Seperti seorang bocah yang semua keinginannya harus dipenuhi, Tiana sungguh mengajak Aldrich ke rumah Mami dan Papinya. Bisa tidak bisa ia ingin mengadukan suaminya itu pada Papinya, biar dimarahi dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Tiana pun langsung berjalan masuk ke dalam rumah begitu sampai. "Mami...!" pekiknya keras-keras berjalan masuk ke dalam. "Mam... Mami!" "Heh! Teriak-teriak aja!" sahut Tino dengan nada tinggi. "Mami mana? Papi mana?" tanya Tiana menatap Tino yang duduk di sofa ruang keluarga sembari bermain game di televisi. "Cari Tiana! Ya ampun, kebiasaan sekali sih! Punya kaki, mata juga sudah disambung dengan kaca mata, cari!" pekik kembarannya itu masih fokus pada game yang dia mainkan. Saat itu juga Tiana meraih bantalan sofa dan melemparkannya ke arah Tino seketika."Tidak usah marah juga! Tiana itu juga punya perasaan tahu!" pekik Tiana merengek. Keributan itu membuat Aldrich menghela napasnya panjang-panjang. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu mena
"Kau kemarin-kemarin memarahi Tiana, ya?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Tino pada Aldrich saat ada Sebastian, juga ada Tiano pula di ruangan yang mereka tempati saat ini. Aldrich mengangguk, Sebastian langsung menutup berkas di tangannya dan menatap lekat pada menantunya. "Perkara apa, Al?" tanya Sebastian. "Panjang ceritanya, Pi." Aldrich memasang wajah menyesal. "Emmm, kau membentak Tiana?" tanya Tino sekali lagi, dia menggaruk pelan pipinya dan mengela napas. "Aku tidak bermaksud ikut campur, hanya saja tadi adikku mengadu, katanya kau membentak dia..." Aldrich mengangguk lagi, dan Sebastian belum meresponnya. "Ya, aku kesal padanya karena dia pergi tanpa pamit. Ternyata dia menghubungiku dan aku sibuk sejak pagi tidak membuka ponsel. Aku tidak sengaja bertemu dengan Tiana di rumah makan, dia bersama Renhard. Sejak dulu... Aku tidak suka dengan laki-laki itu." Penjelasan dari Aldrich didengar oleh semua saudara-saudara Tiana, begitupula Papinya yang menganggukkan kepalany
Beberapa Bulan Kemudian..."Aldrich mau ke mana? Bisa tidak di rumah saja temani Tiana, malam ini saja boleh 'kan?" Tiana memasang wajah sedih, gadis itu memegangi kemeja bagian belakang yang suaminya pakai. Aldrich menoleh ke belakang menatap sang istri. Ia tersenyum manis pada istrinya yang begitu manis malam ini."Iya Sayang, aku tidak akan ke mana-mana. Lagian aku pergi juga cuma dua hari kemarin ini. Tiana juga di rumah Papi," jawab Aldrich seraya meletakkan tuxedo hitamnya di atas sandaran sofa. Tiana tersenyum manis, gadis itu langsung duduk di sofa begitu suaminya menepuk tempat di sampingnya. "Duduk di sini, Sayang..." "Heem," jawab Tiana bergumam. Gadis itu langsung duduk di samping Aldrich. Laki-laki itu tersenyum manis mengulurkan tangannya mengusap perut Tiana yang sudah terlihat besar. "Apa dia nakal seharian ini?" tanya Aldrich menatap sang istri. "Emm, tidak kok..." Tiana menatap permukaan perutnya yang diusap oleh Aldrich. Mereka berdua tersenyum membayangkan
"Mulai hari ini aku tidak ke kantor lagi, semua urusan kantor aku serahkan pada Samuel dan Virgo! Aku menemani istriku di rumah, dia sedang hamil besar." Aldrich nampak berbicara dengan seseorang di telepon, laki-laki itu duduk di kursi kerjanya, sementara Tiana diam memandangnya saja.Panggilan mereka tertutup, barulah Tiana menghela napas. "Aldrich memangnya mau libur berapa hari?" tanya Tiana menatap suaminya. "Emmm, tentu saja sampai anak kita lahir. Memangnya kenapa?" "Tidak papa. Kalau begini kan enak, Tiana ada teman!" jawab wanita itu tersenyum tipis. Aldrich terkekeh melihatnya, dia paling gemas dengan ekspresi manis Tiana. Melihatnya duduk di sofa di dalam ruangan kerjanya tiap pagi, lengkap dengan dress cantiknya, Aldrich merasa dia akan lebih bersemangat bekerja di rumah, karena ada yang menemaninya. "Sayang..." "Em?" Tiana menoleh cepat. "Sudah mendengar kabar, belum?" tanya Aldrich pada istrinya. "Kabar apa?" Tiana mengerjap polos. Barulah Aldrich beranjak dar
Sejak sepuluh menit yang lalu, Shela dan Sebastian datang. Mereka berdua dengan wajah paniknya dan Shela yang tidak bisa tenang sedikitpun, dia tetap menangis memeluk Sebastian. Aldrich pun juga dirangkul oleh Sebastian, karena dia tahu Aldrich pun pasti cemas tak terkira. "Tiana, bagaimana dia, Sayang?" tanya Tiana memejamkan kedua matanya dan kembali menangis. "Tidak papa Shela, aku yakin Tiana baik-baik saja. Tenanglah, kalian berdua tenang... Dokter Marisa tidak pernah gagal! Adam juga selalu memberikan yang terbaik!" jawab Sebastian merengkuh Shela dengan sangat erat. Tak lama setelah itu, pintu kaca buram di depan mereka terbuka, nampak Dokter Marisa yang muncul menatap Sebastian dan Shela, juga Aldrich yang bersama mereka. "Dokter, bagaimana keadaan Tiana?" Aldrich lebih dulu mendekat. "Kondisinya menurun drastis, mungkin karena faktor kelelahan juga bisa. Tapi kami harus mengambil tindakan yang cepat, karena Tiana tidak sadarkan diri sejak beberapa menit yang lalu," jela
Sampai beberapa jam lamanya Aldrich menunggu istrinya bangun. Ia menemani Tiana di dalam sebuah ruangan bersama dengan Dokter Adam. Aldrich duduk mengusap punggung tangan Tiana. Sejak malam hingga pagi menjelang siang, Tiana tidak kunjung bangun. "Apa masih lama, Om?" tanya Aldrich tanpa menatap Adam. "Tidak Al, kita harus lebih bersabar lagi. Tiana kehabisan tenaga, tubuhnya sakit, dia juga pasti memikirkan bayinya." Adam memperhatikan Aldrich yang sangat-sangat sedih. Pemuda itu mengecup punggung tangan istrinya dengan penuh harapan. "Cepat bangun, Sayang... Kasihan Arabelle menunggumu. Kau bilang padaku katanya kau ingin menggendong Arabelle saat anak kita lahir, kau ingin menjadi orang pertama yang menggendongnya. Ayo bangun, Sayangku..." Aldrich berucap lirih tanpa suara. Adam yang melihat Aldrich saat ini, dia merasa sangat kasihan dan juga merasa kagum dengan kesetiaan yang Aldrich miliki.Laki-laki itu melangkah keluar, dia membiarkan Aldrich lebih leluasa berbincang den
"Ya ampun Mam, kecil sekali anak ini... Nangisnya tapi keras kayak Mamanya! Dasar...!" Celetuk itu terucap dari bibir Tino saat ia menatap bayi mungil milik Tiana yang kini berada di rumahnya. Mendengar apa yang Tino ucapkan, Shela langsung terkekeh. Wanita itu duduk memangku bayi perempuan mungil yang tengah menggeliat. "Mami berharap Tiana cepat dibawa pulang, dia pasti rindu dengan Arabelle," ujar Shela. "Biar besar di sini Mam, biar aku ada rival," ujar Tino. "Memangnya kau tidak butuh menikah?" tanya Sebastian menyahuti. "Atau kau ingin adik, jangan-jangan!" "Ingin sih ingin, tapi kalian jangan sampai memberikan aku adik! Ingat Pi... Sudah tua, sampai Papi kasih adik buat kembar, bakal aku bawa pergi tuh bocil!" seru Tino dengan nada merajuk. Shela dan Sebastian tertawa, Sebastian langsung mengusak pucuk kepala Tino dengan gemas dan kesal. Sejak dulu hanya Tino yang paling tak setuju bila orang tuanya memberikan dia seorang adik, pasti dia menolak keras dan marah-marah pa
Beberapa hari berlalu cepat, Tiana masih tinggal di kediaman orang tuanya. Ia tidak bisa merawat Arabelle tanpa bantuan Shela. Selalunya ada Shela yang menemaninya dan membimbing Tiana memberikan ajaran untuk melakukan ini dan itu."Mam, apa aku dulu persis dengan Arabelle?" tanya Tiana seraya menggendong bayi mungilnya. Shela menundukkan kepalanya dan tersenyum menatap bayi yang tengah tertidur itu. "Sedikit. Menurut Mami, Arabelle malah mirip dengan Aldrich," jawab Shela. "Hemm? Malah mirip dengan Aldrich?" Tiana terkekeh mendongakkan kepalanya. "Iya Sayang. Lihat saja... Pipinya memang gembil seperti punya Tiana, tapi hidung, mata, bibir, ini seperti punya Aldrich." "Kan memang anakku, Mam!" Suara Aldrich membuat Tiana dan Shela menoleh. Nampak Aldrich baru saja pulang dari kantor sore ini. Laki-laki itu berjalan mendekati istri dan Mama mertuanya. Aldrich menatap bayi mungil dalam pelukan Tiana. "Lucu ya, dia baru saja menangis... Untungnya ada Mami," ujar Tiana. "Belaja