LOGINCuaca sore hari menjelang senja kala itu cukup cerah, matahari mulai condong memancarkan cahaya merah. Lampu-lampu jalanan kota mulai berkilau. Calvin duduk di sudut apartemennya., tatapannya kosong menatap layar ponsel yang sejak tiga hari tidak menampilkan satu pun pesan atau panggilan dari sang kekasih. Setiap bunyi notifikasi yang terdengar membuatnya berharap--dan setiap kali itu pula hatinya kembali runtuh saat hanya mendapati pesan biasa dari orang lain.
Ia mengingat senyum Nadya di malam terakhir mereka bertemu. Senyum yang penuh harapan, senyum ceria yang masih terlukis dalam ingatannya, senyum yang percaya bahwa mereka akan segera memulai kehidupan baru bersama. Ikrar yang terucap dari lubuk hati mereka bersama atas nama cinta yang terlahir dari perasaan tulus. Matahari terbenam sempurna, malam menjelang, Calvin masih menunggu, ia tak bisa terlelap, pikirannya melayang memikirkan Nadya sampai matahari terbit kembali dari ufuk timur. Pagi itu, berita itu datang bagai petir yang menyambar. Seorang tetangga memanggilnya sambil tergesa berkata dan menunjukkan berita daring dari layar ponsel: "MAYAT WANITA DITEMUKAN MENGAPUNG DI TENGAH LAUT OLEH NELAYAN, DIDUGA KORBAN PEMBUNUHAN." Tubuh Calvin kaku, tapi jantungnya berdetak begitu keras hingga nyaris terdengar. Ia membaca detail berita itu - lokasi, ciri-ciri tubuh, bahkan gaun yang dikenakan korban. Semua sesuai. "Tidak mungkin... tidak mungkin Nadya." gumamnya pelan. Dengan langkah gemetar, ia menuju kantor polisi. Dan di ruang forensik dingin yang dipenuhi aroma obat kimia, ia melihat tubuh itu. Tubuh wanita yang pernah ia peluk dengan penuh kasih. Kulitnya tampak pucat, bibir membiru, namun Calvin mengetahui pasti... dia adalah Nadya. Lututnya goyah, air matanya jatuh menetes pelan. Tangannya meraih jemari Nadya yang dingin, menggenggamnya seolah masih bisa memberi kehangatan. "Nadya... kenapa kau pergi tanpa menungguku?" bisiknya, suaranya terdengar pelan, lirih menahan sesuatu yang bergejolak hebat di dadanya. Di dalam benak Calvin, hanya ada satu janji yang kini mengeras menjadi tujuan dan tekad. Ia akan membalas semua. Semua rasa sakit harus di bayar lunas. Mata Calvin memerah bagaikan bara api, satu wajah tergambar di kepalanya: MIGUEL CORTEZ. "Kau akan menyusul, Miguel... dengan caraku." gumamnya pelan setengah berbisik. ***** Langit sore mulai memerah ketika Calvin duduk sendirian di tepi pusara Nadya. Angin lembut berhembus, namun hatinya terasa sesak dan panas. Tanah merah di hadapannya masih basah, aroma bunga segar bercampur dengan bau tanah yang baru di gali. Di batu nisan itu, nama Nadya terukir indah - tapi bagi Calvin, setiap huruf yang terlihat seperti sayatan tajam yang menggores dalam jiwanya. Ia menanti kabar tentang Miguel. Sang pembunuh yang menurut kabar telah berada di kota ini sejak sejam yang lalu. Miguel-lah yang merenggut nyawa Nadya dengan kejam. Sosok pria yang dulu ia anggap sebagai pahlawan dan sahabat sekaligus mentor, ternyata adalah iblis kejam yang menyamar dengan jas mahal dan senyum yang menipu. Beberapa menit Calvin hanya terdiam menatap ke arah pusara, matanya kosong namun rahangnya mengeras. Saat itu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama seseorang terpampang di layar : MIGUEL. Calvin menghela napas panjang, lalu menjawab tenang. "Hallo, Tuan Miguel." Dari sana Miguel membalas, "Calvin... aku baru tiba sejam yang lalu dari Mexico," suara Miguel terdengar santai, seolah tak ada apa-apa yang terjadi. "Kita harus bertemu malam ini, datang ketempat biasa ya... di club malam Estrella. Kita akan bahas jadwal pertarungan selanjutnya. jangan lupa, nanti malam pukul sembilan, di tempat biasa ruang VIP." Calvin membiarkan jeda hening beberapa detik sebelum menjawab, suaranya tetap tenang namun sarat dengan bara api yang di sembunyikan. "Baik. Malam ini aku pasti datang." Tak ada pembicaraan yang lain, tanpa basa-basi, seolah semua berlalu tanpa ada sedikitpun persoalan yang menjadi hambatan dari hubungan bisnis keduanya. Kemarahan yang membara di hati Calvin kala itu, ia redam sempurna, seolah telah terlupakan. Semua ia simpan rapat--seperti pisau belati tajam yang disarungkan dengan rapi menunggu saat tepat untuk menebas. Begitu panggilan ponsel selesai, Calvin menatap kearah batu nisan Nadya sekali lagi. "Nadya... waktunya telah tiba, aku bersumpah di atas pusaramu. Malam ini, aku akan menuntaskan semuanya," gumamnya lirih, suaranya bergetar oleh amarah yang dingin bagaikan api yang membeku. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia telah menentukan pilihan dan berjanji: malam ini bukan lagi pertemuan bisnis. Malam ini adalah malam berdarah, sebuah pembalasan yang harus dituntaskan... dan Miguel Cortez tidak akan pernah kembali sebelum waktu berganti. Kala waktu menjelang senja, Calvin melangkah meninggalkan Nadya yang bersemayam di tempat pembaringan terakhirnya. DENDAM ADALAH API YANG TAK PERNAH PADAM, MEMBAKAR JIWA DARI DALAM DIRI TANPA SEDIKITPUN MEMBERI CAHAYA. KEMARAHAN DAN KEBENCIAN MENDALAM ADALAH BADAI YANG MEMPORAK-PORANDAKAN AKAL, MENENGGELAMKAN PIKIRAN DAN NURANI DALAM GELOMBANG KEGELAPAN TANPA LENTERA YANG DAPAT MEMBERI CAHAYA. DENDAM DAN AMARAH. KEDUANYA SELALU BERJALAN BERGANDENGAN, MENGIKIS KEDALAM HATI SAMPAI YANG TERDALAM, HINGGA TANPA MENYISAKAN SEDIKIT RUANG UNTUK MEMBUKA CELAH MAAF. NAMUN BAGI YANG TELAH TERPERANGKAP DALAM LINGKARAN DENDAM DAN AMARAH YANG MEMBARA. API ITU TERASA MENGHANGATKAN, BADAI ITU SEOLAH ADIL DAN MEMBELAI INDAH SEPERTI ANGIN LEMBUT YANG MENYAPA KULIT. HANYA KETIKA SEMUANYA BERAKHIR, BARULAH KESADARAN MUNCUL--SEBENARNYA DENDAM ADALAH RACUN YANG MENJADI PEMBUNUH BAGI PEMILIKNYA SENDIRI.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







