Fatma merasa geram mendengar permohonan mantan madunya."Aku ga bisa bantu, maaf!" tegasnya yang membuat Wirda semakin dilanda rasa bimbang.Bagaimana tak panik seorang perawat menyuruhnya untuk membayar biaya administrasi secepatnya, karena Ahza harus segera di pindahkan ke ruang rawat inap dengan segera.Sementara dirinya tak membawa uang lebih, bisa saja menjual kalung atau perhiasan lainnya. Namun, ia enggan lakukan itu, sayang jika perhiasan itu harus terjual."Mbak ini kenapa sih sekarang berubah? inget! Mas Ahza itu masih ada hak terhadap Mbak, kalian masih masa Iddah belum bercerai resmi, Mbak mau berdosa karena ga mau ngurus suami sendiri?!"Wirda pun mulai meluapkan emosi, lebih tepatnya ia tak ingin menghadapi kesulitan ini seorang diri, Fatma juga harus ikut andil dalam mengurus Ahza. Fikiranya.Fatma terkekeh, ia faham betul apa yang di maksud Wirda, sebenarnya ia tak ingin melalui kesulitan ini seorang diri.Curang!Licik!Disaat sulit mereka mencari sedangkan disaat sen
"Gimana, Ahza? apapun akan Mbak lakukan agar kamu dan Fatma bisa bersama lagi, Mbak yakin dia itu jodoh terbaik yang akan menemani masa tuamu kelak."Ahza dan Wirda terdiam, jika Wirda sedang dalam puncak emosi berbeda dengan Ahza, pria itu nampak menghela napas lalu menatap sang kakak dan menunduk lagi.Pilihan konyol!Untuk kedua kalinya ia terjebak dalam pilihan itu, tak dapat dipungkiri Ahza pun teramat menyayangi Wirda. Namun, ternyata berpisah dengan Fatma adalah sebuah musibah besar.Jika bisa ia ingin bersama dengan keduanya, tanpa harus ada yang ditinggalkan.Wirda menepuk pelan paha suaminya, sebagai tanda jika ia tak nyaman dengan hadirnya Mbak Hafsa, penghalang kebahagiaannya selain Fatma."Ahza, Mbak rela, ridho kalau semua warisan dari ayah di berikan ke kamu, asal kamu dan Fatma kembali, dan duri yang menempel diantara kalian harus enyah dan lenyap."Degh!Ada sesuatu yang menghantam dada Wirda, benarkah dirinya duri di kehidupan Ahza?Keterlaluan kamu, Mbak!.Aku bukan
Dada Wirda naik turun. Namun, ada sedikit kepuasan karena ia bisa memecahkan unek-uneknya, biarlah ia dan kakak iparnya akan menjadi musuh, yang penting Ahza tak lagi berpaling pada masa lalunya.Ia cinta dan sayang Ahza!"Diam kamu! Ahza itu adikku, kita lahir dari rahim yang sama juga diasuh oleh orang yang sama, aku ga akan biarkan dia berada di jalan yang salah," Balas Mbak Hafsa tak kalah sengit.Ruangan rawat inap itu sudah berubah menjadi Medan pertempuran. Wirda mendengkus dan mencebik. Merasa tak menerima dengan penuturan kakak iparnya apakah hanya Fatma wanita shaliha di dunia ini? aku juga mampu, bahkan sanggup menjadi pribadi yang lebih baik dari mantan kakak madunya itu, batinnya."Sudah-sudah, ini rumah sakit ga baik bertengkar di sini, oh ya, Mbak aku ucapkan terima kasih karena sudah menjengukku.""Aku katakan sebaiknya Mbak ga usah ikut campur tentang masalah rumah tanggaku ya, biarkan aku jalani semua ini sendiri, Fatma sudah sangat membenciku jadi kami tak mungkin
Suasana di sekitar menjadi riuh, orang-orang berbondong-bondong melerai pertikaian dua wanita beda generasi tersebut."Lepaskan! Wanita ini akan kuhajar!" Wirda berusaha berontak dari cekalan beberapa pria yang berusaha melerainya.Sedangkan Mbak Hafsa, ia tertatih untuk bangun, beberapa ibu-ibu berusaha membantunya berdiri."Lihat saja, aku akan laporkan kamu ke polisi, kamu akan mendekam di penjara, sementara itu Ahza dan Fatma akan rujuk kembali."Mbak Hafsa menyeringai puas, tindakan yang Wirda lakukan bisa menjadi senjata untuk menyerang balik dirinya."Mbak, aku minta vidionya, barusan Mbak rekam 'kan?" Walau dalam keadaan diserang. Namun, ia sangat hafal jika wanita yang tak dikenalinya itu merekam kejadian barusan."Iya, Mbak boleh." Mbak Hafsa tersenyum puas."Bapak-Bapak, bisa bantu saya untuk menjauhkan orang ini?""Baik, Mbak," ucap seorang pria yang sedang memegangi tangan Wirda, lantas mereka menyeret Wirda menjauh.Sekarang Vidio beberapa detik itu sudah terkirim, Vidi
Satu Minggu sudah Ahza berada di rumah sakit, kini waktunya ia pulang ke rumah, tak ada Wirda ataupun Fatma di sampingnya.Hanya Mbak Hafsa yang setia menemani dan membantunya selama di rumah sakit."Ayo Ahza kita pulang sekarang barang-barangmu sudah siap."Mereka berdua beranjak, di luar sana sebuah taxi yang dipesan melalui aplikasi sudah terparkir menunggunya."Uwais pasti seneng lihat kamu pulang," ucap Mbak Hafsa.Wanita itu terus berbicara walau Ahza tak menanggapi, sengaja Ahza mendiamkan kakaknya sebagai hukuman karena Mbak Hafsa tak juga mencabut tuntutannya terhadap Wirda.Ahza sudah kehilangan Fatma, dan sekarang dia juga tak ingin kehilangan Wirda, ia tak sanggup jika hari-harinya akan dijalani dengan sunyi tanpa hadirnya seorang istri."Ahza, kita mau beli apa buat oleh-oleh kedua anakmu?"Kesekian kalinya Ahza diam, pandangannya sibuk melihat mobil-mobil dan pepohonan di luar sana, ia tak ingin berbicara sebelum sang kakak mencabut tuntutannya pada Wirda."Ahza! Sampai
Suara Uwais dan Fatimah yang sedang bermain di ruang keluarga, Ahza melangkah mendekati kedua anaknya, dengan harap mereka akan menyambut kedatangannya seperti yang biasa mereka lakukan.Namun, prasangka itu salah, baik Uwais ataupun Fatimah keduanya tak ada yang berhambur memeluk dan menyambutnya seperti hari-hari yang lalu.Perih, bagai tersayat hati Ahza mendapati kedua anaknya begitu acuh, seolah dia orang lain."Uwais, mainnya sudah ya, Nak, sekarang mandi sebentar lagi 'kan mau belajar bahasa arab sama Pak ustaz."Terdengar suara Fatma yang mulai mendekat, Uwais lari menuju kamar menghampiri ibunya, tak lama sosok Fatma muncul tanpa mengenakan hijab.Wanita itu terperanjat hingga kalimat istighfar keluar dari mulutnya, ia cepat-cepat menggendong Fatimah dan berlari menuju kamar karena menyadari jika auratnya terlihat oleh Ahza yang kini bukan lagi mahromnya.Ahza melangkah lalu duduk di sofa, merenungi diri Yang diselimuti rasa sepi, ia berada di rumahnya sendiri. Namun, semua p
Denting jam menemani Ahza yang sedang meringkuk di pembaringan, udara dingin menyapu wajah piasnya, matanya mengerjap lalu membulat sempurna, diliriknya sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 08.00 pagi.Pantas saja udara dingin menyeruak menyentuh pori-pori kulitnya, udara puncak Bogor memang sangat dingin terutama di pagi hari dan malam.Sejak sahur tadi ia ketiduran hingga lupa menjalankan salat subuh, biasanya ada Fatma yang selalu membangunkan jika dirinya tidur kebablasan, kini ia benar-benar kehilangan sosok itu.Ah, entah kapan otak ini berhenti memikirkan Fatma, wanita yang sudah 100 persen mengabaikannya, bahkan ia tak peduli pada Ahza yang bersantap sahur hanya dengan segelas air putih.Untuk apa peduli, bahkan ia sendiri tak pernah peduli pada hatinya yang terkoyak saat dulu membawa Wirda ke rumah ini sebagai madunya.Tak hanya itu ia juga kerap bersikap berat sebelah, dengan lebih mengutamakan Wirda dari pada Fatma dan kedua anaknya.Lelaki sepertiku memang tak pantas
"Fatma, Mas dan Wirda mau bicara sama kamu," ucap Ahza sesaat setelah tangannya mengetuk pintu kamar Fatma."Cepat."Fatma melengos membuang muka, terlalu lama berdiri di hadapan keduanya, membuat ulu hati terasa mual hingga ingin memuntahkan seluruh isi perutnya."Kita duduk di sofa saja ya, biar enak ngobrolnya," pinta Ahza seraya tersenyum sungkan.Sedangkan Wirda nampak tak sabar ingin mengetahui keputusan Fatma segera."Ya."Lalu mereka serempak melangkah menuju sofa dan duduk di atasnya."Gini, emm ...."Ahza ragu lalu ia melirik Wirda sekilas, sorot mata Wirda menyorot dengan tajam, sebagai kode agar Ahza cepat mengatakan maksud dan tujuannya.Tak dapat dipungkiri Wirda juga merasa risih duduk dan bertatap muka dengan mantan kakak madu, wanita itu menginginkan Fatma segera enyah dari rumah ini juga kehidupannya.Jiwa serakahnya meronta bukan hanya menginginkan Ahza seutuhnya. Namun, ia juga ingin menguasai seluruh aset."Gini, Mas 'kan butuh modal untuk membangun usaha kembali