara pelan, "Satu-satunya cara untuk menghentikannya… adalah dengan mengembalikan buku itu ke asalnya."
Riven mengerutkan kening. "Dan di mana itu?"
Elias menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Di tempat di mana semua ini bermula," katanya. "Di dalam perpustakaan terlarang yang sudah terkunci selama berabad-abad."
Riven merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.
Mereka tidak hanya menghadapi sesuatu yang mengancam nyawa mereka…
Mereka harus membuka pintu yang tidak seharusnya dibuka.
Dan di balik pintu itu, mungkin ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang bisa mereka bayangkan.