Mag-log inLampu-lampu neon sebuah club malam bernama Estrella berpendar liar, memantul di meja-meja kaca dan botol-bottol minuman yang berjajar rapi.
Lantunan musik berdentum keras, membuat siapa pun tak akan pernah tahu bahwa malam itu, bukan hanya tawa yang biasa, tapi sebuah peristiwa yang berakhir dengan darah akan terjadi. Di sudut ruang VIP, Migul Cortez tampak sedang duduk santai, mengenakan setelan premium dan ditemani dua wanita muda cantik menggoda di sebelahnya. Di atas meja beberapa botol brand mahal berjejer rapi, segelas whiskey di tangan, dan senyum kepalsuan menghias wajahnya. Jam sudah 21. 01 WIB. Calvin masuk ke dalam club malam dengan langkah mantap. Matanya dingin, tatapannya membelah kerumunan. Dia menuju ke tempat Miguel berada. "Calvin! Duduklah," kita berpesta dulu malam ini," sapa Miguel ramah, seperti biasanya, seolah tak ada masalah apa pun antara mereka berdua. Calvin menatapnya sesaat. Miguel kembali membalas dengan ramah. "Ayo, Calvin, kita akan bicara soal_" Tak ada waktu basa-basi atau sekedar menyelesaikan kalimat. Calvin meraih SINGLE MALT berharga ribuan dolar dari meja, dan dalam satu gerakan cepat. BRAK!! Botol itu pecah menghantam kepala Miguel. Darah bercampur cairan alkohol mengucur, membuat Miguel terhuyung. Ia bahkan belum sempat berdiri ketika Calvin, dengan tatapan mata seperti singa yang memburu mangsanya, menggenggam leher baju Miguel, menariknya mendekat. "Aku bukan datang untuk minum dan tertawa. Tapi aku kesini untuk mengirimmu ke neraka," Suaranya serak namun penuh dendam dan kemarahan. Tanpa rasa ragu. Ia mengangkat pecahan botol yang masih dalam genggamannya, lalu gerigi tajamnya menusuk. CRESSS!! Menembus dalam ke dada Miguel. SATU KALI--DUA KALI sampai TIGA KALI, darah kental membanjiri sofa kulit dan lantai marmar ruang VIP room itu. jeritan samar terdengar. Namun dentuman keras suara musik menelan semuanya. Miguel terkulai, matanya terbelalak, seolah terkejut menyaksikan kengerian yang di alaminya sendiri malam itu. Nafasnya tersengal-sengal sebelum akhirnya berhenti selamanya. Bau alkohol bercampur amis darah memenuhi udara. Calvin berdiri, dadanya naik turun, memandang tubuh tak bernyawa itu tanpa sedikitpun rasa penyesalan. Di sekelilingnya, beberapa orang mulai menyadari apa yang terjadi. Ada yang menjerit, ada yang mundur dengan wajah pucat. Bagi Calvin, malam itu bukan hanya pembalasan dendam. Malam itu adalah malam keadilan... yang harus dibayar dengan darah. Cahaya lampu strob yang berkedip-kedip di langit-langit membuat pemandangan itu terasa seperti mimpi buruk yang terpotong-potong. Darah di sofa VIP mengkilap setiap kali sinar cahaya neon mengenainya, membentuk kilauan merah yang anehnya terlihat indah--namun menebar aroma mengerikan. Calvin masih berdiri tegak, napasnya tampak tenang, namun jemarinya bergetar menggenggam pecahan botol yang kini sudah tumpul basah oleh merahnya darah. musik DJ dengan irama disco yang terus berdentum terasa seperti nada detak jantungnya sendiri, menghantam dada dari dalam. Beberapa pengunjung berteriak, sebagian terpaku, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi dalam suasana gemerlap malam itu. Apakah semua itu nyata atau hanya bagian atraksi malam yang mencekam. Seorang pelayan wanita menjatuhkan nampan koktail, kaca-kaca pecah berhamburan di lantai. Dua pengawal klub malam yang berdiri tak jauh dari pintu VIP segera bergerak cepat. Salah satunya berusaha meraih Calvin dari belakang, tapi dengan refleks seorang petarung hebat, Calvin memutar badan, menghantamkan sikunya tepat ke rahang pengawal itu hingga tersungkur dan ambruk. Pengawal kedua maju, namun Calvin langsung menendang meja ke arahnya, membuat pria itu kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke lantai. Kepala Miguel terkulai di sandaran sofa, matanya masih terbuka lebar namun kosong. Alkohol mahal terlihat menetes di rambut ikalnya, bercampur darah yang terus meresap turun mewarnai jas mewahnya. Bagi Calvin, pemandangan itu adalah jawaban dari semua luka yang pernah ia tanggung sejak kepergian Nadya. Sirene samar terdengar dari kejauhan, menandakan seseorang sudah menghubungi polisi. Calvin meletakkan pecahan botol itu di atas meja, seolah mengembalikan benda yang telah menjalankan misi terakhirnya. Tanpa terburu-buru, ia melangkah melewati kerumunan yang membuka jalan, sebagian orang melihat dengan rasa takut, dan sebagian karena terpaku pada sosok pria yang baru saja mengakhiri nyawa seseorang di depan mata mereka. Saat keluar dari pintu klub malam, udara malam dingin menyambutnya. Calvin menarik napas panjang, merasakan beban di dadanya sedikit berkurang, meski ia sadar bahwa perburuan berikutnya akan dimulai. Dengan langkah cepat, Calvin menaiki motor sportnya. Lampu-lampu neon kota berpendar di kaca helem Calvin, ketika ia menyalakan motor sport hitamnya. Raungan mesin menggema memecah malam. Di arah belakang, suara sirene polisi meraung semakin dekat. Mereka mengetahui bahwa pembunuhan brutal telah terjadi di club malam, dan Calvin adalah sang pelaku utama. Dengan kecepatan penuh, ia melesat membelah jalan raya, memotong setiap kendaraan yang menghalangi. Angin malam menampar wajahnya, tetapi pikirannya fokus hanya pada satu hal: lolos atau mati. Rasa sakit kehilangan Nadya dan darah Miguel di tangannya--membuat adrenalin mengalir lebih deras dari sebelumnya. Polisi semakin agresif, beberapa mobil mencoba memblokir jalan. Calvin memelintir gas hingga jarum spidometer menembus batas, motor meliuk tajam nyaris bersentuhan dengan aspal. Dentuman peluru mendesing, memantul di bodi motor. Jalanan mulai menurun menuju arah pelabuhan, dan di sanalah ia melihat kesempatan terakhirnya. Sebuah dermaga di ujung jalur terlihat samar, diapit laut yang berkilau di terpa cahaya bulan. Calvin menurunkan gigi, kecepatan semakin gila. Polisi menjerit lewat pengeras suara memintanya untuk menyerah. Tapi ia hanya tersenyum dari balik Helem, senyum getir yang menyimpan kemarahan dan kebebasan. Roda depan motor menginjak papan dermaga yang rapuh, suara kayu berderak keras. Lalu, tanpa rasa ragu, ia memacu motor hingga ujung dermaga--dan melompat. Dalam sepersekian detik, tubuh Calvin dan motornya melayang ke udara, seperti peluru yang melesat cepat. Angin malam menusuk, suara sirene memudar dari arah belakang. Cahaya lampu jalan berubah menjadi gelap pekat ketika Calvin dengan motornya menghantam air laut dengan hentakan keras. Ombak menelan semuanya, hanya meninggalkan riak yang cepat menghilang dalam kegelapan samudra yang membentang luas. Polisi yang tiba di dermaga hanya bisa menatap ke laut yang sunyi. Tak ada jejak Calvin. Tak ada motor. Hanya samudra yang kini menyimpan rahasia tentang ke mana sang pembalas dendam itu menghilang. LAUT ADALAH RAHASIA YANG TAK PERNAH SEPENUHNYA TERUNGKAP. MENYIMPAN BERIBU KISAH SUKA ATAUPUN DUKA. OMBAKNYA SELALU BERBISIK TENTANG JIWA-JIWA YANG HILANG. ANGINNYA MEMBAWA PESAN YANG TAK PERNAH SAMPAI KEPERMUKAAN. DI BIRUNYA SAMUDRA, ADA BERIBU JANJI YANG TELAH TERKUBUR, DAN DI SETIAP DEBUR OMBAK YANG MENGHEMPAS KARANG, TERDENGAR PANGGILAN UNTUK MEREKA KEMBALI ATAU PERGI TANPA KEMBALI. *****Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







