Johan duduk termenung di meja kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang harus dia selesaikan untuk proyek pertamanya. Meski perasaan kecewa masih mengganggunya akibat kegagalan dalam presentasi beberapa hari yang lalu, dia tidak menyerah. Ujian yang dia hadapi bersama Butra Wijaya menjadi titik balik yang membangkitkan tekadnya.
Selama beberapa hari terakhir, Johan terus berusaha keras untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Setiap masalah yang datang, ia hadapi dengan kepala tegak. Setiap kesulitan yang ia temui, ia pecahkan dengan cara yang berbeda. Meski hasilnya belum sempurna, dia merasa bahwa dirinya semakin berkembang. Namun, suasana di kantor tidak selalu mendukung. Beberapa kolega Butra mulai mengamati kehadiran Johan dengan pandangan meremehkan. Mereka berbisik di sudut-sudut ruangan, memandangnya dengan tatapan sinis. Sebagai menantu keluarga Hartono yang tidak dihargai, mereka melihatnya hanya sebagai orang yang tidak berkompeten, hanya beruntung bisa bekerja di perusahaan besar seperti ini. Johan tahu bahwa ia harus membuktikan dirinya tidak hanya kepada Butra, tetapi juga kepada semua orang yang meremehkannya. Setiap hari, dia datang lebih awal, pergi lebih larut malam, dan terus mengasah dirinya. Tapi ia sadar, ada satu hal yang lebih penting daripada sekadar bekerja keras—ia harus bekerja dengan cerdas. Pada suatu pagi, Butra mengundangnya untuk berbicara di kantornya. “Johan, aku melihat bagaimana kerasnya kamu berusaha, tapi aku ingin melihat lebih dari itu. Kerja keras memang penting, tetapi kerja cerdas itu yang lebih penting. Aku ingin kamu lebih memahami bisnis ini. Jangan hanya fokus pada satu proyek—lihatlah gambaran besarnya,” kata Butra dengan bijak. Johan mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Butra. Itu adalah nasehat yang sangat berharga. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada detail kecil dan tidak melihat gambaran besar yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Butra melanjutkan, “Jika kamu ingin sukses di sini, kamu harus mulai berfikir seperti seorang pemimpin. Kamu harus bisa memimpin timmu, mengatur waktu dengan efisien, dan melihat peluang yang orang lain tidak lihat. Jangan ragu untuk mengambil inisiatif.” Setelah pertemuan tersebut, Johan merasa tercerahkan. Ia menyadari bahwa selama ini ia hanya bekerja sesuai arahan, tanpa pernah mencoba untuk memahami gambaran besar. Dengan pelajaran itu, dia mulai merubah cara pandangnya terhadap pekerjaan. Alih-alih hanya mengerjakan apa yang diberikan kepadanya, dia mulai mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan hasil yang lebih baik. Hari demi hari, Johan semakin membuktikan dirinya. Dia mulai berinteraksi dengan tim lebih baik, memberikan solusi yang lebih inovatif, dan memimpin proyek-proyek kecil dengan cara yang lebih efektif. Meski banyak orang masih meragukannya, perlahan-lahan, dia mulai mendapatkan pengakuan. Suatu hari, Butra kembali memanggilnya untuk sebuah pembicaraan. “Johan, kamu telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Aku melihat bahwa kamu mulai memahami apa yang seharusnya dilakukan. Aku ingin kamu mengelola proyek yang lebih besar. Ini adalah kesempatan besar untuk membuktikan dirimu,” kata Butra, memberikan Johan sebuah tantangan baru. Johan merasa terkejut, namun dia tahu ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Johan merasa lebih yakin dari sebelumnya. Semua kerja kerasnya mulai membuahkan hasil. Dia sadar bahwa hanya dengan tekad yang kuat dan belajar dari setiap kegagalan, dia bisa mencapai sesuatu yang lebih besar. Ini bukan hanya tentang membuktikan dirinya kepada orang lain, tetapi juga tentang membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dia bisa menjadi lebih dari apa yang orang-orang pikirkan. Saat ia kembali ke meja kerjanya, Johan merasa bahwa kebangkitannya baru saja dimulai. Ini adalah langkah awal menuju kesuksesan yang akan mengubah hidupnya. Seiring berjalannya waktu, Johan semakin merasa bahwa dirinya berada di jalur yang benar. Setiap tantangan yang datang, baik itu dari pekerjaan maupun dari orang-orang yang masih meragukannya, semakin membuatnya merasa lebih kuat. Namun, jalan menuju keberhasilan tidaklah mulus. Hari itu, Johan mendapat tugas besar—sebuah proyek yang sangat penting bagi perusahaan Butra Wijaya. Proyek ini melibatkan kerjasama dengan salah satu klien besar, dan jika dia berhasil mengelolanya, itu akan menjadi langkah besar menuju pengakuan yang selama ini dia cari. Namun, saat dia menerima briefing dari Butra, rasa cemas mulai menghantui dirinya. "Ini bukan hanya proyek kecil, Johan," kata Butra dengan nada serius. "Ini bisa menentukan masa depan perusahaan kita di pasar ini. Aku percaya padamu, tapi kamu harus bekerja lebih keras dari sebelumnya." Johan mengangguk penuh tekad. “Saya mengerti, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik.” Selama beberapa hari berikutnya, Johan menyusun rencana dengan cermat. Dia melakukan riset pasar, berkomunikasi dengan tim yang akan membantunya, dan memastikan bahwa setiap langkah yang dia ambil adalah yang terbaik untuk kesuksesan proyek tersebut. Namun, semakin dia tenggelam dalam pekerjaan, semakin dia merasakan tekanan yang berat. Banyak keputusan sulit yang harus dia buat, dan tak jarang dia merasa bimbang. Tantangan pertama muncul ketika dia harus menghadapi klien yang ternyata tidak mudah puas. Klien itu menginginkan perubahan besar pada rencana yang sudah dia susun dengan hati-hati. Johan merasa gelisah, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa mundur. “Bagaimana jika kita melakukan sedikit perubahan pada desain ini?” tawar klien dengan nada sedikit meremehkan. “Saya rasa ini akan lebih menguntungkan kita.” Johan menahan napas. Dia tahu betul bahwa perubahan yang diminta bisa merusak keseluruhan rencana yang sudah dibuat. Namun, dia juga tidak ingin mengecewakan klien yang sangat penting itu. Dengan tenang, Johan menjawab, “Saya menghargai masukan Anda, Pak. Namun, perubahan ini bisa membawa konsekuensi yang besar. Jika Anda bersedia, saya akan membuat beberapa alternatif yang sesuai dengan permintaan Anda, namun tetap menjaga kualitas dan integritas proyek ini.” Klien itu menatap Johan dengan tatapan tajam, mencoba mengukur apakah dia bisa dipercaya. Setelah beberapa saat yang terasa tegang, klien itu akhirnya mengangguk. “Baiklah, kita lihat saja apa yang bisa kamu lakukan.” Johan merasa lega, meski dia tahu tantangan besar masih menantinya. Setiap malam, dia kembali ke rumah dengan kepala pusing dan tubuh yang lelah, namun dia tidak pernah mengeluh. Dia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan panjang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak hanya sekadar menantu yang diremehkan oleh keluarga Hartono. Namun, tekanan yang semakin meningkat mulai memengaruhi hubungan Johan dengan Nadya. Nadya merasa cemas dan khawatir dengan keadaan suaminya. Setiap kali mereka bertemu, Johan hanya bisa mengungkapkan rasa lelahnya, dan Nadya mulai merasakan bahwa dia tidak lagi mengenal suaminya yang dulu penuh semangat. Pada suatu malam, setelah sebuah hari yang sangat panjang, Nadya duduk di sebelah Johan yang tengah menatap layar komputernya. “Johan, apa yang terjadi? Kamu mulai berubah. Aku merasa kamu semakin menjauh.” Johan menatap istrinya dengan lelah. “Aku sedang berusaha keras untuk ini, Nadya. Untuk kita. Aku tidak ingin kita terus-menerus dihina oleh keluarga Hartono. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses dengan caraku sendiri.” Nadya menghela napas, menggenggam tangan suaminya. “Aku tahu kamu bisa, Johan. Tapi jangan lupakan dirimu sendiri di tengah semua ini. Jangan sampai kamu kehilangan siapa dirimu.” Johan terdiam, merenung. Nadya benar. Dia terlalu fokus pada pencapaian luar, tetapi terkadang melupakan hal-hal yang lebih penting—keluarga dan dirinya sendiri. Malam itu, dia berjanji pada dirinya untuk lebih menjaga keseimbangan dalam hidupnya, agar tidak kehilangan esensi dari apa yang dia perjuangkan. Keberhasilan yang dijanjikan di depan mata bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi tentang bagaimana dia bisa bangkit dan membawa perubahan dalam hidupnya—termasuk dalam hubungan dengan orang-orang yang paling penting baginya. Keesokan harinya, dia kembali ke kantor dengan semangat baru. Menyelesaikan revisi untuk klien, merencanakan rapat besar, dan memimpin tim dengan penuh keyakinan. Kali ini, dia tidak hanya bertindak untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang percaya padanya. Johan menyadari bahwa meskipun jalan menuju kesuksesan penuh dengan cobaan, ada satu hal yang tak akan pernah berubah—semangatnya untuk terus maju, untuk membuktikan bahwa dia bisa lebih dari yang orang pikirkan.Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha