Abis itu, kita ngobrol banyak banget. Rasanya kaya dua sahabat yang udah lama ga ketemu. Udah lama juga kayanya, ngga punya temen ngobrol kaya gini. Mungkin sejak aku kehilangan sahabat gara-gara ketahuan jadi selingkuhan cowoknya. Dan sekarang judulnya, Isteri Mantanku Jadi Sahabatku, hahaha. Hidup ini gila!
Aku bener-bener kagum sama ketegaran Lintang. Ngga tahu gimana kalo aku ada di posisi dia. Baruna mimisan parah abis maghrib tadi. Waktu dia mau ngasih tahu Dirga, suaminya itu ternyata udah berbusa di kamar mandi.
Bener-bener idiot! "Tinggalin aja, Mbak. Ngga bisa diandelin gitu, cari cowok yang beneran bisa jadi suami aja."
Dia tersenyum pahit. "Emang ada yang mau sama aku?" katanya ngebuang pandang ke bulan sabit yang maki
Waktunya untuk sedikit melemaskan kaki di Haneda. Sebelum lanjut ke Baltimore, singgah sebentar di satu-satunya all-vegan cafe di sini. Mencari makanan halal memang susah-susah gampang di bandara, tapi dengan restoran all-vegan, setidaknya tak perlu khawatir kandungan pork dan teman-temannya. Hanya perlu mengingatkan pelayan bahwa aku tidak mau kandungan alkohol, meski hanya setetes amazake.Jepang selalu mengingatkan pada Zara. Ini adalah negeri impiannya. Dia membayangkan mendaki Fujiyama dan berpiknik di bawah sakura. Sayang, aku tak bisa mewujudkan impiannya itu. Kematian lebih dulu mencegat harapan.
Aku kebangun gara-gara suara orang ngobrol. Mama sama satu cowok yang gaya ngomongnya formal banget, kaya Akbar, tapi bukan Akbar. Biarin, deh, males. Paling dokter.Lanjutin aja bobo di sofa samping tempat tidur."Kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi saya, ya, Bu," suara laki-laki itu.Disambung sama suara Mama, "Iya. Tolong sampaikan terimakasih saya pada Pak Akbar, ya.""Iya, Bu. Pasti saya sampaikan."Eh, siapa, sih? Jadi pinisirin.Kubuka mata. Seorang laki-laki berdiri di samping tempat tidur Mama dengan sikap formal. Kemeja putih dan celana dongker yang diseterika rapi cocok banget sama dasi biru muda di lehernya."Mb
Berangkat pukul sepuluh pagi dari Haneda, tiba di Baltimore masih pukul sepuluh pagi juga. Waktu seperti berjalan mundur. Andai benar-benar bisa mundur, aku ingin kembali ke hari itu. Hari ketika Zara pergi. Argh! Jangan-jangan aku memang belum beranjak dari hari itu. Check in di hotel dekat John Hopkins Hospital, tempat Bunda Tania dirawat. Tadinya ini adalah hotel dengan pelayanan super buruk, tapi banyak yang terpaksa menginap di sini karena keluarga mereka dirawat di rumah sakit. Yah, daripada menghabiskan energi untuk mengeluh, kubeli saja hotelnya. Dengan kemampuan negosiasi yang luar biasa dari tim marketing, hotel ini berhasil dibeli dengan harga sangat masuk akal. Ini pertama kali aku mengunjungi hotel setelah menjadi milik Purwaka G
Sudah sore saat aku terbangun. Panggilan terakhir ternyata lupa ditutup hingga baterai habis. Ya Allah, ini keterlaluan. Aku harus merapikan lagi hidupku.Kuisi ulang daya sementara bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Ada notifikasi voice chat dari Om Ghaffar. "Udah sampai mana, Bar? Sorry, ...." Jeda, perasaanku mulai tak enak, jantungku berdegup kencang. "Ah, Tania ...." Jeda lagi. Tanganku gemetar memasang kancing kemeja. Terdengar embusan napas keras. "Just get some rest before get here, okay?"Allah! Imajinasik
Aku berpisah dengannya di lobby rumahsakit. Dia harus menjenguk kakaknya yang dirawat karena jantung koroner. "Apa kamu masih di sini besok?" tanyanya sebelum kami berpisah."Tergantung kondisi ibuku."Dia tersenyum dan cahaya matahari yang merangsek melalui jendela kaca seolah pudar begitu saja. "Semoga besok kita masih bisa ketemu," katanya."Ya, mudah-mudahan." Aku benar-benar berharap besok masih di sini karena itu berarti kondisi Bunda cukup stabil hingga dapat bertahan, setidaknya untuk duapuluh empat jam ke depan. Tak seperti yang kubayangkan dari voice chat Om Ghaffar.Dia tersenyum lagi. "Ak
"Alisha ...."Akbar?Aku di sini. Kamu di mana?"Alisha ...."Ya? Kamu di mana?"You have to wake up, you know ...."Aku ngga tidur. Kamu di mana?"Kamu belum makan dessert box buatanku ..."Oh, ya. Awas, ya, kalo ngeles. Lima, loh!
"Aku tak tahu, buat apa aku hidup," ujar Lintang lirih. Kepalanya nunduk, ngga tau apa yang dia liat di lantai. "Kamu sudah mengambil anakku dan suamiku. Aku tak punya apa-apa. Rasanya hidup dan mati sama saja," nyaris berbisik dia ngelanjutin.Duh, apa aku sejahat itu? "Aku ngga ngambil apa-apa darimu. Mereka datang dan aku terima.""Kenapa kamu terima? Harusnya kamu tolak, kan?""Kenapa ...?" Huh! Okay, mau berdebat kaya gimana juga, tetep aja aku yang salah. "Siapa yang bisa nolak cinta?"Dia diam, tapi matanya menatap geram."Kamu sendiri, apa cinta yang kamu berikan masih kurang sampe mereka nyari cinta di tempat lain?"Dia ngga jawab. Matanya membulat sama seperti mulutnya.
Aku baru duduk nyaman dalam taksi ketika pesan dari Topan masuk ke ponsel, "Saya khawatir Naila diculik, Pak." Kemudian sebuah tautan dengan informasi bahwa Topan sedang membagikan lokasinya secara real time.Dengan jari gemetar, kuikuti tautan di peta. Tampak Topan berjalan di jalan tol jagorawi menuju Bogor. Cepat-cepat kutelepon anak itu, "Sama siapa dia?""Mbak Naila ngga mau saya jemput, Pak. Dia keukeuh mau pulang sama cowoknya. Jadi ini saya lagi ngikutin. Trus barusan Mbak Naila chat, nyuruh nabrak mobilnya. Makanya saya curiga dia sebenernya lagi diculik."