“Lukamu cukup dalam Nona, jadi pantas saja darahnya terus keluar.”
Kirana menatap seorang wanita yang saat ini sedang menutupi lukanya dengan kasa. Setelah diberi obat kini lututnya diperban. “Sudah selesai, sekarang darahnya tidak akan keluar lagi,” ucap wanita itu yang belum diketahui namanya. Kirana tersenyum tipis. “Terima kasih Mbak, dan umm … maaf telah merepotkan Anda.” “Tidak usah berterima kasih, ini semua kan atas perintah Tuan Arion. Sudah menjadi tugas saya menuruti perintahnya.” Kirana tersenyum mengangguk, memang semua ini terjadi atas kebaikan Arion padanya. Padahal sebelumnya ia sudah menolak untuk disembuhkan namun karena Arion yang kala itu memaksa membuat Kirana mau tak mau menurut. Dan di sinilah ia berada, di rumah kediaman Tuan Hengkara. “Apa sekarang saya boleh pulang? Saya merasa tidak pantas menginjakkan kaki di sini. Apalagi saya bukan siapa-siapanya Tuan. Jadi tak enak,” ucap Kirana sembari celingak-celinguk. Diruangan ini memang hanya ada dirinya dan wanita itu membuat Kirana merasa aman jikalau ia pulang dalam keadaan sepi begini. “Lebih baik tunggu dulu, Nona. Takutnya Tuan mencari Anda.” Kirana terkekeh kecil. “wanita seperti saya siapa yang akan mencari, Mbak. Hanya orang-orang terpenting yang Tuan cari.” Kirana tersenyum kecut, ya, siapa pula yang akan peduli padanya? Selain karena rasa kasihan yang mengantarkannya ke sini. Orang-orang melihatnya memang seperti itu. Kasihan dan kasihan. Namun, hal itu sudah tidak aneh bagi Kirana, karena nyatanya selama ia hidup ia hanya mengandalkan belas kasihan dari orang lain. Namun sekarang sudah cukup! Ia tidak boleh hidup atas dasar bantuan orang lain! Ia harus hidup mandiri, berdiri sendiri dan berjuang sendiri! Ya, sekarang ia harus membawa perubahan pada dirinya sendiri. “Nah, itu Tuan muda!” Ucapan wanita itu sukses membuat Kirana beranjak dari duduknya, ia menoleh ke belakang yang mana ada Arion di sana. Benar, dia menuju ke sini! Kirana gugup, meremas jari-jemarinya. Penampilan Arion kali ini benar-benar berubah total. Bukan lagi pakaian satpam dengan alat-alat yang tersimpan, melainkan pakaian mewah yang terlihat bermerek wah. “Bagaimana sekarang? Sudah diobati?” tanya Arion melirik pada wanita yang tadi bersama Kirana. Pandangan matanya mengarah pada lutut Kirana yang sudah diperban. “Sudah Tuan Muda.” “Baiklah, kau boleh pergi.” Wanita itu sedikit membungkuk, setelahnya pergi sesuai perintah Tuannya. Namun berbeda dengan Kirana, mendadak jantungnya berdegup sangat cepat, menjadi patung yang tak bergerak sedikit pun . Situasi ini benar-benar membuatnya tak berkutik! Bagaimana akan tenang jika ia ditinggalkan berdua dalam satu ruangan? Jelas membuat hatinya resah. “Kau punya rumah?” Pertanyaan Arion berhasil membuat Kirana mendongak, untuk sekian kali matanya kembali bersibubruk dengan manik hitam legam itu, namun dengan cepat Kirana memalingkan wajahnya dengan gugup. “Em … saya—saya—-” “Maaf sebelumnya telah mendengar semuanya, tapi ….” “Tidak apa-apa Tuan, lagipula semuanya sudah terjadi,” ucap Kirana cepat, ia sudah menduga Arion pasti tau mengenai permasalahan dirinya dengan Aditya, toh dia berdiam diri sebagai seorang petugas satpam, tak memungkinkan jika dia tahu mengenai perceraian itu. “Terima kasih sebelumnya, ini kedua kalinya Tuan membantu saya. Tapi sekarang saya harus pergi, ada sesuatu yang harus saya urus Tuan.” Masih menunduk, Kirana berucap tanpa berani menatap wajahnya Arion. “Tidak usah mengucap terimakasih, memang sudah seharusnya manusia membantu manusia yang lain. Mengenai kau pulang … salah satu sopir kami akan mengantarmu.” “Tidak Tuan, jangan!” Kirana langsung mendongak, menggeleng untuk menerima bantuan yang ketiga kalinya. “Tidak usah, saya bisa pulang sendiri Tuan. Lagipula dekat kok.” Benar-benar menolak, Kirana tidak ingin merepotkan orang lain. “Beneran?” Arion menaikan satu alisnya, entah kenapa dimata Kirana hal itu cukup menggemaskan. Ish! Kirana menggeleng kecil, semenjak bertemu dengan pria seperti Arion hatinya mendesir tak karuan. Dia terlalu tampan untuk dirinya yang jelek. “I--iya, beneran Tuan. Saya bisa sendiri,” ucap Kirana tersenyum kecil. “Tapi ini sudah malam, tidak baik untuk perempuan keluar malam-malam sendirian.” “Tidak apa-apa, karena saya sudah biasa.” Untuk kedua kalinya ia tersenyum canggung, menolak dengan halus. Arion terdiam sejenak, namun kemudian mengangguk mengiyakan. “baiklah jika kau memang punya rumah. Saya kira setelah permasalahan itu kau diusir, jadinya saya berniat untuk menawarkan bantuan.” Kirana hanya tersenyum kecil, benar-benar! Jantungnya tidak bisa dikondisikan, makin mendesir tak karuan. Hal inilah yang membuat Kirana ingin cepat-cepat pergi. “Kalau begitu saya pamit pulang, Tuan. Permisi,” ucapnya lantas melewati Arion. “Tunggu sebentar!” Arion menghentikan langkah Kirana, pria dewasa itu berdiri tepat di hadapan Kirana. “ini untukmu, hanya untuk berjaga-jaga,” ucapnya sembari menyodorkan amplop bewarna cokelat. Kirana melotot, dengan cepat menggeleng sebagai tanda penolakan. Ia tahu isinya, pasti uang merah yang Arion sisihkan untuknya. Ya ampun … hal ini semakin membuat Kirana tak enak. Pasalnya Arion terlalu baik terhadapnya padahal baru kenal juga. “Tidak Tuan, ambil kembali saja, saya tidak membutuhkannya,” tolak Kirana. Bohong, sejujurnya ia membutuhkan uang itu tapi … ya sudahlah ia juga malu untuk menerimanya. “Kau akan membutuhkannya, ambil saja.” Arion tetap menyodorkan amplop cokelat itu, semakin membuat Kirana tak enak hati dalam menerimanya. “Kirana? Nama kamu Kirana kan?” “I--iya Tuan.” “Ya kalau gitu ambil,” ucapnya lagi. Kirana menelan salivanya pelan. Benar-benar bingung. Di sisi lain ia memang membutuhkannya namun di sisi lain pula ia merasa sungkan untuk menerimanya. Jadi? Apa ia terima saja uang dari Arion? “Ambil! Ini akan menjadi hal yang kamu butuhkan dikemudian hari.” Arion menarik lengan Kirana yang terdiam bak patung. Pria itu menyimpan amplop tersebut di telapak tangannya. Kirana tersentak, melihat amplopnya yang sudah ada ditangannya saja. “Buka dan lihatlah,” ucap Arion. Dengan ragu Kirana menatap amplop cokelat tersebut, membukanya untuk melihat isinya. Walau ragu namun tak ayal ia membukanya sebab penasaran. Pelan namun pasti, Kirana membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya. Dan tepat saat barang itu keluar mata Kirana melotot terkejut. Ini …. Ini bukan uang! Melainkan …. “Jika nanti ada berandalan atau preman, kau gunakan alat ini untuk memukulnya ya?” ucap Arion setelah Kirana menatap cengo isinya. Diluar prediksi BMKG! Yang dikira uang ternyata hanya berisi alat pelindung diri?“Kirana …,” ucap Ningsih dengan suara lirih. Tak kalah terkejutnya, Ningsih meneguk salivanya susah payah. Pun dengan Aditya yang juga sama terkejut. “Kiran …!” Ningsih langsung berlari menuju Kirana, memegang tangannya kemudian berkata, “Kiran, tolongin Adi, Kiran … tolong keluarin dia. Dia nggak bersalah. Sama sekali nggak!” kata Ningsih dengan berderai air mata. Kirana terkejut, bukan pada Aditya yang sekarang berada di penjara melainkan pada kaki Ningsih yang bisa bergerak. “Ibu tidak lumpuh?” tanya Kirana dengan raut tak percaya. Ningsih seketika terdiam, menatap kakinya yang ditatap pula Kirana. “Kiran … maafin Ibu ….” ujarnya dengan berderai air mata. “Maafin Ibu yang udah bohongin kamu. Maaf ….”Jantung Kirana berdegup sangat cepat. Jadi, selama ini … Ningsih hanya berpura-pura?“Ibu membohongiku selama ini? Bertahun lamanya? Kenapa, bu? Kenapa?!” teriak Kirana seakan benar-benar menjadi manusia terbodoh. Entah apa alasan Ningsih melakukan ini semua, namun selama menjadi
Ningsih terkejut, baru sadar bahwa ia tak memakai kursi roda sebagai alat kepura-puraannya. Selama ini baik kerabat, tetangga bahkan RT, RW sekalipun Ningsih selalu menerima bantuan berupa uang. Tak hanya itu orang-orang juga mengasihaninya sampai memberi beberapa hal seperti sembako dan kebutuhan lainnya. Walau memang tidak setiap bulan tapi Ningsih selalu diberi beberapa bansos tersebut. Dan sekarang ketika beberapa pasang mata menatap Ningsih membuat perempuan itu benar-benar gelagapan. “Bu saya--saya–”“Ooh ternyata begini kelakuan aslinya Bu Ningsih? Astaghfirullah….” Orang-orang yang ada di sana mengucap istighfar, namun ada beberapa orang pula yang langsung mengumpat tersebab marah. “ Dasar tidak tau malu! Pantas sekarang anaknya masuk penjara! Buah dari Karma emang nggak pernah jauh dari Ibunya!” kata tetangga yang memiliki mulut pedas. Hal itu jelas mengundang tatapan Ningsih. “Apa? Di penjara? Maksud kalian apa ya? Putra saya ada di rumah, mana ada masuk penjaraa!” kata
“Ini kesalahan kamu Adi! Andai saat itu kamu nggak cerai sama Kiran, mungkin semua ini nggak bakal kayak gini!” cecar Ningsih dengan marah yang terus berlanjut. Saat ini Aditya sudah pulang ke rumah dan ia malah disuguhi omelan Ningsih yang tidak ada henti-hentinya. “Bu, berhenti bawa-bawa nama Kirana! Dia udah nikah, bahagia dengan kehidupannya sekarang!” kata Aditya jengah. Ibunya itu selalu saja menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi. Padahal sudah beberapa bulan berlalu tapi Ningsih tampaknya belum menerima keadaan ini. Wajar, Kirana yang apa-apa dijadikan layaknya babu, kini tampak sepi sebab tak ada pembantu. “Dan lagipula, Kirana berhak bahagia untuk sekarang dan seterusnya … sebab jika hidup kembali bersama kita, sudah dipastikan Ibu bakal jadikan dia pembantu.” “Heh, mana tau kamu bicara gitu hah?! Ibu—” “Bu, sudahlah… yang terjadi biarlah terjadi!” Ningsih menatap tajam sang anak, hah! Anak itu mana tau susahnya Ia jika harus bekerja rumah seorang diri! Mana t
Derina duduk manis di hadapan calon mertuanya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ibunya Aditya. Namun, yang ditatap justru hanya menampilkan raut cueknya, terlihat sekali bahwa Ningsih enggan melihat Derina. “Bu, kedatangan Derina ke sini….”“Ibu udah tau!” jawab Ningsih memotong ucapan Aditya yang hendak mengeluarkan bicaranya. “Ibu tidak setuju!” ucapnya blak-blakan dengan wajah yang menatap Derina. “ibu butuh menantu yang bakal fokus ke rumah tangga, bukan ngejar karir seperti kamu!” ucapnya terang-terangan. “Ibu pengen yang seperti Kiran, nurut dan gak banyak tingkah!”Derina yang mendengarnya jelas marah, ia paling tidak suka jika harus dibanding-bandingkan. Dan secara terang-terangan orang di depannya ini membandingkan dirinya dengan Kirana. “Bu, ini tidak seperti yang ibu pikirkan. Derina seperti ini sebab—”“Tidak ada alasan apapun. Ibu tetap menolak!” Dalam diam Derina menahan gejolak amarahnya.Cih, lagipula siapa yang mau menjadi menantunya? Yang hanya dijadikan pembantu? Buka
“Sayang?” Kening Arion mengerut tatkala melihat dua orang yang sangat ia kenal. Tatapan matanya seketika langsung menajam. Aditya maupun Derina langsung tukar pandang, mendadak terkejut sebab ada Bosnya di sini. “Tuan Arion? Anda di sini?” tanya Derina ramah. Arion terkekeh lucu, memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. “Apa yang barusan kalian bicarakan dengan istri saya?” ucapnya berhasil membuat mata Derina maupun Aditya melebar. Apa katanya? Istri? “Tuan, A--anda tidak salah? Istri?”“Ah, tentu saja kalian tidak tau. Biar saya perjelas saja di sini. Kalian bisa melihat wanita yang ada di sisiku ini kan?” Arion menarik pinggang Kirana, dia menarik sudut bibirnya dalam memandang Derina apalagi terhadap Aditya. “Dia istri saya, kami sudah menikah yang mana tidak dipublikan.”“Mas?” Kirana mencubit pinggang Arion, kesal sekali kenapa suaminya itu malah membuka status mereka. “Kenapa sayang? Katakan, tadi mereka mengatakan apa tentangmu?” Mendengar pernyataan itu tangan A
Sudah 7 bulan berlalu, dan kini usia kandungan Kirana sudah memasuki 8 bulan lebih. Ada banyak hal yang dialami oleh ibu muda itu, namun untungnya Kirana mampu mengkondisikan keadaan tersebut dengan baik. Takut terjadi apa-apa pada si bayi, Kirana memilih lebih berhati-hati dalam hal apapun. “Sayang?”Arion dengan jas mewahnya, menghampiri Kirana yang saat ini tengah duduk di tepi ranjang. “Pakaikan mas dasi dong?”Kirana tersenyum tipis kala Arion duduk berhadapan padanya. Dengan penuh telaten Kirana memakaikan dasi pada leher sang suami.“Mas tampan tidak?” tanyanya. “Ya jelas tampan, Mas. Mas selalu tampan setiap hari.”“Beneran?”“Hmm.”Arion mendelik kecil. “kok gitu jawabnya? Cuman hhmm?”Kirana terdiam dari gerakannya sejenak. “Ya terus, harus jawab gimana? Kan aku udah jawab. Mas selalu tampan setiap hari….” Kirana mencubit pelan hidung Arion yang mancung, gemas sekali. “Kenapa sih? Jangan cemberut kayak gitu.” Kirana menegur, Arion itu lucu sekali dimatanya, jadi teringat