Ponsel di tangan Eva menampilkan jendela pesan W******p, dengan nama kotak ‘Nathan’.
[huy va, gw baru sampe jkt nih. wanna hang?]
Pesan itu terbaca dalam satu detik sapuan mata. Eva buru-buru menarikan jemari lentiknya di atas tuts keypad, mengetik balasan:
[Hai. Hari ini gue lagi di bogor nih, nemenin ponakan.]
Tak berapa lama, ponsel itu kembali bergetar. Nathan membalas.
[yah… temenin gw nya kapan dong? :(...] Nathan merajuk dalam chat itu.
[HAHAHA. Ya udah liat ntar malem yak, gue bisa free apa kaga.]
[ok!]
Eva tersenyum membaca persetujuan mereka. Tak ada janji, namun sepertiny
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++ HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Eva mematut diri didepan kaca, memperhatikan pantulan bayangan seorang wanita yang menatapnya balik, sedang mengeringkan wajah dengan handuk kecil. Sambil bersenandung, Eva berencana menghidupkan wajah dengan riasan tipis, tanpa menggunakan bedak atau foundation, dan memusatkan perhatian di wajahnya dengan sapuan liptint yang membuat bibir perempuan itu merona natural. Menyisir alis dengan kuas spoolie kecil, dan menyugar rambut dengan jari setelah menyemprotkan dry sham
Hal terpenting yang harus dilakukan setelah bermantap-mantap adalah membersihkan organ reproduksi. Dan jika kamu adalah wanita, hal ini merupakan satu langkah mudah (yang jadi agak susah ketika kamu baru saja melakukan injeksi, vibrasi, dan ejakulasi beberapa detik sebelumnya), yaitu pipis. Mekanisme mengalirnya urin membantu membersihkan uretra dari bakteri, mencegah infeksi saluran kemih, dan bahkan penyakit menular seksual. Jadi, itulah yang berusaha Eva lakukan selama dua menit terakhir. Pipis. Eva duduk di atas kloset sambil memejamkan mata, memerintahkan organ intimnya untuk segera bekerja sama dengan kantung kemih dan segera pipis. ‘Ayo, pipis pipis pipis, keluarkah!’ Tok-tok-tok ... Suara di dal
Makan siang di kantor pusat CV Kurnia Pandora, perusahaan f&b besutan Bastian Cokro itu, riuh-rendah akan hiruk pikuk karyawannya. Sebagian besar dari pekerja di gedung itu terbiasa mengisi perut di satu kantin terbuka, tepat di area rooftop kantor Pandora.Nisa melangkahkan kaki yang dibalut sepatu berhak 3 senti dengan langkah setengah dihentakkan, melewati area kafetaria itu. Nisa mempunyai tujuan lain: kantor Bastian.Siang ini, perempuan muda itu kesal, sebab saat awal istirahat makan siang tadi, perjalanannya ke toilet perempuan menyebabkan dia tidak sengaja ‘menguping’ celoteh ghibah Kirana divisi HRD yang terkenal sebagai ratu gosip itu.“Seriusan, Fir! Pak Tian itu kabarnya beneran mandul. Coba deh, perhatiin, biasanya eksekutif-eksekutif muda macem dia itu gonta-ganti cewek, loh
[‘Selamat siang, selamat datang di Flash Headline bersama saya Reno Sebastian, akan menemani siang anda selama 30 menit kedepan dengan kabar berita terkini ....’] Suara bariton khas Reno memancar solo dari layar flat TV di ruang tengah apartemen Eva Sania. Sang empunya unit memandangi gambar bergerak itu tanpa semangat, membiarkan co-anchor-nya itu menguasai acara siang mereka sendirian. Kegiatan Eva sepanjang pagi adalah memeluk seember kecil es krim rasa nutella yang ia sendoki tak habis-habis dari tadi. Rambut perempuan itu acak-acakan, matanya berkantung dan lelah—tidak, bukan bengkak atau sembab akibat menangis. Cih, najis banget menangisi lelaki bangsat itu! Mengingatnya, membuat Eva menyendok kasar es krim dengan penuh dendam, untuk kemudian melahapnya tanpa ampun, tak mengindahkan gigi sensitifnya y
Siang itu jalanan Jakarta panas dan padat seperti biasa. Ajaibnya, Eva dan Dewi sampai di tempat tujuan dengan selamat tanpa terjebak macet yang berarti. "Di sini titiknya ya, Bu. Gedong studio chenel lima." Abang Driver berkata di balik roda kemudi, yang dijawab dengan sahutan kata 'Iya' hampir bersamaan oleh Eva dan Dewi. Eva agak gondok sih sebenernya dipanggil 'Bu', tapi dia coba menahan emosinya. Mereka baru saja hendak turun saat terdengar si Driver berdeham. "Ekhem, mohon maaf, Bu, tapi ini bayarnya pakai cash, ya?" Tangan Eva urung menarik pintu terbuka. "Pakai cash, Wi?" Pertanyaan itu dijawab dengan gerak-gerik Dewi yang mengaduk tasnya, mencari dompet.
Eva Sania mengikuti lelaki tinggi berbodi proporsional itu—Bastian—dengan perasaan berkecamuk.Pasalnya, dia tidak ingin berada di sini, hari ini. Eva ingin rebahan di atas sofanya yang empuk, berdingin-dingin ria di bawah AC apartemennya yang sejuk, dan menonton series televisi favoritnya meskipun ia sedikit tak berselera. Ah, atau sekalian tidur saja! Kepalanya terasa mau pecah.Setidaknya, kegiatan indoor di dalam huniannya akan terasa lebih tenang ketimbang rapat-rapat-tidak-jelas perintah Pak Adi, bosnya siang ini.Tapi demi move on dan pengalihan pikiran dari si bajigur Nathan, Eva merelakan kakinya mengikuti langkah Tian. Dewi dan Reno berpisah dari mereka, berjalan menuju kantor."Nah, akhirnya sampai juga kamu, Eva." Pak Adi menyapa perempuan itu.&nb
“Sabar ya, Mas, kita ditolak lagi ….” Suara Nisa membuat Tian menggeram seketika.Mereka baru sampai kembali ke kantor Pandora, dan Tian baru saja memarkirkan Ranger Rover-nya. Lobi kantor memantulkan langkah kaki mereka.“Nggak ditolak, Nis. Belum.” Tian menggumam.“Tapi kan tadi Mbak Eva bilang dia nggak minat jadi BA kita?” pungkas Nisa.“Dia juga bilang bakal mikir-mikir lagi,” balas Tian.“Oh iya, ya?” Nisa kumat tulalitnya.Tian hanya bisa berdecak dan berjalan lurus memasuki ruangan pribadinya. Pintu dengan nama akrilik ‘CEO’ itu menutup tepat di depan wajah Nisa.
Eva berguling di atas kasurnya, gamang.Pagi itu ia terbangun dengan pertanyaan yang masih menggantung dari semalam. Tepatnya, sejak Ika mengatakan sebuah fakta sebelum berpamit pulang ke rumahnya.“Lu beneran nggak tau Bastian Cokro itu siapa, Va?” ucap Ika.Eva, tentu saja, menggeleng.“Astaga … dia itu anak sulung keluarga Cokro! Lu tau nggak, keluarga Cokro itu siapa?!”Lagi, Eva menggeleng.“Dan lu bilang lu jurnalis bisnis. Hah!” Ika tertawa meremehkan.“Tunggu, tunggu, kok profesi gue kena, sih? Emangnya apa hubungannya, coba? Mereka siapa, sih??” Eva mulai tak terima.