LOGINSejak kematian sang kekasih dan malam berdarah di club malam, hidup Calvin berubah total. Statusnya bukan lagi sebagai petarung bebas tak terkalahkan, melainkan buronan paling di cari di jajaran kepolisian. Setiap sudut jalan, setiap demaga, persimpangan, bahkan sampai kedalam lorong-lorong gelap kota, seolah melihat dan terus mengawasi setiap gerak-geriknya.
'NASI TELAH MENJADI BUBUR', adalah istilah pribahasa yang paling pantas menggambarkan kondisi kehidupan Calvin waktu itu - jejak darah yang tak bisa terhapus terus memburu seperti peluru kendali. Berbulan-bulan ia terus berlari, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidur di manapun selagi bisa, makan dari sisa-sisa yang tersisa. Hatinya menjadi dingin. Emosi dalam dada telah membentuknya menjadi sosok yang tak lagi peduli dengan hukum dan masa depan. Semua telah hanyut seperti buih di tengah lautan, pudar sejak di tinggal oleh sang kekasih untuk selamanya. Hingga akhirnya, Calvin menyadari sepenuhnya bahwa tak mungkin ia bersembunyi selamanya dari kejaran yang mengancam setiap denyut nafasnya. Menjelang tengah malam, saat udara dingin dan hujan turun membasahi bumi, Calvin menyelinap di dermaga kecil, menyuap nakhoda kapal kargo untuk membawanya menyeberang ke kota Singapura. Sampai di sana, Calvin lenyap di antara gemerlap kota yang tak mengenalnya. Singapura memberinya kesempatan baru - sebuah kesempatan dari kegelapan yang tak pernah terpikir dalam benaknya. Tempatnya adalah sebuah dunia bawah tanah yang membuka pintu sang pria petarung dan pemberani menjadi awal kehidupan baru. Dari satu pekerjaan kotor kepekerjaan yang semakin kotor dan beresiko tinggi ia jalani tanpa berfikir takut sedikitpun. Calvin resmi menjelma menjadi pembunuh bayaran. Setiap target yang jatuh ke tangannya menambah reputasinya, namun juga menenggelamkannya lebih dalam ke jurang kegelapan yang tertutup rapat dan tak memungkinkan untuk kembali. ***** Waktu terus berjalan, tiga tahun tanpa terasa sejak Calvin menjadi seorang pembunuh bayaran. Sosok Calvin telah berubah total. Namanya kini menjulang di dunia kegelapan wilayah Asia, di setiap tempat perjudian ilegal, ia selalu menjadi topik penting dalam pembicaraan yang terjadi di meja-meja rapat kalangan sindikat professional. Kehebatan sosok Calvin dalam mengeksekusi setiap target, menjadi legenda di kalangan para kriminal. Dari Singapura hingga Bangkok, dari Hongkong hingga Kuala lumpur, reputasi kepiawaiannya menggetarkan mereka yang memburunya, hal itu membuat sosok Calvin menjadi rebutan bagi bos-bos besar yang ingin meminjam tangan mautnya. Di antara semua para cliennya, satu sosok nama yang paling menonjol--CHEN YUAN--salah satu bos sindikat asal Macau yang terkenal royal, kejam, namun juga licik. Chen Yuan adalah bos mafia yang menguasai kasino bawah tanah, perdagangan gelap, dan jaringan pencucian uang lintas negara. Pria ini tahu bahwa mengandalkan Calvin berarti memastikan pekerjaannya selesai tanpa kebocoran informasi, tanpa saksi yang bisa hidup. Pertemuan awal mereka berlangsung di sebuah kapal pesiar mewah yang berlayar di perairan Hong Kong. Calvin duduk di ruangan VIP yang sunyi, hanya cahaya lampu kuning temaram memantulkan kilau permukaan meja kaca di depannya. Chen Yuan, dengan setelan rapi dan tatapan penuh perhitungan, menawarkan kontrak yang nilainya setara dengan beberapa tahun gaji seorang pejabat tinggi. Targetnya? Seseorang yang telah membocorkan rahasia keuangan sindikat kepada Interpol. Calvin hanya mengangguk singkat. Tak banyak pertanyaan, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Baginya, pekerjaan adalah professionalisme, dan uang adalah kebutuhan. Semua harus sejalan dan selesai sesuai kesepakatan walau resiko nyawa menjadi jaminan. Di balik ketenangan wajahnya, tersimpan naluri pemburu yang selalu siap menuntaskan setiap misi. Dalam waktu kurang dari 24 jam dari waktu yang ditentukan, Calvin berhasil menuntaskan misinya tanpa ada masalah yang berarti, semua berjalan sesuai kesepakatan. Sejak saat itu hubungan bisnis Chen Yuan dan Calvin mengalir seperti air sampai dua tahun berjalan. Tapi yang namanya bisnis, khususnya dunia gelap, hubungan harmonis bisa menjadi bencana yang merenggut segalanya. DAN SAAT ITU SEGERA DATANG. Langit Macau pagi itu masih diselimuti kabut tipis, seolah enggan melepaskan malam. Dari ketinggian sebuah gedung pencakar langit, Calvin berbaring di balik tripod senapan sniper-nya, jarinya siap menekan pelatuk dengan tenang. Di telinganya, suara Chen Yuan terdengar melalui ear-piece. CHEN YUAN: "Target dua orang pria yang keluar dari lobi hotel. Jangan beri kesempatan." Calvin hanya menjawab singkat dan cepat, "Mengerti." Jam arloji digitalnya menunjukkan pukul 07. 01, waktu setempat. Dari teropong bidik, Calvin melihat pintu kaca hotel mewah terbuka. Seorang pria memakai setelan abu-abu, berusia sekitar 40 tahun, melangkah keluar dengan sikap percaya diri. Calvin mengatur napas sesaat. Dalam hitungan detik, suara lesatan senyap senapan melejit--CHEEEPP!! Peluru menembus dalam jarak ratusan meter, dan si pria roboh seketika, darah mengalir di trotoar. TARGET PERTAMA SELESAI. Kemudian Calvin memutar sedikit laras senapannya. Peluru siap melesat untuk target yang kedua. Seorang bocah laki-laki berumur 10 tahun, rambut hitam tersisir rapi, mengenakan pakaian hodie hitam, masih menggenggam tangan ibunya yang berteriak histeris setelah melihat tubuh suaminya yang jatuh berdarah dan tak bergerak. Calvin terpaku sejenak di balik sorot snipernya. Bidikannya sudah menempel di kepala bocah itu, namun jarinya tak mampu bergerak. Nafasnya menjadi berat, bukan karena jarak tembak, tapi karena hati nurani yang muncul datang menyergap. Dalam bayangan matanya, ia melihat sekilas sosok Nadya - kekasih yang pernah mengisi harinya--dan saat itu dia menyadari bahwa membunuh anak yang tak berdosa adalah perbuatan pengecut. Hati nuraninya melawan. Semua ini bukan profesionalisme yang harus ia jalankan, tapi kejahatan yang mengubur sisa kemanusiaan. dari kejauhan suara Chen Yuan terdengar jelas melalui ear piece ditelinganya. CHEN YUAN: "Kenapa diam? Ayo, Calvin! selesaikan cepat!" keduanya harus mati hari ini." Calvin hanya diam tak menjawab. Ia hanya terus menatap bocah itu yang memeluk ibunya erat-erat, wajahnya sedih penuh rasa takut, namun matanya masih memancarkan kehidupan. Chen Yuan kembali berbicara keras melalui ear piece. CHEN YUAN: "Calvin! apa yang terjadi padamu, aku telah membayarmu untuk dua nyawa!" Calvin memejamkan matanya sejenak. lalu membuka kembali dan mengangkat kepalanya dari teropong. Dengan tenang melepaskan peluru dari Chamber dan menjawab pelan pada Chen Yuan. CALVIN: "Maaf, Chen Yuan, misi selesai, target ke dua selamat, aku tak bisa melakukannya. Dan kau tak pernah mengatakan bahwa ia seorang bocah." Chen Yuan menjadi sangat geram , "Kau berani melawan perintahku?" Calvin tersenyum pelan, "Aku tidak pernah melawan perintah, dan yang perlu kau tahu, aku tak pernah menerima perintah siapa pun, termasuk kau." Tanpa menunggu jawaban, Calvin melepas ear piece di telinganya dan membongkar senjatanya dengan cepat, memasukkannya ke dalam tas. Dia melangkah dengan tenang dan pasti. Ketika pintu tangga darurat menutup di belakangnya, ia menatap langit sebentar yang tampak mulai cerah. Calvin berbisik dalam hatinya. "Aku seorang pembunuh, tapi bukan pengecut." Calvin mempercepat langkah, menyadari bahwa Chen Yuan akan menjadi berbahaya, tapi semua itu hanya angin lalu bagi sosok Calvin Law. Di jalanan, suara sirene mulai meraung, tapi Calvin tetap tenang, berlalu seperti badai senyap di telan matahari pagi yang bersinar.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







