Share

Tuan Arogan

Mbok Nah membawanya ke sebuah bangunan megah yang hampir mirip dengan rumahnya sendiri. 

“Siapa ini? Mbok nemu di mana anak kecil dekil begini?” 

Kiran yang semua sibuk memperhatikan rumah ini langsung mendongak. Seorang gadis yang tadinya duduk dalam ayunan perlahan bangkit dan menghampirinya, menatapnya penuh selidik. 

“Neng Rini, ini keponakan saya dari kampung. Orang tuanya sudah meninggal dan saya mau minta ijin tuan untuk bisa tinggal di sini,” kata mbok Nah dengan sopan. 

Ah mungkin ini salah satu anak majikan mbok Nah. 

Melihat cara berpakaian gadis itu yang masih terbilang sopan, membuat Kiran langsung menepis pikiran buruknya tentang mbok Nah yang mungkin berniat menjualnya. 

Ah kesalahan fatal yang membuatnya berada di titik ini menjadikannya orang yang penuh curiga. 

“Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi, usianya mungkin sekitar awal dua puluhan.

“KI... Ayu,” jawab Kiran hampir menyebutkan nama aslinya. 

“Oh, ya sudah masuklah,” katanya kembali duduk di ayunan tapi sebelum itu dia berbalik dan berkata lirih. “Hati-hati bertemu monster di sini.” 

Kiran hanya menatap tak percaya gadis itu. usianya berapa sih masih saja percaya dengan monster. 

“Sudah, Nduk. Non Rini hanya bercanda.” 

Mbok Nah menghela Kiran untuk masuk ke dalam rumah besar itu. 

Tapi...

“Tubuhku kotor dan bau mbok,” kata Kiran lirih. 

Yah dia merasa sangat kotor saat ini. kakinya yang telanjang penuh lumpur yang bercampur darah dari lukanya yang bertambah banyak, juga pakaian lusuh yang saat ini dia gunakan, ah belum lagi perutnya yang terasa sangat lapar. 

Dua orang itu hanya menghajar dan memaki tanpa memberikan makanan yang layak, tapi Kiran juga tidak biasa meminta pada orang lain meski itu hanya sepiring nasi. 

“Baiklah kita lewat samping saja, kamu bersihkan tubuh dulu sebelum bertemu dengan tuan, semoga beliau mengijinkan kamu tinggal di sini.” 

Kiran hanya mengangguk tak tahu apa itu memang yang dia inginkan saat ini, tapi paling tidak dia memang butuh tempat tinggal dan makanan yang layak dan tidak diperbudak. 

“Yu, kalau misal nanti tuan memintamu juga bantu-bantu di sini supaya bisa tinggal apa kamu mau?” tanya mbok Nah seiring langkah mereka melintasi lorong panjang di samping rumah. 

“Maksud mbok aku juga bekerja jadi pembantu di sini?” tanya Kiran menegaskan. 

Simbok mengangguk. 

Kiran terdiam, sejujurnya dia tidak tahu apapun tentang tugas mengurus rumah dan lain-lain, dulu ibunya memang kadang memintanya membantu sekedar menemani beliau memasak dan Kiran memang melakukannya sambil bermain ponsel di meja makan. 

Ah mengingat itu rasa bersalah pada orang tuanya semakin menggunung, dia memang terbiasa membantu ayahnya di perusahaan keluarga mereka tapi sama sekali tidak pernah membantu sang ibu mengurus rumah. 

Banyaknya Art yang mereka miliki juga kedudukannya sebagai anak tunggal membuatnya merasa tak perlu melakukan semua itu. 

“Apa aku bisa,” gumam Kiran lirih.

“Ya bisa tho, wong kamu tiap hari sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, berita tentang kamu yang diperbudak ibu tirimu sudah lama mbok dengar, tapi mbok tidak berani berbuat banyak.” 

“Tapi warga desa malah mengusirku,” kesal Kiran. 

“Itu karena pengaruh omongan ibu tirimu yang mengatakan kamu membunuh orang tuamu.” 

Kiran ingin bertanya lebih lanjut tentang Ayu dan orang tuanya, tapi sepertinya mereka sudah sampai karena mbok Nah memintanya untuk masuk ke sebuah kamar. 

“Ini kamar mbok di sini, untuk sementara kamu bisa membersihkan diri dulu.” 

“Tapi aku tidak punya baju,” kata Kiran yang ingat kalau dia sama sekali tidak membawa satupun barang Ayu. 

“Nanti mbok minta baju bekas non Rini yang tidak terpakai.” 

Kiran menelan ludah. Baju bekas. Astaga hidupnya memang sudah jungkir balik. 

Mbok Nah kembali dengan beberapa baju yang masih layak pakai, sekali lihat saja Kiran tahu kalau itu baju kualitas bagus meski pernah dipakai. 

“Sini mbok bantu mengobati lukamu dulu, setelah ini kamu antarkan makanan untuk tuan.” 

Kiran menghentikan kegiatannya mengancingkan baju. “Mbok tidak menemaniku?” tanyanya. 

“Mbok harus membersihkan halaman samping, Bibi yang biasa membersihkannya sedang sakit, tapi tenang saja tadi mbok sudah bicara pada tuan, dan kamu harus datang padanya untuk memperkenalkan diri.” 

Cukup logis memang, Art baru di rumahnya dulu juga diwawancarai oleh ibunya. 

“Baiklah, mbok, tapi kalau Ki... Ayu boleh tahu seperti apa tuan ini?” tanya Kiran. 

Mbok Nah berpikir sebentar. “Tuan sebenarnya baik, tapi sejak kecelakaan dia lebih banyak mengurung diri di kamar, bahkan dia juga lebih suka mengendalikan perusahaan dari rumah saja.” 

Ah orang yang sedang insecure rupanya, dan mungkin juga trauma. “Lalu non Rini itu anaknya? Lalu di mana istrinya?” 

Bukannya menjawab simbok malah tertawa. “Tuan Tara belum menikah, dia itu masih muda dan sangat tampan, non Rini itu adiknya, tapi kamu jangan jatuh cinta sama tuan, dia alergi cinta soalnya.” 

Astaga apa sih yang mbok bicarakan. 

Tapi sepertinya dia juga alergi dengan cinta  yang sudah menghancurkan hidupnya dan berencana untuk menghancurkan orang itu... Dafa. 

Mengingat nama itu membuat tangan Karin terkepal dengan erat, dia harus bertahan bagaimanapun keadaannya demi bisa membalas laki-laki itu. 

“Sudah sana.” 

Mbok Nah mendorong Kiran untuk keluar kamar dan memberikan segelas jus dan roti bakar yang telah tersusun rapi. 

“Ini antar ke kamar tuan, itu kamar utama sebelah tangga.” 

Kiran menatap pintu kamar itu dan mengangguk, tekadnya sudah bulat.

Dia saja bisa membantu ayahnya memajukan perusahaan sebesar itu, apa susahnya belajar menjadi ART, dia hanya harus menurunkan gengsinya saja. 

Kiran mengetuk pintu kamar itu. 

Satu dua kali tidak ada jawaban, padahal simbok bilang ini waktu tuan itu untuk makan. 

“Permisi tuan, saya Ayu Art baru mau mengantarkan makanan,” kata Kiran dengan suara yang nyaring tapi sama sekali tidak ada jawaban. 

Kiran melangkah masuk dan menatap ruangan megah yang kosong itu, tapi sekilas dia mendengar bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi. 

Kiran melangkah ke arah nakas dan  meletakkan nampan yang dia bawa ke sana, pandangannya jatuh pada ponsel yang tidak terkunci. 

Sejenak Kiran ragu, tapi dia butuh informasi apapun yang menjelaskan tentang keadaannya sekarang. 

Nekad. Kiran mengambil ponsel itu, tapi belum juga dia membukanya sebuah suara berat nyaris membuatnya membeku. 

“Kamu mau maling ya.” 

Kiran berusaha mengendalikan dirinya sebaik mungkin, dia meletakkan kembali ponsel itu dan membenarkan letak nampan yang dia bawa, dia bisa beralasan hanya memperbaiki letaknya saja. yah itu alasan yang bagus. 

Kiran menoleh dan dia langsung terpaku pada mata kelam yang menatapnya dengan curiga. 

Mbok Nah benar. Laki-laki ini begitu tampan dan berwibawa, meski saat ini sedang duduk di kursi roda. 

Untuk pertama kalinya dia merasa gelisah hanya karena bertatapan dengan seorang laki-laki. Ah mungkin karena dia merasa bersalah. 

Di tariknya napas panjang dan dengan percya diri dia melangkah mendekati laki-laki itu. 

“Saya Ayu, Art baru yang datang bersama mbok Nah, saya diminta mengantar makanan untuk anda,” kata Kiran sambil menunjuk nampan yang dibawanya. 

“Mengantar makanan atau mengambil ponsel milikku.” 

“Saya hanya memegangnya supaya cukup tempat untuk menaruh nampan.” 

“Hemm besar juga nyalimu, berani menjawabku.” 

Kiran mendongak sedikit. “Saya hanya mengatakan yang sebenarnya, sebaiknya anda segera makan.” 

“Siapa kamu memerintahku,” kata laki-laki itu dingin. 

Kiran menghela napas, astaga haruskah dia terjebak dalam situasi seperti ini. 

“Saya hanya memberi saran yang logis agar makanan itu nanti tidak terbuang,” kata Kiran dengan berani. 

Dia mengambil nampan itu dan memberikanya pada sang tuan, yang menatapnya dengan sinis. 

“Apa tuan harus disuapi,” kata Kiran tenang. 

Prang!

“Kamu menghinaku.” 

“Maaf, saya hanya bertanya, siapa tahu anda butuh bantuan saya lagi.”

 “Cih, baiklah mulai sekarang kamu jadi perawatku dan turuti semua perintahku,” kata laki-laki itu dengan senyum licik.

Apa menjadi perawat bayi besar seperti ini? yang benar saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status