Share

06 - Mimpi Bastian

⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK.

**

Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih.

Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapanmembawa wanita berparas peri itu terbang mendekat. Lebih dekat. Sangat dekat.

Sang pria memberanikan diri menatap wajah wanita peri itu—anjrit, wajah Kendall Jenner tampak menatap balik dengan mata tajam setajam belati! Wanita cantik itu menggigit bibir bawah sambil tersenyum manja, memamerkan tulang pipinya yang bagai dipahat seniman Roma.

Jemari lentik peri Kendall Jenner membelai rahang pria yang sedikit ternganga, memainkan telunjuk menelusuri cambang, dagu, dan berakhir di bibir. Sang pria merengkuh dengan pasrah, telapak tangannya menyentuh belakang pinggang sang supermodelmenyebabkan bulu-bulu yang membalut tubuhnya berguguran menjadi luapan cahaya.

Si pria bisa merasakan letupan excitement itu, perlahan, naik. Bagaimana darah di dalam tubuhnya tertarik di satu titik panas, bagaimana peri berbodi supermodel itu menggiring badannya di atas si pria yang sudah pasrah, dan bagaimana kehangatan dan lekukan tubuh yang menggelanyutinya terasa super nyata.

Wajah cantik itu tak putus menatapnya, dan dalam satu kedipan mata, beberapa fitur wajah Kendall Jenner mulai berubah sedikit demi sedikit—bola matanya yang berwarna hazel menggelap menjadi cokelat tua, tone kulitnya yang awalnya berwarna light-tan perlahan berubah menjadi kuning langsat khas Indonesia. Kendall Jenner di hadapannya berubah, menjadi Eva Sania.

Sang pria terkesima, membiarkan wanita itu maju mencondongkan wajah dengan mulut sedikit terbuka, membuat si pria terpejam, menyambut, mengerang ....

BIP ... BIP ... BIP ....

Bastian terlunjak bangun akibat bunyi alarm dari ponsel di meja sisi ranjangnya.

Buliran keringat merembes di kening dan pelipisnya. Ia bisa merasakan punggungnya basah. Dan di tempat lain juga. Sial.

**

Sabtu pagi. Kantor Pandora seharusnya libur, tapi Nisa rela berhujan cahaya mentari pagi-menjelang-siang di atas ojol demi mengasuh bayi besar yang menggajinya setiap bulan. Masbos-nya.

"Kiri sini, Pak!" komando wanita muda itu ketika sampai di depan halaman familiar di antara jejeran hunian perumahan elit.

Setelah menyerahkan helm berwarna hijau, Nisa membuka pintu pagar yang tidak dikunci.

‘Hm, aneh. Apa Mas Tian sudah bangun?’ Benak wanita muda itu berpacu ketika pintu masuk ruang tamu juga tidak dikunci, membuat rantaian kunci cadangan di genggamannya hilang fungsi. 

Nisa masuk rumah itu tanpa pikir panjang.

"Nis—"

"YASSALAM!!"

Asisten muda itu hampir saja menjatuhkan smartphone-nya ketika mendadak muncul pria berbungkus handuk dengan rambut basah penuh tetesan air. Bastian Cokro.

"Mas Tian!? Bikin kaget sumpah!" Nisa berusaha mengatur napas dan matanya dari godaan abs Tian yang terkutuk.

"Eh, sori. Ini saya habis mandi." Bastian menjawab cuek sambil membenahi letak handuknya.

"Iya, tau. Tumben Mas, mandi pagi-pagi. Biasanya—"

"Ya udah, saya siap-siap dulu," potong Bastian sebelum asistennya itu genap memberikan komentar. 

"Yeu, mangga ...." Nisa beringsut mundur memberi jalan, menelan kalimatnya yang sempat terpotong seraya mengarahkan pandangan ke mana saja asal bukan Tian. Detik berikutnya, pria itu hilang di balik pintu kamar.

Nisa menghela napas.

‘Pagi-pagi, iman sudah digoda. Untung gue asisten profesional yang sadar kasta.’

**

Siang menjelang ketika Tian dan Nisa duduk di kursi panas ruang rapat kantor utama stasiun TV swasta ternama nasional, Channel 5.

Ini bukan kali pertama mereka melakukan meeting dengan orang-orang direksi stasiun TV ini. Yang membedakan dari pertemuan sebelum-sebelumnya adalah, meeting itu selalu terjadi di luar lingkungan kantor. Pertemuan Informal. Obrolan ringan di atas kopi dengan orang-orang penting mengenai project kerjasama antara Channel 5 dan Pandora. 

Seiring perkembangannya, mau tak mau Tian harus melangkah lebih jauh ke dalam teritori asing partner bisnisnya. Hari ini langkah itu menjelma menjadi sebuah aksi harfiah, dimana Tian harus menginjakkan kaki di lantai 8 gedung ini.

‘Nggak masalah.’ Bastian Cokro mengatur napasnya,

‘Ini murni keperluan bisnis. Bisnis. Work comes first. Nggak ada hal abnormal yang akan terjadi hari ini. Semua akan berjalan lancar.’ Pria itu menanamkan sugesti positif sambil tersenyum yakin.

"Kita bisa mulai sebentar lagi ya, Mas Tian. Ini tinggal menunggu divisi Broadcast saja." Pak Bramono, anggota direksi Channel 5 membuka bicara. 

Pria bertubuh subur dengan kumis tebal itu berjasa menjadi jembatan sekaligus pemantik lampu hijau kerjasama antara perusahaan Tian dan Channel 5. Tian mengangguk sebagai jawaban.

Tidak sampai lima menit berselang, semesta sepertinya sedang menghukum (atau memberi anugerah?) pada Tian atas mimpi nistanya semalam. 

Dimulai dengan hentakan bunyi heels dari wedges setebal tujuh senti dengan coverage area yang nyaman memeluk seluruh telapak kaki, sesosok wanita yang seakan ditarik wujudnya dari alam bawah sadar Tian, muncul.

"Loh, Eva? Tumben."

Deg!

Nama itu, sosok itu, membuat Tian diam tak berkutik, mencoba mencerna realitanya dengan mengatur napas dan debaran jantung yang bisa ia dengar sendiri.

"Siang, Pak Bram. Iya, saya disuruh mewakili Pak Adi."

Suara itu lebih jernih dan empuk dari yang biasa ia dengar di televisi, namun tak salah lagi—soprano hangat itu adalah suara Eva Sania.

Gerak gerik wanita itu seakan menggerakkan atmosfer di ruangan rapat, membuat Tian mengamati dengan diam saat Eva duduk di sebelah asistennya. Satu kursi darinya.

CEO dan Asisten yang bekerja sekantor dan seatap selama setengah tahun lebih--Tian dan Nisa--kompak saling tatap antar satu sama lain, seakan sama-sama menyadari kehadiran Eva Sania di ruangan itu.

"Mas, itu ...." Nisa berbisik dengan suara rendah, cukup terdengar di telinga Bastian saja.

"Ya. Saya tau. Diam kamu, jangan norak." Bastian mendesis dengan tegas.

"Mau saya mintain tanda tangannya?" Nisa mencondongkan badan ke arah Masbos-nya, berinisiatif membantu atasannya itu yang tampak mulai salah tingkah.

"Nisa, sudah saya bilang—jangan norak!" Tian bersikeras.

"Tapi Mas ‘kan ngefans?"

"Sok tau kamu!"

"Oh, saya tau, Mas. Kita kan butuh itu ...."

"Itu apa?" Tian menaikkan alis.

Detik berikutnya, Tian memperhatikan Nisa yang mengeja sesuatu dengan bibirnya—apa itu? Pe'ak? Peka? Hah—beha?!

Melihat bosnya yang memicingkan mata dengan alis berkerut tanda tak mengerti, Nisa semakin mencondongkan tubuhnya ke arah Tian, berbisik agak keras.

"Ini pak, kita butuh BA ...!"

Aksi Nisa itu menangkap perhatian Pak Bramono yang duduk di sebelah Tianyang otomatis memandang Nisa dan tersenyum, paham.

‘Ooh, Brand Ambassador toh ....’Benak tian akhirnya menyimpulkan.

‘Eh tunggu, apa?!’

"Kebetulan karena kamu belum kenal, ini saya kenalkan. Yang disebelah kamu itu namanya Nisa, asistennya bapak ini ...." 

Tiba-tiba terdengar suara Pak Bramono menyela.

Keringat dingin menjalar di punggung Bastian Cokro yang mendadak kaku, dapat ia rasakan bisik-bisiknya dengan Nisa terputus, seiring wanita itu juga mengalami demam panggung instan ketika namanya di-mention oleh Pak Bram.

"... eh, kok bapak. Mas ya, Mas Tian. Nah Mas Tian dan Nisa ini adalah perwakilan dari brand Pandora, itu loh, yang produknya sudah ada di aplikasi e-commerce hijau-hijau, yang bisa bayar pake uang digital juga. Ya mas, ya? Revolusioner sekali, semuanya jadi praktis." 

Pak Bram mengangguk ke arah Tian dengan pasti, yang ditanggapi dengan senyum gugup oleh sang empunya brand tersebut.

"Kebetulan nih, Eva, Pandora ini akan soft-launching dekat-dekat ini. Barangkali kamu tertarik untuk menjembatani dua perusahaan ini, rela dikawinkan untuk jadi BA-nya gitu, misalnya. HAHAHA." Ah, rupanya Pak Bram menangkap dengar rencana Nisa dan Tian yang membahas masalah Brand Ambassador itu.

Sementara itu, gelegar tawa Pak Bram menutup basa-basinya yang tak efektif melihat respon Eva Sania adalah pandangan kosong ke arah sosok Bastian Cokro.

Tertangkap basah diperhatikan oleh wanita yang semalam membasahi mimpinya itu, Tian langsung gelagapan tak berkutik.

‘Gawat. Do something, Bastian!’ pikir lelaki itu, panik.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status