Share

Bertemu

Sejujurnya Kiran bukan gadis yang menyukai gemerlap pesta. 

Tidak seperti apa yang dia bilang pada Batara kalau dia ingin jadi cinderella. 

Mengingat perkataan konyolnya itu rasanya Kiran ingin tertawa, dan pandangan mengejek laki-laki itu membuat Kiran sangat tidak nyaman. 

Akan tetapi ini satu-satunya cara dia bisa mengikuti pesta ini, yah meski dia harus rela jadi kacung yang selalu berdiri di samping tuan muda. Tak mengapa, setidaknya saat ini memang itu yang dia butuhkan. 

“Apa berjalan bersama seperti ini juga bagian dari cerita cinderella yang kamu sukai itu.” 

Kiran memutar bola matanya malas, tuan ceriwis ini ternyata masih saja menunjukkan sikap menyebalkan, padahal saat ini mereka sedang memasuki rumah megah orang tua  Batara, yang bahkan jaraknya tak sampai lima belas menit perjalanan. 

Entah apa alasan Batara dan Rini untuk memilih rumah terpisah dengan orang tuanya, padahal mereka sama-sama belum menikah, apalagi mengingat kondisi Batara yang harus kemana-mana dengan kursi roda. 

“Cinderella? Kamu bercita-cita menemukan pangeran di sini Ayu.” 

Rini yang tadi menghilang tiba-tiba sudah ada di samping Kiran dan menatap wanita itu dengan mata berbinar. Oh tidak, dia sama sekali tidak ingin ikut dalam perburuan pangeran konyol ala gadis ini. 

“Aku juga punya pangeran yang ingin aku dapatkan, ugh! Dia sangat tampan.” 

“Jangan konyol Rini, laki-laki itu sudah punya istri,” suara dingin Batara membuat sang adik langsung memanyunkan bibirnya. 

“Tapi istrinya koma, dan dia berselingkuh jadi tidak pantas dipertahankan.” 

“Tetap saja dia masih punya istri, masih banyak laki-laki lain, untuk apa kamu menginginkan milik orang, kamu bukan wanita murahan.” 

Kiran sedikit terkejut mendengar perkataan Batara pada adiknya, memangnya perlu berkata sesadis itu pada sang adik? 

“Mas jangan ikut campur urusanku, urus saja tunanganmu itu.” 

“Aku tidak pernah menyetujui pertunangan itu.” 

Kiran hanya diam di sana, berpura-pura menjadi patung. 

“Sampai kapan kamu berdiri diam di situ.” Kiran yang lebih memilih menikmati dekorasi pesta terkejut dengan bentakan Batara. Ah ternyata perdebatan mereka telah usai tanpa dia sadari, dia melihat Rini berjalan ke arah pesta dengan bahu tegang tak beda jauh dengan sang kakak yang sepertinya ingin menelan manusia hidup-hidup. 

Dan Kiran tidak ingin mengambil resiko menjadi korbannya. 

“Baik Tuan.” 

“Kamu mau membawaku kemana?” 

“Eh?” 

Kiran menghentikan dorongan pada kursi roda Batara dan melangkah ke depan laki-laki itu. “Bukankah itu orang tua tuan,” kata Kiran menatap bingung Batara yang malah menatapnya tajam. 

Yaelah biasa saja kali, tinggal bilang doang. 

Kiran memang langsung mendorong kursi roda Batara ke arah orang tua laki-laki itu sekaligus tuan rumah, bukankah seperti itu memang wajar dilakukan saat menghadiri pesta tapi sepertinya laki-laki ini memang suka bertingkah yang tidak wajar. 

“Siapa yang menyuruhmu membawaku ke sana!” 

“Lalu tuan ingin kemana?” tanya Kiran yang kesabarannya sekarang sudah menipis, andai saja dia masih Kiran yang dulu tentu dia akan dengan senang hati meninggalkannya. 

“Bawa aku ke sana.” 

Kiran mengangguk dan sekilas menatap meja panjang yang berisi berbagai makanan. 

Ternyata dia lapar, pantas ingin makan orang. 

Kiran menatap bosan pada Batara, bukan ini yang dia inginkan. Astaga kalau hanya numpang makan kenapa tidak di rumah saja. 

“Boleh saya melihat-lihat tuan,” kata Kiran mencoba keberuntungannya. 

“Ternyata kamu benar-benar serius ingin mencari pangeran konyol itu,” ejek Batara. 

Terserahlah bagaimana anggapan laki-laki ini, Kiran hanya berusaha menampilkan cengirannya, tidak mungkin bukan dia berterus terang kalau bukan pangeran yang dia cari tapi iblis dari neraka. 

Iblis yang tiba-tiba saja bisa menguasai perusahaan keluarganya, padahal dulunya dia hanya seorang manager kantor cabang perushaan rekanan yang beruntung menikah dengannya. 

Pertanyaan kenapa paman atau bibi yang memegang jabatan tinggi di perushaan itu tidak mencegahnya, jelas-jelas mereka tahu kalau pernikahannya dan Dafa ditentang orang tuanya, dan melarang Dafa bekerja di perusahaan mereka.  

“Pergilah!” 

“Apa?” 

“Ckk percuma kamu masih muda tapi budeg. Pergilah!” 

“Ehmm bagaimana dengan tuan?” tanya Kiran yang membuat wanita itu ingin sekali menggigit lidahnya karena mengajukan pertanyaan sekonyol itu. 

“Kamu kira aku anak bayi, pergilah tapi sebelum tengah malam kamu sudah harus ada bersamaku. Oh dan satu lagi sebelum pergi mencari pangeran kamu sebaiknya cuci muka dulu.” 

Kiran yang sudah berdiri dari duduknya hanya bisa ternganga ini kalimat terpanjang yang diucapkan Batara. Kalimat penuh perhatian yang berbalut hinaan. Ish! 

Demi sopan santun Kiran menganggukkan kepalanya untuk berpamitan dan melangkah ke bagian dalam rumah, bertanya pada beberapa orang yang berseragam pelayan dimana letak kamar mandi. 

Tentu saja tujuan Kiran bukan untuk terlihat cantik dan menarik, dia hanya ingin mendinginkan kepalanya yang sedari tadi penuh dengan berbagai praduga. 

Lagi pula saat ini dia memang  tidak membawa make up dan lain sebagainya, tapi sepertinya air saja cukup untuk membuat penampilannya lebih segar, apalagi kulit wajah Ayu yang memang bagus. 

Kiran berjalan menyusuri lorong yang ditunjukkan pelayan tadi dan begitu melihat sebuah pintu yang dia perkirakan kamar mandi langsung saja dia buka. 

“Upss! Maaf!” 

Kiran mematung, pintu itu tiba-tiba mengayun terbuka dan seseorang yang saat ini dicarinya berdiri di depannya dengan wajah tanpa dosa. 

Dafa Prasetyo. 

Laki-laki yang pernah menjadi suaminya, atau mungkin sampai sekarang masih tetap menjadi suaminya. 

Kiran melangkah mundur dan berpengangan pada tembok. Melhat wajah laki-laki itu lagi membuat kebencian yang coba dia redam bergejolak keluar, dia bisa merasakan tubuhnya terbakar oleh kemarahan. 

“Kamu baik-baik saja.” Tangan laki-laki itu terulur untuk menyentuh Kiran tapi dengan kasar wanita itu menepisnya. 

Jijik rasanya membayangkan dia bersentuhan lagi dengan iblis ini. 

“Hei maafkan aku hanya berusaha membantu. Ehm ... kamu terlihat tidak sehat.” 

Mulut manis dan penuh perhatian inikah yang dulu membuat Kiran jatuh cinta. 

“Aku baik-baik saja,” kata Kiran dengan parau. 

Sejak tadi dia memang mencari keberadaan Dafa tapi bertemu mendadak seperti ini membuatnya tak tahu apa yang harus dia lakukan. 

"Oh syukurlah, silahkan," kata Dafa dengan  ramah, tapi memuakkan. 

Tanpa perlu repot-repot berramah tamah, Kiran masuk ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan berusaha menangkan diri. 

Bagaimana bajingan itu bisa hidup terhormat setelah menghancurkannya tak bersisa. 

Kiran mengepalkan tangannya dengan erat  saking eratnya sampai buku-buku jarinya memutih. 

Rasa marah berkumpul dalam dadanya. Andai saja dia tidak  pernah jatuh cinta pada bajingan itu...

Kiran menarik napas panjang dan berusaha mengendalikan dirinya. Dafa saat ini sama sekali tidak mengenalinya sebagai KIran dan itu menguntungkan untuknya. 

Perlahan Kiran bisa menguasai dirinya dan melangkah keluar, sekarang bukan Dafa yang ingin dia cari tapi informasi seputar laki-laki itu mungkin dia bisa menempel pada Batara seperti cicak saat laki-laki itu bertemu rekan bisnisnya. 

"Hai kamu tidak apa-apa? aku khawatir karena kamu terlalu lama di kamar mandi?" 

KIran sangat berharap saat ini dia setidaknya membawa kayu untuk memukuli laki-laki yang berdiri di depannya ini. 

Meski tak bisa membalas sakit hatinya paling tidak dia tidak akan bisa berdiri dengan pongah lagi. 

Dan dia melihat alat pel di sana, bersandar seolah menantangnya untuk mengunggunakannya menyakiti Dafa dan melampiaskan sakit hatinya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status