Share

Bab 4

last update Last Updated: 2024-12-22 08:34:08

"Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu.

"Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu.

"Revan, kan?" tanyanya lagi.

Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti."

"Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi.

"Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?"

"Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."

Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?"

"Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali.

"Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?"

"Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror."

"Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati makan malam ini.

***

Aku cukup tahu diri, setelah makan kubantu dia mencuci piring dan gelas. Sementara Bang Juned mengelap meja makan. "Bang, aku duluan." Sejak tadi mulutku tak berhenti menguap.

"Hem. Jangan lupa matikan lampu!" balasnya, masih terus mengelap meja.

"Iya-iya."

Akan tetapi, sampai di kamar aku malah tak jadi mengantuk. Kamar ini terlihat tak begitu luas. Apalagi tempat tidurnya. Terlihat sangat sempit jika dipakai berdua. Dan aku, memang tak mau tidur berdua dengan Bang Juned di sana.

Kutarik selimut dan bantal yang ada di atas tempat tidur lalu merebahkan di sofa panjang dalam kamar ini. Aku pun langsung terlelap karena kekenyangan sekaligus lelah. Entah sudah jam berapa sekarang, saat aku terbangun karena tenggorokan kering. Tiba-tiba saja tubuhku sudah berada di atas tempat tidur dengan selimut menutupi sekujur tubuh.

Sontak mataku langsung melotot dan segera mengecek pakaian. Untungnya masih lengkap, dan pikiranku spontan langsung mengarah ke hal-hal yang tidak wajar tadinya. Setelah menghela napas lega, kini aku melihat Bang Juned yang tidur di atas sofa panjang. Apa dia yang mengangkatku ke sini tadi?

Setelah meneguk air putih di atas nakas, tak lama kudengar suara azan dari luar. Lelaki itu mulai menggeliat. Dia langsung duduk, dan menatapku. "Udah bangun?"

"Udah. Kenapa Abang tidur di situ?" tanyaku balik.

"Maunya sih tidur di sebelah kamu. Tapi, takut kamu mukul tadi malam karena kaget."

"Ih, ya jelas kaget lah."

"Ya udah, kamu duluan gih ke kamar mandi. Siap-siap salat Subuh!"

"Abang duluan aja! Aku kan enggak sholat."

"Oh iya, aku lupa. Ya udah." Bang Juned lantas berdiri, lalu dia pergi ke kamar mandi.

Pagi yang begitu cerah, udara segar menerpa wajahku setelah membuka mata. Kulihat jendela sudah terbuka dan tampak pria gagah merapikan kancing bajunya di depan cermin. "Udah bangun kamu?"

"Bang!" Aku tersentak. "Jam berapa ini? Kenapa enggak bangunkan aku?" Aku segera turun dari kasur dan mencari handuk.

"Habisnya kamu kayak kecapekan banget. Enggak tega aku bangunkan kamu. Ditinggal mandi sebentar saja, tidur lagi. Untungnya aku enggak jadi khilaf." Dia tertawa.

"Apa? Khilaf? Awas saja kalau kesampaian!"

"Ya udah mandi buruan! Apa mau dimandiin?" Dia malah tertawa. Menyebalkan sekali baru dua hari menjadi istrinya.

Yang tadi katanya tidak bisa mengantar ke tempat kerja, nyatanya lelaki itu sanggup mengantar. Dia mengantar sampai ke depan gerbang, lalu memintaku untuk selalu berkabar dengannya nanti kalau sudah ada waktu.

"Jangan lupa makan bekalnya! Kamu kan enggak sempat sarapan tadi," katanya setelah aku melepas sabuk pengaman.

"Iya-iya, Kang Bawel."

"Panggilnya yang romantis napa, sih?" Dia mulai memasang wajah kesal.

"Iya-iya, Bang Juned."

"Dibilang aku bukan Juned. Juna! J U N A!"

"Hem. Iya-iya." Saat aku akan keluar, dia malah mengunci pintu mobilnya.

Seketika aku langsung ikut kesal. "Bukain kuncinya, Bang!"

"Salim dulu, dong! Sama suami gitu aja masa pakai diajarin? Apa malam pertama nanti juga perlu diajarin juga?"

"Heh! No! Enggak akan ada malam pertama atau seterusnya, ya!"

Andai ada sandal jepit, mungkin aku sudah menggigitnya. Lelaki ini membuatku gemas pagi-pagi. Apalagi senyumannya yang dia sengaja itu. Aku pun terpaksa menuruti apa maunya. Untung masih sebatas salim tangan, bukan yang lainnya.

"Yakin cuman cium tangan?" Dia kembali membuatku bersungut.

Lepas itu pun aku keluar dari mobil setelah dia membuka smart lock mobil. Aku berjalan dengan buru-buru karena ada janji dengan Vivian--sahabatku untuk membahas soal kerjaan. Namun, sampai di lorong gedung ini malah bertemu dengan Revan. Lelaki itu tersenyum melihatku datang.

"Nisa ...." Dia hendak memelukku. Akan tetapi, aku pun langsung menjauh.

Aku tak mau mendengarkan apa pun yang akan dia katakan. Tak sampai di situ, Revan mengejarku. Dia tak henti-hentinya menarik tanganku ketika telah mendapatkanku. "Tunggu, Nisa!"

"Apa lagi sih, Van!" bentakku saking emosinya.

"Kamu sekarang manggil aku dengan nama?" Dia kaget saat aku sudah tidak lagi memanggilnya dengan sebutan kesayangan.

"Harusnya apa?"

"Kamu udah enggak sayang lagi sama aku, Nisa?"

"Mimpi kamu, Van!"

"Nisa! Aku mau bicara!" Dia kembali menarik tanganku saat aku akan pergi.

"Apa, sih! Jangan sentuh aku!"

"Aku sama April enggak ada hubungan apa-apa, Nisa."

"Aku enggak peduli! Bukan urusanku!"

"Nisa, plis, kita balikan, ya! Aku masih mencintaimu."

"Lepaskan tanganku, Van! Atau aku teriak."

Dia langsung melepaskannya. "Oke. Aku lepaskan. Tapi, aku butuh waktu bicara denganmu. Tolonglah, Nis. Percayalah padaku."

Mungkin semua orang akan mengataiku bodoh karena masih mau mendengarkan ucapan lelaki yang sudah berkhianat ini. Siang itu setelah selesai kuliah, dia mengajakku ke sebuah restoran untuk makan siang. Meskipun aku tahu dia sudah bermain api di belakangku, perasaanku padanya belum sepenuhnya hilang.

Apa karena aku terlalu mencintainya dahulu? Hatiku menjerit saat berpikir dengan logika. Kenapa aku bisa duduk bersama dengannya di sini? Aku menunduk sejak tadi. Dan Revan, mulai menyentuh tanganku.

"Jujur, Nis, aku melakukan itu semua karena aku butuh uang. Semua itu atas permintaan seseorang yang menginginkan kehancuran hubungan kita," ucapnya dengan wajah begitu sedih.

"Apa?" Aku terkejut sejadi-jadinya. "Siapa yang menyuruh kamu?"

"Aku tidak bisa bilang. Aku diancam. Tapi, jujur aku menyesal sekali gagal menikah denganmu."

Entah benar atau tidak, rasanya sakit itu kembali menghapus kebencian di hatiku. "Kalau kamu enggak mau bilang, berarti kamu bohong!"

"Aku serius, Nisa. Percayalah padaku! Nanti sore, kamu ada acara enggak? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?" Aku mengernyit.

"Ada kejutan buat kamu. Yang jelas, kamu tidak akan menyesal."

Haruskah aku percaya dengan lelaki ini? Sebenarnya dia ini seperti apa? Lima tahun aku mengenalnya, rasanya belum cukup untuk menjelaskan siapa dia. Aku masih diam dan tidak memberi jawaban.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   105

    "Aku enggak nyangka, masa anak baru umur berapa bulan, udah positif lagi." Humaira mengeluh. "Hem, gimana lagi, Sayang. Udah terlanjur juga. Kamu gimana? Masih kuat, kan? Masih muda juga." Aku tertawa saat Humaira mencubit perutku. Kami duduk di kursi ayunan samping rumah sambil menimang balita kecil itu. "Mas Jaya," panggil kekasihku itu. Aku sangat mencintainya. "Ada apa, Sayang?" Kubelai rambutnya yang tergerai panjang. Kebetulan area sini masih private, tak ada yang boleh masuk setelah kukunci pintu samping. Tukang kebun yang ingin merawat tanaman pun kuminta nanti saja. Sampai istriku puas menikmati waktu berdua denganku dan anak kami. "Mas. Mas sayang enggak sama aku?""Kamu beneran nanya ini sama aku? Kenapa, Sayang? Apa kamu masih ragu?" Aku kaget dia tanya seperti itu. Padahal, aku sangat mencintainya."Aku dengar, perempuan kalau sudah melahirkan, sudah enggak cantik lagi. Suaminya pasti udah enggak berselera lagi.""Eh, kata siapa? Aku enggak gitu. Kamu percaya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status