Beranda / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 92. Pertanyaan Terakhir

Share

Bab 92. Pertanyaan Terakhir

Penulis: Imgnmln
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-04 19:55:00

Rayden kembali mengunjungi paviliun teh Keluarga Altair. Kali ini, ia tidak datang melalui bayang-bayang atau sebagai penyusup. Ia berjalan melewati gerbang utama yang terbuka lebar, diundang secara resmi, langkahnya mantap di atas jalan setapak yang sama di mana ia pernah diancam oleh dua Grandmaster. Taman yang tadinya porak-poranda kini telah dirapikan, namun gema dari pertarungan itu seolah masih tertinggal di udara.

Tetua Agung Altair telah menunggunya di paviliun yang sama. Ia sedang menuangkan teh, gerakannya tenang dan anggun. Saat Rayden tiba, ia mengangkat kepalanya, dan sebuah senyum tipis yang rumit tersungging di bibirnya.

"Aku tahu kau akan kembali," katanya, suaranya terdengar seperti desau angin di antara daun-daun bambu.

Rayden tidak membalas basa-basi itu. Ia duduk di seberangnya, mengambil alih kendali percakapan sejak awal. "Aku tidak datang untuk minum teh, Tetua," katanya, nadanya dingin dan lugas.

Tanpa menunggu jawaban, ia mengaktifkan proyektor holografik keci
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 97. Restu Keluarga Baru

    Alesia merapikan gaun sutranya yang sederhana untuk kelima kalinya di depan cermin. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan, sebuah gestur yang sama sekali tidak cocok dengan citranya yang biasanya penuh percaya diri."Aduh, aduh, ini lebih menegangkan daripada berjalan di karpet merah di hadapan ribuan kamera!" keluhnya pada Mireya, yang sedang menunggu dengan sabar di dekat pintu. "Bagaimana jika dia tidak menyukaiku? Bagaimana jika dia pikir aku terlalu berisik? Atau terlalu... yah, terlalu Alesia?"Mireya tersenyum menenangkan. "Jadilah dirimu sendiri, Ale," katanya lembut. "Raelyn adalah gadis yang cerdas. Ia akan melihat hatimu, bukan penampilanmu."Di ruang utama markas, suasana terasa berbeda. Tidak ada lagi ketegangan dari strategi perang atau perburuan. Udara dipenuhi oleh antisipasi yang sunyi.Raelyn duduk dengan anggun di kursi rodanya di dekat jendela, punggungnya lurus, tangannya terlipat dengan tenang di pangkuannya. Ia telah meminta untuk me

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 96. Syarat Seorang Adik

    "Syarat?"Raelyn mengangguk, tatapannya yang jernih dan serius tidak goyah sedikit pun. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang gadis remaja yang rapuh, melainkan seperti seorang ratu muda yang sedang mendiktekan persetujuannya."Aku tahu kau harus pergi ke tempat berbahaya itu untuk menyelesaikan urusan kita," katanya, suaranya tenang dan mantap. "Dan aku tidak akan menjadi penghalangmu. Aku akan pergi ke desa yang kau ceritakan itu dan berlatih hingga sembuh total."Ia berhenti sejenak, menatap lurus ke mata kakaknya. "Tapi aku juga tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini."Rayden mengerutkan kening, tidak mengerti. "Aku tidak akan sendirian. Kak Mire dan yang lain—""Tepat," sela Raelyn. "Mereka. Itulah syaratku."Ia menarik napas dalam-dalam, suaranya kini dipenuhi oleh rasa peduli yang dalam dan tulus. "Sebelum aku pergi ke desa itu, aku ingin bertemu mereka. Wanita-wanita yang ada di hidupmu sekarang. Kak Mireya, Kak Alesia, dan Kak Kara. Aku ingin melihat dengan mataku sendi

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 95. Percakapan di Ambang Jendela

    Raelyn menatap kakaknya yang berdiri di ambang pintu, ekspresinya begitu serius hingga membuat udara di dalam kamar terasa berat. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang penuh dengan pemahaman yang melampaui usianya, seolah ia bisa melihat langsung ke dalam badai yang berkecamuk di benak Rayden."Aku tahu," katanya lembut, suaranya yang jernih memecah keheningan. "Ini tentang kepergianmu, kan?"Rayden tertegun sejenak oleh intuisi adiknya. Ia mengira harus memulai percakapan ini dengan hati-hati, menyusun kata-kata yang tidak akan menyakitinya. Namun Raelyn, seperti biasa, selangkah lebih maju darinya. Ia masuk dan menutup pintu di belakangnya, lalu duduk di kursi di samping jendela, tempat Raelyn kini sering menghabiskan waktunya menatap dunia luar yang telah lama hilang darinya.Cahaya senja yang keemasan menyusup melalui kaca jendela, menyinari profil mereka dan menaburkan debu-debu emas di udara yang tenang."Bukan hanya itu," jawab Rayden pelan, matanya menatap ke luar, pada bayan

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 94. Satu-Satunya Tempat Aman

    Raelyn, yang duduk di tepi ranjangnya, dengan lembut menyentuh lengan kakaknya yang menegang. Ia bisa merasakan badai frustrasi yang berkecamuk di dalam diri Rayden, meskipun pria itu tidak menunjukkannya di wajahnya."Jangan khawatirkan aku, Kak," katanya dengan suara yang tenang, sebuah kedewasaan yang lahir dari penderitaan bersinar di matanya. "Bisa kembali seperti ini saja sudah merupakan sebuah keajaiban bagiku."Kata-kata Raelyn yang penuh pengertian itu, alih-alih menenangkan, justru terasa seperti tamparan bagi Rayden. Ia merasa gagal. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyembuhkannya sepenuhnya, untuk menghapus semua jejak dari malam yang mengerikan itu.Tanpa sepatah kata, ia berbalik dan berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Raelyn dalam keheningan. Ia butuh ruang untuk berpikir.Ia melangkah ke ruang utama yang remang-remang, pikirannya berkecamuk. Ia dihadapkan pada sebuah dilema yang menyakitkan, sebuah persimpangan jalan di mana setiap pilihan terasa sala

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 93. Dinding yang Tak Terlihat

    Rayden menutup proyeksi holografik dari peta bintang kuno itu. Kunci Spasial di tangannya terasa dingin dan berat, sebuah janji akan konfrontasi yang akan datang di dunia lain. Ia menggenggam artefak itu sejenak, merasakan kekuatan ruang yang tertidur di dalamnya, sebelum akhirnya menyimpannya kembali ke dalam cincinnya."Kunci ini bisa menunggu," gumamnya pada diri sendiri, matanya yang tajam kini beralih ke arah koridor sunyi yang menuju kamar adiknya. "Ada hal yang lebih penting."Ia melangkah masuk ke dalam kamar Raelyn. Ruangan itu terasa hangat dan damai. Adiknya sedang duduk di tepi ranjang, tidak lagi terbaring tak berdaya. Dengan bantuan herbal spiritual terbaik dari gudang Moyes dan perawatan telaten Rayden selama berminggu-minggu, kondisinya telah membaik pesat. Warna telah kembali ke pipinya, dan cahaya di matanya, meskipun masih sedikit rapuh, kini jernih dan penuh kehidupan."Kakak," sapa Raelyn dengan senyum lembut saat melihatnya masuk.Rayden membalas senyum itu. "Bag

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 92. Pertanyaan Terakhir

    Rayden kembali mengunjungi paviliun teh Keluarga Altair. Kali ini, ia tidak datang melalui bayang-bayang atau sebagai penyusup. Ia berjalan melewati gerbang utama yang terbuka lebar, diundang secara resmi, langkahnya mantap di atas jalan setapak yang sama di mana ia pernah diancam oleh dua Grandmaster. Taman yang tadinya porak-poranda kini telah dirapikan, namun gema dari pertarungan itu seolah masih tertinggal di udara.Tetua Agung Altair telah menunggunya di paviliun yang sama. Ia sedang menuangkan teh, gerakannya tenang dan anggun. Saat Rayden tiba, ia mengangkat kepalanya, dan sebuah senyum tipis yang rumit tersungging di bibirnya."Aku tahu kau akan kembali," katanya, suaranya terdengar seperti desau angin di antara daun-daun bambu.Rayden tidak membalas basa-basi itu. Ia duduk di seberangnya, mengambil alih kendali percakapan sejak awal. "Aku tidak datang untuk minum teh, Tetua," katanya, nadanya dingin dan lugas.Tanpa menunggu jawaban, ia mengaktifkan proyektor holografik keci

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status