Back To Home

Back To Home

last updateLast Updated : 2025-01-30
By:  JenniesaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
4Chapters
10views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Anin tidak menyangka perjalanan yang ia lalui semasa ia muda hingga menuju usia 30 tahun, akhirnya berlabuh kembali ke rumah. Tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan hingga usia belasan. Masa lalu mulai menyeruak kembali, membisikan banyak hal-hal yang dulu ia usahakan untuk lupakan. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah? dan mengapa Anin harus kembali setelah banyaknya tahun terlewati?

View More

Chapter 1

Bab 1. What took you so long to comeback home?

“Kamu yakin Nin mau resign?”

Pertanyaan Mbak Riska baru saja kudengar, dan lagi, dengan kesadaran penuh aku menganggukan kepalaku dalam.

“Yakin Mbak. Aku juga udah submit resign letter ke Pak Ray kemarin.”

Mbak Riska Cuma menatapku lembut. Wanita berusia 37 tahun ini menjadi salah satu karyawan yang paling dekat denganku selama aku bekerja di perusahaan ini.

“Kalau nanti dimasa depan, kamu butuh apa-apa, tolong hubungi aku ya Nin.”

Aku hanya membalas untuk menggenggam tangan Mbak Riska pelan. Berusaha memastikan bahwa jalan yang sekarang aku pilih ini, menjadi jalan yang sudah jelas dan akan kupastikan lancar hingga penghujung jalan.

Menjelaskan kenapa aku berani senekat ini untuk melepas hal-hal di usia hampir 30-an memang tidak mudah. Aku hanya memberi gambaran singkat mengapa aku harus, dan mau gak mau untuk pulang ke tempat yang dulu hingga sekarang, tidak berani aku jamah kembali.

Untungnya, keputusanku untuk mengundurkan diri dari perusahaan tidak dipersulit. Pak Ray, selaku atasanku langsung hanya bertanya alasan mengapa aku memutuskan untuk melepas kesempatan bagus (bekerja di kantor yang sesuai dengan keinginanku). Kami saling menatap dalam diam cukup lama saat aku berada di ruangannya kala itu, sebelum ia akhirnya menyetujui pengunduran diriku dan menginformasikannya ke tim HRD.

“Anindya.”

Aku kembali memandang Pak Ray, sosok atasan yang mau menerimaku, dari aku yang tidak tahu apapun terkait gerlapnya dunia kerja di Ibukota.

“Stay safe whenever you are.”

Aku tersenyum.

“Thanks, Pak.”

Pengunduran diriku bisa dibilang amat sangat mendadak. Biasanya dikantorku, kami harus submit resign letter 2 bulan sebelumnya. Aku bahkan sempat psesimis, apakah dalam 1 bulan, aku bisa keluar dari kantor ini dan bisa segera kembali ke tempat itu.

Berkat Pak Ray dan bantuan dari beberapa tim, aku menjalani periode singkat dalam proses pengunduran diri.

Tidak ada interview berlebih, dan tim HRD langsung mencari pengganti untuk posisiku setelah resign letterku di acc oleh Manager tempat divisi-ku berada.

29 tahun. Usia yang lebih dari muda, dan tidak lebih muda hingga dipanggil dewasa.

Hampir 10 tahun lamanya aku tidak kembali ke tempat itu karena satu dan dua hal. Kini, mau gak mau, aku harus pulang dan mendengar langsung alasan kenapa aku harus kembali. Dan mengapa aku harus kembali?

****

Drrrrt

Drrrrt

Drrrrt

Drrrrt

Bunyi alarm membangunkanku. Tertera sudah jam 8 malam, yang artinya kurang dari 1 jam lagi aku sampai di kota dimana tempat itu berada.

Memilih pulang menggunakan kereta menjadi pilihan yang cukup memuaskan. 8 jam kulalui tanpa adanya masalah. Selain beberapa panggilan tak terjawab dari rekan kantor, Pak Ray, dan orang-orang dari tempat itu.

Aku mulai membalas beberapa dari mereka, dan tentunya memastikan bahwa 1 jam lagi aku akan sampai kepada orang-orang di tempat itu.

“Aku di Café depan Stasiun, info kalau kamu sudah sampai ya Nin.”

Aku membalas “Ya.” Dengan singkat. Dan kembali melihat jalur-jalur yang telah dilewati.

10 Tahun bukan waktu yang sebentar, dan ini pertama kalinya aku kembali setelah kejadian lampau tahun itu.

Saat Kereta mulai menunjukan sinyal perlahan, dan suara dari pengeras suara mulai terdengar, aku mulai merapikan barang bawaaku. Mengambilnya dari kabin atas tempat koper dan bersiap untuk keluar dari kereta segera setelah kereta berhenti.

Saat sampai diujung pintu keluar, aku mulai melihat Café yang dimaksud dalam pesan yang tadi kuterima.

Merasa tidak asing, karena dulu, seingatku bangunan ini tidak ada.

Ah, aku lupa.

10 tahun cukup untuk merubah suatu tempat, dan juga orang.

Aku mulai masuk kedalam Café tersebut dan mulai mencari sosok yang aku masih ingat dari kenangan masa lalu. Hingga aku menemukan dipojok kanan, sesosok Pria dengan tinggi menjulang duduk.

Arah duduknya menghadap pintu masuk, mungkin untuk memudahkan ia segera mengenaliku ketika aku datang.

Sosok itu mendongak, dan mata kami bertemu sejenak. Sebelum ia akhirnya mendekatiku dan segera mengambil alih koper yang aku bawa.

“Kok gak ngehubungin Nin? Biar Mas bisa langsung jemput kamu di pintu keluar.”

Aku berdehem, agak sedikit ragu bagaimana aku harus menjawab pertanyaan dari sosok yang aku tidak temui hampir 10 tahun lamanya.

“Nanggung Mas. Toh Café-nya juga deket banget dari pintu keluar.”

Mas Andy Cuma mengangguk dan mulai mengarahkanku keluar menuju tempat dimana ia memakirkan kendaraan yang ia bawa.

“Cuma 1 koper Nin? Ada barang kamu yang masih didalam Stasiun kah?”

Mas Andy mulai menatap kanan-kiriku dan mengalihkan pandangannya ke arah Stasiun, matanya menelisik jauh, memastikan barang yang kubawa memang benar atau masih ada yang kutinggalkan.

“1 Koper cukup Mas. Lagian aku gak akan lama.”

Aku bisa melihat tangan Mas Andy yang terkepal erat memegang koperku. Tau benar bahwa kalimat yang baru ku ucapkan agak menyinggung terkait alasanku kembali pulang ke tempat ini.

Mas Andy mengarahkanku ke mobilnya, dan menelusuri jalan yang cukup asing di ingatanku dalam diam.

Selama 1 jam itu, aku mulai memperhatikan Mas Andy. Meliriknya pelan dan membandingkan sosoknya sekarang dengan sosoknya yang lumayan rancu di ingatanku.

Dulu, saat pertama kali memutuskan pergi ke Jakarta, Mas Andy menjadi satu-satunya sosok yang mendukung. Keputusanku kala itu sepenuhnya bisa terlaksana berkat bantuannya.

Sosok kurus saat itu mulai kubandingkan dengan sosoknya yang sekarang. Ada begitu banyak perbedaan. Tapi satu-satunya yang terlihat adalah keriput yang mulai menghiasi wajahnya.

Ah, benar.

Mas Andy berusia 35 tahun jika kuingat dengan benar.

3 tahun lalu, ia mengabarkan akan mempersunting teman satu SMA-nya dan mengharapkan aku untuk pulang.

Pesan itu kubiarkan hanya terbuka tanpa pernah kubalas hingga sekarang.

”Tadi pagi Ibuk pergi ke pasar Nin. Kamarmu sudah dibersihkan dan tadi Ibuk info agar jangan mampir kemana-mana, karna ibuk udah masak banyak makanan kesukaan kamu.”

Aku mengangguk pelan. Bayangan Sosok Ibuk yang memasak di dapur, menyiapkan makan, dan duduk diteras depan rumah mulai kuingat kembali.

Mas Andy mulai menjelaskan banyak hal yang telah berubah selama aku pergi. Dari minimarket yang sudah menjamur di sisi jalan, Bioskop yang dekat dengan rumah, hingga beberapa tempat makan yang aku tidak pernah dengar namanya.

Dia juga menjelaskan terkait kenapa dia masih tinggal ditempat itu bersama Istrinya, kakak iparku. Padahal sudah diberi rumah sendiri oleh mertuanya di pusat kota.

Dia masih memutuskan untuk menungguku pulang, meski ia tahu, kepulanganku kali ini-pun bukan hal yang permanent.

Jejeran hutan pohon jati mulai dilewati, dan samar-samar mulai kulihat gerbang perbatasan antara pusat kota dan tempat dimana rumah itu berada.

DEG!

Aku mulai melihat jelas bangunan dari ingatanku dimasa lampau. Kokoh tak berubah, serasa melambai pelan menyuruhku kembali masuk untuk pulang.

Pelan-pelan, hingga mobil berhenti tepat didepan rumah itu.

Aku melihat ibuk didepan. Melambai sambil menutupi wajah (Aku tahu jelas ia menangis).

Melangkahkan kakiku kembali ke tempat dimana aku pernah berjanji untuk tidak akan datang lagi, terasa berat.

Ibuk menyambutku dengan hangat. Memelukku erat sambil dibawanya aku kedalam rumah yang aku masih ingat tata letaknya.

“Selamat datang ke rumah Nduk.”

Ucapan pelan itu membangunkanku dari lamunan singkat. Aku mulai melihat kembali pada wajah Ibuk yang menua, Mas Andy yang sedang menurunkan barang bawaanku, Istrinya, kakak iparku yang baru kulihat wajahnya secara langsung, dan adik bungsuku, Adnan. Yang saat ini menatapku tajam dari pintu antara ruang tamu dan dapur.

Ibuk membimbingku masuk langsung ke ruang makan, membawakan piring dan memilihkan berbagai macam lauk agar aku makan. Seperti tamu asing yang baru pertama kali datang.

Di depanku, ada Adnan. Masih mendengus setiap kali aku dan dia bertatap muka sebelum akhirnya kembali focus untuk makan.

Suasana di ruang makan berjalan dengan khidmat hingga kami selesai. Aku memisahkan diri dan kembali ke ruangan dimana aku menghabiskan 18 tahun didalamnya.

Ruangannya cukup berbeda. Aku ingat Mas Andy pernah menunjukan perubahan awal semenjak Adnan masuk SMA dan membutuhkan ruang baru sebagai tempat ia belajar.

Dindingnya masih penuh dengan tempelan kertas K-pop group favoritku kala itu, diatas meja masih tertara rapi jejeran barang kerlap-kerlip yang berhasil kudapatkan setiap aku ikut lomba yang diadakan oleh majalah lokal.

Disamping meja, bertumpuk beberapa buku yang ku kumpulkan dari masa SD, hingga aku lulus SMA. Tertata rapi tanpa debu, nyaris membuatku kagum bagaimana mereka tetap menjaga tempat ini seperti sedia kala.

BRUK!

Suara pintu depan yang dibuka kasar mengaburkan lamunan ingatan, aku melihat kearah pintu kamar, memastikan dengan jelas siapa yang akan dating. Meski tahu dengan benar, sosok itu tidak akan berani mendekat.

“Jangan gitu to Pak, Anin baru aja sampe, tunggu besok ya.” Suara Ibu yang lirih beserta gerakan kasar dari sosok yang menyebabkan suara keras tadi meyakinkanku. Bahwa sosok yang sedang berdiri didepan kamarku adalah sosok yang menjadi alasan utama aku tidak mau kembali ke tempat ini.

“…………………….”

Bisu. Yang kudengar hanyalah helaan nafas panjang sebelum aku dengar langkah kaki mereka mulai menjauh, disertai suara batuk lirih dan percakapan antara Mas Andy dan Adnan terkait kegiatanku selama aku dirumah ini.

Tok Tok

“Mbak, aku boleh masuk gak?”

Aku mengiyakan sebelum akhirnya melihat Adnan masuk dan duduk disampingku, pelan.

“Kata Mas Andy, besok Mbak Anin mau ke tempat Mas Bagus ya? Aku anter boleh?”

Adnan menungguku menjawab dengan sabar sebelum akhirnya kuiyakan. Hingar bingar yang tampak jelas di raut wajahnya membuatku merenung. Sebab, Adnan yang dulu kutinggalkan saat usia belasan, dengan Adnan yang saat ini menginjak usia puluhan mulai berbayang menjadi satu dalam ingatan.

Tangannya menggenggam lenganku erat, hingga kudengar isak tangis pelan.

“Jangan pergi lagi ya Mbak.” Ucapnya yang hanya kubalas dengan diam, hening.

*****

Malam pertama aku lalui dengan cukup tenang. Selain tangisan Adnan yang mengusikku, ada beberapa hal lain yang masih bisa aku terima dengan lapang.

Seperti ibuk yang pagi-pagi mengelus kepalaku pelan, Mas Andy yang membelikan aku bunga dan Adnan yang sudah bersiap untuk mengantarkanku ke tempat Mas Bagus berada.

10 tahun.

Malam-malam ketika aku tidak bisa tidur dengan tenang kembali berbayang. Alasan paling utama dari semua hal yang terjadi padaku dalam kurun waktu 10 tahun.

20 menit dari rumah, aku akhirnya tiba di tempat dimana semua ini berawal.

Rindai daun dan angin yang melambai, seaakan menuntunku pelan untuk segera datang.

Bagus Tjandra Djatmoko

Tertera jelas di nisan yang kini mulai lapuk termakan waktu.

“Apa kabar Mas?”

Sepi.

Aku tahu dengan benar tidak ada yang akan membalas pertanyaanku.

Satu tahun pertama setelah Mas Bagus pergi, aku merasa ada banyak bagian dariku yang ikut dibawa pergi juga. Mendambakan kenormalan awal sebelum kepergiannya menjadi hal-hal yang amat sangat aku inginkan kala itu.

Suara gelak tawa, kalimat demi kalimat yang sering ia ucapkan dalam obrolan, dan teduh wajah yang selalu bias kulihat ketika aku mendongakan kepala, menjadi hal-hal paling kurindukan setelah ia tiada.

Gundukan tanah itu tertata rapi. Terlihat jelas terawat dengan pengunjung rutin yang datang setiap waktu. Sayangnya, itu bukan aku.

“Mas, kali ini mungkin menjadi tahun terakhir aku bisa datang.”

Aku menatap nisan itu lambat, mencoba mengingatnya penuh sebelum aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan.

Kenangan demi kenangan mulai bergerilya pelan, mencoba memaksaku kembali mengingat bagaimana hal-hal terburuk dalam hidupku terbentuk. Langkah pelan yang aku coba tahan saat aku pergi dari makam menjadi satu-satunya hal paling waras yang bias kulakukan.

Rasanya, aku mungkin bisa saja membongkar gundukan tanah itu dan ikut menguburkan jasadku didalam bersamannya. Untuk selamanya.

Di depan makam, masih berdiri Adnan menungguku.

Ah, dia pasti akan menangis lagi jika aku bilang kalau melihatnya ikut membuatku sakit. Membuatku teringat akan hal-hal dimasa lampau yang jelas ingin aku lupakan dalam 10 tahun belakangan.

Mas Bagus menjadi eksistensi yang tidak bisa digantikan meski aku berjuang untuk melupakan bagaimanapun caranya.

Pria itu akan tetap ada dalam ingatan di setiap waktu. Abadi sampai mati.

Setelahnya, aku tidak mengingat apapun.

Sayup-sayup kudengar pintu yang terbuka dan selembar selimut menutup tubuhku pelan.

“Anin, apa yang membuat kamu lama sekali untuk pulang?”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
4 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status