Share

Badai Pun Belum Berlalu
Badai Pun Belum Berlalu
Penulis: alfinadamayantii1122

Tetes air mata

Dalam kata yang terdengar samar kini mulai terdengar lebih jelas, mereka yang kupanggil bapak dan ibuk seakan sedikit bernada tinggi dalam berkata, aku takut, berdiri mengintip dan mencoba mencerna kata yang belum kupahami, sangat sulit dimengerti di usia ku yang masih sangat dini memahami perkataan yang jauh dari kata mengerti.

"Ojo budal"(jangan pergi) kata bapakku sambil tetap memegang tangan ibuk.

Ibuk melengos dan tak berkata, sejenak kaki ini ingin melangkah, bertanya tapi aku terlalu takut untuk itu.

Suasana seakan mencekam, tetesan air mata ibuk masih berlinang, membasahi pipinya, menunduk dengan penuh kesedihan.

Adikku mendekatiku, mencoba bertanya perihal yang terjadi, otakku bekerja sekeras mungkin bagaimana aku bisa menjelaskan, aku yang tak paham dengan situasi ini hanya mampu memberi isyarat untuk tetap diam, dia yang lebih polos dariku akhirnya menyerah tanpa bertanya lagi.

Aku masih menatap bapak dan ibukku, mereka tetap tidak berbicara dan mereka tetap saling berdiam.

Ibuk membalikkan badan, lalu berkata "Yo opo mane pak, urep mek ngene-ngene ae, kesel aku" (tapi mau bagaimana lagi pak, hidup cuma begini-begini saja, capek aku) sambil menatap mata bapakku dengan tatapan memelas.

Bapakku menatapnya tak kalah iba dari tatapan ibukku, bapak seakan mengatakan banyak hal dalam tatapan nya, banyak kata yang tak bisa bapak ucapkan, sampai hanya air mata bapak yang mengalir mewakili nya.

Ibuk tak kalah sedih, seakan paham semua isi hati bapak, ibuk semakin menggenggam tangan bapak dan adik ku yang nomer tiga tertatih berjalan dengan lugunya, gadis kecil yang baru bisa berjalan berusaha mendekati dua sosok yang saling berlinang air mata, bapak bergegas menggendong nya dan meninggalkan ibuk diruang tengah, membawa adik kecilku begitu saja.

Aku menatap adikku yang nomer dua, sembari tadi dia memperhatikan ibuk yang terus menangis, panggilannya cupang, dia lebih tinggi dariku, dan dia sedikit lebih hitam dariku. Seakan paham aku memandangnya dia langsung menegurku, "cak, ibuk katene budal Nang ndi ?"(cak, ibuk mau pergi kemana) panggilan adik ke kakaknya pada jaman dulu dan melekat sampai sekarang cacak.

Disini aku tak menjawab aku langsung berdiri dan menghampiri ibuk yang sedang duduk dan menangis, aku memeluknya, aku tidak tahu kenapa yang pasti aku merasa bahwa ibuk akan pergi jauh dari ku, tanpa aba-aba adik ku pun sudah ada di sampingku, dipeluk ibuk dalam dekapannya adalah hal yang paling ku suka, walaupun aku tidak pernah paham perkataan seperti apa yang mereka bicarakan.

Layaknya anak kecil pada masanya beban itu kian hilang ketika aku bertemu dengan teman teman seusiaku, tertawa, berebut mainan dan pulang karena rasa lapar.

Aku segera bergegas untuk pulang membelah senja sore yang kian petang, maklum hari ini aku bersama temanku yang bernama Fadli bermain agak jauh dari kawasan rumah, setibanya dirumah adik kecil ke tiga ku sudah tertidur dengan pulas ya digendong bapak, dan cupang duduk menemani bapak diruang tamu, sosok ibuk kemana ? Aku tak melihatnya, langsung berlari menyusuri rumah melihat sekeliling dan memastikan keberadaan nya, bagaimana mungkin kata-kata bapak siang tadi seakan terputar sangat rapi dibenakku, kaki ini seakan gemetar dalam hati aku berkata "Nok Endi ibuk? (ibuk kemana)?" 

Kaki ini semakin bergetar hebat ketika sosok ibuk tak kunjung kutemukan, dari ruang tamu menuju dua kamar aku tak mendapatkan keberadaannya, air mata seakan ingin keluar, aku memanggilnya "ibuk, ibuk!!!" Berharap ada sahutan terdengar, tapi nyatanya tidak ada sahutan apa pun yang terdengar aku menyusuri rumahku, dapur dan kamar mandi sudah ku susuri, hati ini kian menangis, kemana ibu ? 

 Ketika aku melihat sekelebat bayangan dan aku mengenali sosok itu, ya itu ibuku. Aku segera lari dan menghampiri nya, bertanya padanya "tekan ndi buk ? Tak golek i, tak celuk i gak semaur. (dari mana buk ? Aku cari-cari aku panggil-panggil tidak ada jawaban) ibuk hanya nyengir dan aku melihat ditangannya membawa panci bekas pakan ayam. Ibu segera menyuruhku untuk pergi mandi karena hari sudah semakin petang.

Aku segera mandi dan mengganti pakaian ku, bersiap-siap untuk pergi ke masjid untuk sholat magrib berjamaah, karena mushollahnya agak jauh dari rumahku, aku harus pergi lebih awal sebelum adzan berkumandang agar bisa menunaikan sholat berjamaah, aku pergi bersama adikku cupang bersalaman pada ibuk yang masih terdiam tanpa kata, dan bapak yang menatap jalan dari ruang tamu tanpa ada kata yang terucap tak seperti biasanya.

Anak kecil sepertiku memang tak mengerti apa-apa, tapi dari sorot mata bapak aku mengerti banyak beban yang ditanggung nya, apalagi ibuk sering terlihat menangis tanpa sebab. Meninggal rumah bukan berarti ingatan ini menjadi lupa, wajah tua bapak dan wajah sedih ibu seakan melekat dalam ingatan, ingatan itu sembari menghilang karena kagetan teman sebayaku ya dia Fadli sosok teman yang sangat baik, hidupnya selalu dengan tawa tak layak dia jago hal banyolan. Aku cupang dan fadli segera bergegas  menuju musholla sembari membelah senja tak luput dari candaan lucunya.

Shaf pertama adalah incaran kami, sesampainya di musholla kita bergegas berebut dengan teman sebaya kita, mengaji dan menunaikan ibadah sebagai umat Islam adalah hal yang selalu kita lakukan bersama-sama, sepulangnya dari musholla kita berencana untuk tidur dimusholla kecuali cupang, dia anak yang tidak pernah ikut bersamaku dan teman-teman lainnya, dia selalu tidur dirumah menjadi teman ibuk ku tidur, tapi memang dia yang selalu dicari oleh ibuk, kadang aku berfikir seperti inikah menjadi Kakak ? Setelah kita sepakat untuk bermalam di mushollah aku segera pulang untuk mengantarkan cupang dan berpamitan dengan ibuk, waktu aku datang bapak sudah tidak ada dirumah dia harus bekerja menjaga ayam milik orang lain untuk menambah penghasilan, setiap melihat mata sayu ibuk aku selalu ingin bertanya perihal kesedihan apa yang sedang mengganggu senyum cantiknya, tapi aku yang masih kecil ini belum punya keberanian dalam hal itu, mulut ini tak seakan tertutup rapat tak bergeming, mata inipun tak mampu menatap lebih lama dari biasanya.

"Buk aku te turu langgar ambek arek-arek" (Buk aku ingin bermalam di musholla bersama teman-teman) berpamitan dan mencium tangannya, tak ada kata yang terucap hanya anggukan tanda memperbolehkan, lain dengan cupang dia selalu menjadi sosok yang ditanyakan saat kehadirannya tidak ada. Aku ?? Hanya seorang kakak yang harus menjaga adiknya, pengganti bapak disaat ada. Pundak ku masih terlalu kecil, hatiku belum seluas samudera untuk lapang kata terima, bahkan samudera rasa iri yang luasnya tiada Tara, aku berjalan keluar rumah dengan segala rasa yang kurasakan, banyak kata yang ingin kutanyakan, ya inilah aku kakak yang jauh dari kata sempurna, bagaimana bisa aku menjadi kakak yang baik ? Dalam benak ku hanya rasa iri karena kasih sayang ibukku jauh lebih besar kepada adikku, aku sayang ibu, tapi aku hanya Kakak yang harus menjadi pengganti ayah, menjadi kakak yang hebat, menjadi kakak yang siap untuk selalu berkata aku ada untuk kalian adikku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status