Batara Adinata, ingin sekali Kiran menampar mulut laki-laki ceriwis ini.
Mbok Nah bilang tuannya adalah orang yang pendiam dan tak banyak tingkah, tapi apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang padanya sungguh sangat bertentangan dengan apa yang dia dengar.“Sikat kamar mandi itu dengan bersih, setelah itu lap jendela kamarku. Kamu harus memastikan semua udara yang aku hirup bersih dan segar!” Dengarkan perintah bodoh laki-laki itu, mana bisa dia memilah udara. Tapi yang bisa dikatakan Kiran hanya. “Baik Tuan.” Kiran merasa dia bukan dijadikan perawat tapi lebih tepat dijadikan budak, bahkan laki-laki itu dengan sengaja mencegah ART yang bertugas membersihkan tempat ini dan memintanya melakukan semuanya. Sejak pagi Kiran sudah bekerja keras bagai kuda, tapi pekerjaan yang dia kerjakan sama sekali tidak ada yang beres di mata tuan sok sempurna itu. Kiran menghela napas lega saat ruangan ini sudah bersih, dia berharap tuan sok sempurna itu tidak mencari-cari kesalahannya lagi.Kiran menyeka keringatnya, tubuhnya sudah sangat gerah. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Batara, tapi tetap saja tidak dia temukan. Kiran mengangkat bahunya, “Mungkin dia sedang berenang atau kemana dan semoga saja saat kembali kepalanya lebih normal,” gumamnya tak peduli. “Nduk sudah selesai? Ini makan dulu.”Kiran yang baru saja memasuki dapur langsung disambut mbok Nah yang sedang memasak, harum masakan membuat perutnya berbunyi tapi dia tidak mungkin bisa makan dengan kondisi tubuh seperti ini. “Sudah, Mbok. Tapi di mana tuan Tara?” tanya Kiran. “Mungkin di depan tadi tuan dan Nyonya besar datang.” “Tuan dan nyonya besar?”“Orang tua tuan Tara dan non Rini.” Kiran mengangguk, pantas saja laki-laki itu keluar sarang. Kiran sedang menyuapkan sebuah wortel ke dalam mulutnya saat terdengar suara pertengkaran di ruang depan. “Siapa itu mbok?” tanya Kiran yang menatap mbok Nah yang wajahnya juga pias. Wanita tua itu lalu membawa piring Kiran yang masih sebagian dan menariknya untuk mengikutinya. “Kok kita ke belakang, mbok. Suaranya tadi dari ruang depan,” kata Kiran bingung. “Hust! Jangan ikut campur cukup dengarkan saja. itu tuan dan orang tuanya,” kata mbok Nah sambil kepalanya menengok kanan kiri, mungkin takut ada yang mendengar apa yang dia katakan. Kiran hanya mengangkat bahu dan melanjutkan makannya, masalahnya sudah cukup banyak tentu saja dia tidak ingin ikut campur urusan orang lain apalagi dengan tuan muda sengak itu. “Ayu kamu dipanggil tuan.” “Pergilah dulu, Yu,” kata mbok Nah. Kiran berdecak sebentar, bahkan untuk makan sebentar saja dia tidak bisa, benar-benar tipikal orang merepotkan. “Kemana saja kamu! Ingin makan gaji buta!” bahkan dia baru bekerja beberapa hari dan belum menerima gaji, tapi tentu saja Kiran tahu dia akan dalam masalah jika menjawab seperti itu. “Maaf tuan saya sedang makan,” jawab Kiran jujur. Tara terdiam sejenak mendengar jawaban itu, tanpa kata dia langsung membelokkan kursi rodanya sambil berkata. “Lanjutkan makanmu dan temui aku di kamar setelah selesai.” Oh kalau laki-laki itu berharap Kiran akan tidak enak hati dan memutuskan untuk tidak melanjutkan makannya, dia salah Kiran hanya mengangguk sejenak dan melewati laki-laki itu. Kiran muncul lima belas menit kemudian di kamar Batara dan mendapati wajah masam laki-laki itu, tapi yang membuat Kiran sedikit tak enak hati laki-laki itu tidak di sana sendiri tapi bersama seorang wanita cantik yang menatap Kiran seolah hama pengganggu. “Ehm...maaf saya kira tadi tidak ada tamu.” “Siapa gadis ini, lancang sekali masuk tanpa permisi!” hardik wanita itu, matanya menatap marah pada Kiran. “Dia sudah akan pergi lagi pula ini kamarku bukan ruang tamu,” kata laki-laki itu sadis. Tentu saja Kiran sama sekali tidak butuh berIQ seperti einstein untuk tahu kalau wanita ini menyukai Batara. “Tapi aku masih merindukanmu, kita harus membicarakan pesta minggu depan,” kata wanita itu tak terima. Kiran terlihat sangat tidak nyaman di sana, entah mengapa dia langsung tidak menyukai wanita ini. “Keluarlah, aku ada perlu dengan Ayu,” kata Batara tenang dan dingin. “Jadi kamu lebih memilih wanita kampung ini dari pada aku tunanganmu!” Kiran menghela napas malas mendengar kalimat wanita itu. “Saya akan kembali nanti,” kata Kiran tapi Batara buru-buru mencegah. “Kamu perawatku sudah seharusnya kamu membantuku, aku mau kamu membantuku ke kamar mandi,” kata laki-laki itu membuat baik Kiran maupun wanita itu menatap horor. “Tara aku yang akan membantumu, kamu tidak curiga dia hanya memanfaatkanmu saja.” “Tentu saja aku tahu, dia memanfaatkanku untuk membayar semua kerja kerasnya. Pergilah kamu tidak dibutuhkan di sini!” Wanita itu berdiri dengan kaki menghentak dan saat melewati Kiran dia seperti sengaja menabrak pundak wanita itu tapi Kiran hanya menatap malas tindakan wanita itu, ada hal yang perlu dia tanyakan pada Batara. “Biasanya tuan bisa ke kamar mandi sendiri kenapa sekarang memanggil saya?” tanya Kiran, yang benar saja ogah banget dia membantu Tara ke kamar mandi, itu namanya pelecehan. Meski dikatakan perawat tugas Kiran hanya sebagai babu yang bisa diperintah seenak hati, tidak lebih. Batara menatap Kiran dengan malas. “Jangan menatapku seperti itu, aku tahu kamu bodoh tanpa menampilkan wajah seperti itu.” Apa? bodoh? Yang benar saja dia tidak akan mendapat predikat summa cumlaude saat kuliah kalau bodoh. “Apa maksud tuan.” Batara memutar kursi rodanya dan Kiran yang dari tadi masih berdiri di depan pintu langsung mengikuti. “Aku ingin kamu mengantar file ini ke kantorku,” kata Batara sambil memberikan sebuah map pada Kiran. Kiran menerima map itu dan tanpa sadar menjatuhkan satu buah kertas yang ada di sana. Daftar undangan pesta. Kiran buru-buru mengambil kertas itu dan saat akan mengembalikannya ke dalam map dia melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih. “A-apa tuan akan mengadakan pesta?” tanya Kiran sambil berusaha menguasi dirinya. “Bukan aku tapi orang tuaku, yah itu sebenarnya ulang tahun pernikahan mereka,” ada nada sinis dalam ucapan Batara yang sama sekali tidak Kiran pahami. “Apa saya boleh ikut?” tanya Kiran nekad. Batara langsung mendongak menatap Kiran. “Kenapa kamu ingin ikut?” Berpikir Kiran. “Kerena saya suka dongeng cinderella,” jawab Kiran. Dia tahu jawaban ini adalah jawaban terkonyol yang dia berikan tapi otaknya sama sekali tidak bisa berpikir jernih saat melihat salah satu nama undangan itu. Dafa Prasetya akan mewakili Ardani Group sebagai direktur utama. Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa Dafa bisa menjadi direktur utama perusahaan milik keluarganya, Bukankah masih ada saudara dan orang-orang kepercayaan orang tuanya di sana. Kiran tidak bisa tinggal diam di sini."Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi