Bagaimana selanjutnya kehidupan Rosemaya setelah ditinggal ibunya? Ke mana juga Leo? Mengapa tak mendampingi istrinya yang sedang begitu kehilangan?
Tanah pemakaman Welly dan Bu Widi masih basah. Rosemaya bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya di antara dua gundukan tanah merah tersebut. Agama memang melarang kita menangisi mereka yang telah berpulang. Akan menjadi pemberat langkah mereka menuju fase kehidupan di alam selanjutnya. Namun kehilangan kali ini adalah pukulan telak yang sangat berat dalam hidup Rosemaya. Perempuan ini harus merasakan duka berkalang nestapa yang mengguncang jiwa. Sungguh begitu dalam kesedihan yang dirasakannya. Dua orang dari sumber semangat hidup Rosemaya telah direnggut paksa dari hidupnya. Mereka pergi dan tak akan pernah kembali. "Mengapa semua ini begitu beruntun terjadi padaku? Apa salah dan dosaku, ya Allah," keluh Rosmaya di sela isak tangisnya. "Sudah, Rose. Berhentilah menangisi mereka di makam. Tak patut kita berbuat demikian," bisik Bu Gina menguatkannya. Wanita itu memapah Rosemaya untuk bangkit dan melangkah meninggalkan area pemakaman. Mereka memasuki mobil SUV yang terparkir di depan sebuah TPU tempat Welly dan Bu Widi dikebumikan. Bu Gina mendudukkan Rosemaya di kursi penumpang, di dekat Leo suaminya. Sementara Bu Gina sendiri memilih duduk di sebelah sopir. "Lama amat! Aku tidak punya banyak waktu untuk menghadiri pemakaman ini!" tegas Leo sambil berdecak kesal. Lelaki itu melirik sinis Rosemaya, lalu kembali sibuk dengan telepon pintarnya. Leo begitu tak sabar sejak tadi. Menunggu prosesi pemakaman bu Widi, ibu mertuanya. "Sabarlah, Leo! Istrimu baru saja lehilangan ibunya!" tegas bu Gina."Aku sudah janjian dengan klien, Bu! Tidak bisa dibatalkan begitu saja!" tegas Leo berkeras. "Kamu ini manusia macam apa? Anakmu meninggal kamu hanya di rumah selama satu hari saja. Selanjutnya kamu bekerja! Terus bekerja tanpa pernah mendoakan anakmu sedikitpun! Sekarang ibuku meninggal! Apa yang ada di kepalamu sampai berkata setega itu padaku!" jerit Rosemaya histeris. Wanita itu menarik kerah kemeja Leo dan hampir mencekiknya. Ia mengguncang tubuh kekar Leo dengan segenap tenaganya. "Katakan padaku! Kurang sabar apa aku sebagai istrimu?" teriak Rosemaya tepat di muka Leo."Rose! Rose! Tenang, Rose!" seru Bu Gina dari bangku depan sambil membalikkan tubuhnya. Ia melerai menantu dan anaknya yang tengah berkelahi. Leo menghempas tangan Rosemaya dari kerah bajunya. Ia memandang istrinya semakin kesal. "Dia sudah gila, Bu! Kematian anakku dan ibunya membuat jiwanya terguncang!" seru Leo sinis.Mendengar pernyataan Leo membuat emosi Rosemaya semakin berkobar. Wanita yang sudah naik pitam itu merangsek naik ke atas tubuh kekar Leo dan mencekiknya."Kenapa tidak kamu saja yang mati! Kenapa tidak kamu saja yang mati menggantikan mereka berdua!" jerit Rosemaya sambil beruraian air mata. "Argh! Agh!" Leo nampak kesulitan bernafas. Entah tenaga dari mana yang membuat cekikan Rosemaya di lehernya Leo begitu kuat. Lelaki bertubuh kekar tersebut sampai tak bisa melepaskan tangan ringkih itu dari lehernya. Padahal kedua tangan yang mencekiknya sangat kurus, hanya tulang berbalut kulit."Rose! Hentikan, Rose! Dia suamimu! Hentikan, Nak!" teriak bu Gina panik.Sopir mobil SUV mereka menghentikan laju kendaraan. Ia turun dari bangku kemudi dan berusaha melerai pasangan suami istri tersebut. Namun tenaga Rosemaya seperti tak mengendur. Wanita dengan amarah membara itu semakin menguatkan cekikannya di leher Leo."Mati, Kamu! Matiii saja sekarang!" jerit Rosemaya semakin membabi buta. "Ya Allah, Rose! Istigfar, Nak! Sing eling!" teriak Bu Gina semakin panik"Ohok! Agh! Agh!" Leo terlihat semakin tersisksa dan tak bisa bernafas."Nyonya, tolong hentikan! Saya mohon, Nyonya," ujar sopir mereka putus asa. Lelaki itu berusaha menarik tubuh Rosemaya menjauh. Membantu Bu Gina yang sudah berpindah di bangku belakang dan memegani tubuh Rosemaya."Arggghhhhh!!!!!" jerit Rosemaya histeris sambil menghempaskan tubuh Leo hingga terjatuh keluar mobil. Tubuh Leo terjungkal menghantam aspal jalanan. Ia nampak tersengal dan membuka dua kancing kemejanya agar dapat bernafas. Stelan jas dan celana hitamnya kotor, terkena debu jalanan. "Rose, tenang ya. Istigfar, Nak! Banyak-banyak kamu beristigfar supaya diringankan beban hatinya," bisik Bu Gina yang telah berhasil memeluk Rosemaya. Ia membisikkan kalimat-kalimat thayyibah untuk mengagungkan asma Allah agar menantunya itu kembali tenang. Wanita itu tahu Rosemaya sedang dalam kondisi kejiwaan yang cukup terguncang. Kesedihan bertubi-tubi yang dialaminya menorehkan luka batin yang sangat dalam.Isak tangis Rosemaya tak terbendung. Ia tergugu mengeluarkan semua sesak di dadanya. Ia sedang berduka, sangat terluka, hanya ingin suaminya memeluk dengan penuh cinta dan berkata, "Tenang, semuanya akan baik-baik saja. Ada aku disampingmu sayang."Namun apa yanh dikatakan Leo sungguh membuat hatinya terluka. Bagai menabur garam pada luka yang masih berdarah. "Lihatlah, Bu! Dia sudah tidak waras! Dia sudah gila!" bentak Leo kesal. Lelaki itu telah berhasil bangkit dan membersihkan debu dari stelan jas mahalnya. Dalam isak tangisnya Rosemaya sempat memandang Leo penuh dendam. Amarah dalam dadanya kembali membuncah. Nyalang ditatapnya lelaki yang telah bersamanya selama hampir sembilan tahun itu. "Bawa pergi dia! Aku akan kembali ke kantor menggunakan mobil lain!" bentak Leo. Lelaki itu kemudian sibuk memainkan layar sentuh pada telepon pintarnya dan berusaha menelepon seseorang. Sopir mereka melakukan titah Leo tanpa banyak bicara. Segera ia berjalan menutup semua pintu mobil, lalu kembali duduk di balik kemudi. Setelah memasang sabuk pengaman, lelaki itu menoleh ke bangku penumpang dan bersiap menjalankan kendaraan. "Bagaimana, Bu? Kita jalan sekarang?" Sopir itu melempar tanya pada Bu Gina. "Jalan saja, Pak. Saya takut mereka ribut lagi jika berada dalam satu mobil," titah Bu Gina sambil membuka jendela. "Leo! Kami pulang dulu," pamitnya pada putranya itu.Lelaki itu mengangguk lalu membuang muka. Seolah sudah sangat muak melihat wajah wanita yang hampir saja membuatnya meregang nyawa.Samar Rosemaya mendengar suara Leo yang sedang berbicara di telepon. "Cindy! Jemput aku di lokasi yang tadi kukirimkan. Wanita gila itu mulai berbahaya dan menyerangku!""Cindy! Jemput aku di lokasi yang tadi kukirimkan. Wanita gila itu mulai berbahaya dan menyerangku!"Mata Rosemaya membelalak tak percaya. Leo itu menelepon wanita lain untuk menjemput setelah berkonflik dengannya. Berani betul Leo melakukan hal itu?Apakah dia sudah tidak ingin bersama Rosemaya lagi? Sungguhkah sejijik itu Leo padanya? Salah apa Rosemaya pada lelaki itu?Ketika dahulu seorang Leonardo Suniarta melamarnya hanya dengan modal uang seratus ribu, wanita itu menurut saja. Ketika lelaki itu berkata bahwa dia terpaksa di usir keluarganya yang non muslim karena menikahainya. Rosemaya dan keluargannya menerima pria itu dengan tangan terbuka. Bahkan ayah dan ibu Rosemaya mau menampung pasangan muda itu dalam rumah mereka yang sederhana di Surabaya.Harusnya Leo sama seperti Rosemaya. Turut merasakan kehilangan yang sanga
Hei, apa ini? Benarkah aku gila?"Rosemaya membuka mata dan ia telah berada dalam ruang serba putih dengan bau desinfektan serta obat-obatan yang menyengat. Sebuah tempat yang familiar, namun berbeda dengan kondisi kamar di istananya. Rosemaya menyadari ia tengah berada di tempat lain, bukan di rumahnya."Ah, aku di mana? Pukul berapa ini? Mengapa tak terlihat sinar mentari yang masuk dari sela-sela jendela?" tanya Rosemaya dalam hati.Ia ingin beranjak bangun untuk mengambil wudu serta melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Namun tubuh Rosemaya terasa kaku dan tak bisa digerakkan. Wanita itu yakin saat ini pasti telah subuh atau zuhur."Ah, mengapa tubuhku begitu kaku dan sulit di gerakkaan?" Kembali Rosemaya hanya bisa membatin tanpa bersuara.Dalam ruangan serba putih berukuran 3 x 5 meter persegi itu terdapat semua fasilitas lengkap. Ada televisi yang menyala dan sedang m
Leo menoleh dan memicingkan matanya tak percaya. Apakah Rosemaya, istrinya telah sadar?Perlahan Leo memeriksa tubuh Rosemaya yang terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Tubuh yang tengah tak sadarkan diri itu tertutup selimut hingga dada. Nampak tenang dan lelap. Sesekali matanya bergerak-gerak."Ah ... mungkin ini fase tidur REMnya. Bisa jadi otaknya aktif bekerja saat mimpi buruk itu kembali mengganggunya," pikir Leo menenangkan diri. Pria itu menghela napas dan meninggalkan Rosemaya di atas ranjangnya.Leo tak curiga meski melihat mata Rosemaya bergerak. Lelaki itu paham betul tentang fase tidur seseorang. Pada fase REM (RapidEyeMovement), mata akan bergerak-gerak akibat aktifitas otak dan detak jantung yang meningkat.Lelaki itu lalu memeriksa ke sekeliling ruangan untuk melihat benda apa yang
"Pergi ...! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mer ...."Suara bu Widi terdengar sangat lirih, terputus-putus dan tidak jelas. Berkali-kali Rosemaya berusaha mendengarkan dengan saksama. Namun kalimat demi kalimat yang terpotong membuat Rosemaya tidak dapat merangkainya dengan tepat.Rosemaya yang panik terus menangis. Menggenggam erat tangan bu Widi yang denyut nadinya semakin melemah. Samar-samar ia mulai dapat membaca gerak bibir bu Widi."Pergi, selamatkan dirimu! Larilah sejauh mungkin! Berhati-hatilah dengan mereka!"Setelah mengucapkan pesan kematiannya, bu Widi menghembuskan napas terakhirnya. Seketika itu juga genggaman tangannya pada jemari Rosemaya mengendur dan terlepas."Ibu! Ibu! Tidak, Bu! Jangan pergi! Jangan tinggalkan, Rose!" jerit Rosemaya histeris.Bersamaan itu sebuah sinar putih menyilaukan kembali membungkus tubuh Rosemala. Menyeret wanita itu
"Halo! Leo! Kamu di mana?"Bu Gina menghubungi suami Rosemaya yang kini entah berada di mana. Ia terdengar mengobrol dengan anak lelakinya itu. Mengabarkan berita bahagia yang baru saja dilihatnya."Leo! Leo! Rose, istrimu sudah sadar! Datanglah kemari, Nak," ujar bu Gina bahagia.Hening! Bu Gina terdiam untuk beberapa saat. Seperti sedang mendengarkan ucapan Leo di seberang sana."Jenguklah dia sebentar, bagaimanapun Rose adalah istrimu," ujarnya lirih. Sorot muka kecewa tampak jelas di wajahnya.Sayangnya obrolan bu Gina dan Leo hanya sayup-sayup saja tertangkap telinga Rosemaya. Ia jadi tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Yang Rosemaya tahu meski kabar bahagia itu datang, Leo tak akan datang menjenguknya malam ini.Lelaki itu telah be
Sementara di tempat lain. Istana itu kini tampak sepi. Hanya Bu Gina sendiri yang tinggal di sana. Wanita paruh baya itu terlihat tegar meski mungkin hatinya banyak menyimpan luka.Sambil menyesap teh madunya, Bu Gina melihat mobil Leo meluncur memasuki gerbang istana yang lengang. Tak butuh waktu lama bagi Leo untuk turun dari mobilnya dan memasuki rumah."Bu! Aku pulang," ujar Leo sambil tersenyum dikulum.Lelaki itu mencium tangan Bu Gina takzim. Lalu duduk di hadapan Bu Gina dan meminta pelayan menyiapkan minuman untuknya."Kau dari mana?" tanya Bu Gina."Aku baru saja menghadiri peresmian klinik ketujuku, Bu," jawab Leo berbinar. Anak lelaki Bu Gina itu memang selalu nampak bahagia saat membicarakan kesuksesan bisnisnya."Tujuh? Bagaimana bisa sepesat itu? Bersama Rose, kalian masih mengelola tiga klinik saja," ucap Bu Gina. Ada rasa bangga terselip pada putra semata
Sebenarnya apakah ini benda yang terbungkus rapi itu? Mereka rupanya tak ada yang menyadari bahwa bungkusan putih yang bagi mereka tak berharga itu adalah sebuah kunci. Kunci yang suatu saat akan menguak tabir kejahatan mereka. Nanti ketika mereka harus membayar dosa-dosa yang mereka perbuat. Kejahatan akan kalah, ketika kebenaran telah menampakkan sinarnya. *** Leo turun dari mobil SUV hitam miliknya. Kali ini bukan Rosemaya yang turun dari kursi penumpang seperti biasanya. Melainkan telah berganti seorang wanita muda yang tengah menggandeng bocah kecil berusia tiga tahun. "Papa, Papa! Ini rumah baru kita, Pa? Papa belikan rumah ini untuk Gio dan Mama?" tanya Giovani terbelalak bahagia. Bocah berusia tiga tahun itu begitu girang melihat istana mereka yang baru. Ia sampai tak sabar turun dari mobil dan berlarian di halaman. "Iya, sayangnya papa. Semua ini untuk Gio, hadiah untuk dua kesayangan papa,
Sementara di tempat lain Rosemaya tengah berjibaku kengeriannya sendiri."Hihihi ... Rosemayaaaa! Hihihihi ... Rosemaya! Hihihi! Rosemayaaaa!"Malam itu, suasana kamar pasien 304 kembali mencekam. Suara-suara tawa dan panggilan mengerikan kembali dialami Rosemaya.Perempuan itu sampai harus bersembunyi di dalam gulungan selimut. Ia menangis ketakutan setiap suara-suara itu mengganggunya."Tidak! Tidak! Pergi jangan mendekat! Aku tidak bersalah! Aku bukan orang jahat!" jerit Rosemaya di setiap tengah malam hingga menjelang dini hari.Wanita itu jadi semakin kurus dengan kantung mata menghitam tebal. Ia tak pernah bisa tidur. Malam-malamnya diliputi ketakutan dan kecemasan."Roseee! Rosemaya hihihihi!"Rosemaya yang bersembunyi di balik selimut, menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar panggilan itu.