Johan menantu yang selalu diremehkan dan dianggap tidak berguna oleh keluarga istrinya, Keluarga Hartono. Namun, siapa sangkat bahwa sebenarnya Johan adalah seorang Jenderal Perang yang dipaksa menghilang dari dunia militer karena sebuah fitnah dan pengkhianatan. Dengan tekad besar, Johan akan membongkar pengkhianatan itu dan mengembalikan martabatnya di hadapan keluarga istrinya.
View MoreDi kota Ardell, di sebuah rumah besar milik keluarga Hartono, pesta ulang tahun ke-70 Pak Surya Hartono sedang berlangsung meriah. Seluruh anggota keluarga berkumpul, mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa hadiah mahal sebagai tanda bakti.
“Semoga Pak Surya panjang umur dan selalu diberkati!” Semua anggota keluarga bersorak sambil menyerahkan hadiah mereka. Pak Surya tersenyum puas. “Hari ini aku bahagia. Aku akan mengabulkan satu permintaan dari kalian. Katakan, apa yang kalian inginkan?” “Pak, saya ingin mobil sport terbaru,” kata Rico, cucu kesayangannya. “Saya ingin jam tangan emas merek Swiss!” tambah Clara, salah satu keponakannya. Pak Surya tertawa dan mengangguk. “Baik, semua akan aku kabulkan!” Namun, suasana berubah ketika Johan, menantu dari anak sulungnya, maju perlahan dan berkata, “Pak, bisakah saya mendapatkan motor untuk pergi bekerja?” Tiba-tiba ruangan itu menjadi sunyi. Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang mulai tertawa kecil. “Kau serius, Johan?” ejek Yudha, sepupu istrinya. “Di pesta semewah ini, kau malah minta motor?” “Tak tahu malu!” tambah Dina, istri Rico. “Kau bahkan tidak membawa hadiah, lalu sekarang berani meminta sesuatu?” Tiga tahun yang lalu, Bu Rahayu, istri Pak Surya, mengenalkan Johan kepada keluarga mereka dan memaksa putri sulungnya, Nadya, untuk menikah dengannya. Johan hanyalah seorang pria biasa, berasal dari keluarga sederhana. Sejak saat itu, dia menjadi bahan hinaan seluruh keluarga Hartono. Pak Surya meletakkan cangkir tehnya dengan kasar. “Johan, apa kau datang ke sini untuk mempermalukan kami?” Nadya segera menarik tangan suaminya. “Pak, Johan tidak bermaksud seperti itu. Maafkan dia.” Namun, Satrio, adik Nadya, ikut menimpali, “Nadya, suamimu benar-benar tidak tahu diri. Keluarga ini punya standar, dan dia tidak pantas ada di sini!” “Dia tidak punya pekerjaan tetap!” kata Rico sambil tertawa. “Sudah tiga tahun jadi beban, dan sekarang dia meminta motor pula? Menggelikan!” Johan mengepalkan tangan, tapi dia tetap diam. Dia tahu, berbicara hanya akan memperburuk keadaan. Pak Surya mendengus. “Mulai sekarang, aku tidak ingin melihatmu di acara keluarga lagi. Jika kau ingin tetap hidup di rumah ini, jangan pernah meminta apa pun lagi!” Mata Johan terasa panas. Dia menatap Nadya, yang terlihat pasrah. Ia sadar, selama ini istrinya pun berada dalam tekanan karena dirinya. Malam itu, Johan duduk sendirian di taman belakang, menatap langit. “Aku akan membuktikan pada mereka... Aku bukan sampah,” gumamnya dalam hati. Dia tidak tahu bagaimana, tetapi satu hal yang pasti—mulai hari ini, hidupnya akan berubah. Pagi itu, Johan bangun lebih awal dari biasanya. Rasa lelah dan frustrasi dari malam sebelumnya masih membebani pikirannya. Semua hinaan dari keluarga Hartono—terutama dari Pak Surya—terus terngiang di telinganya. Ia merasa dirinya sudah terlalu lama menjadi bahan olokan. Dia tidak bisa terus terjebak dalam siklus ini. Hari ini, dia memutuskan bahwa hidupnya harus berubah. Dia berpakaian dengan cepat, mencoba menenangkan pikirannya. Saat hendak meninggalkan rumah, Nadya yang tampak cemas menghampirinya. "Kau mau ke mana, Johan?" tanya Nadya dengan nada khawatir. Johan menatapnya sejenak, kemudian memberikan senyuman tipis. "Aku harus mencari pekerjaan. Aku tidak bisa terus seperti ini." Nadya menggenggam tangannya erat, matanya penuh kekhawatiran. "Johan, aku... aku percaya padamu." Johan mengangguk pelan, lalu melangkah keluar dengan tekad bulat. Setelah berbulan-bulan terjebak dalam rutinitas yang tidak menguntungkan, dia tahu dia harus menemukan jalan baru. Tidak peduli betapa sulitnya, dia harus membuktikan dirinya. Dia berjalan melalui jalanan kota Ardell, memasuki setiap toko yang dia temui, menawarkan diri untuk bekerja. Namun, setiap pintu yang dia ketuk menutup dengan cepat. Di setiap tempat, alasan penolakan hampir sama: kurangnya pengalaman atau statusnya sebagai menantu yang selalu diremehkan oleh keluarga Hartono. Dengan kelelahan yang mulai terasa, Johan duduk di bangku taman. Wajahnya lelah dan penuh keputusasaan, namun jauh di dalam hatinya ada api yang mulai menyala. Dia tahu bahwa jika tidak mengambil langkah sekarang, dia akan tetap terjebak selamanya. Tiba-tiba, seorang pria paruh baya dengan pakaian sederhana mendekatinya. Pria itu tampaknya memperhatikan ekspresi kelelahan Johan. "Kau kelihatan putus asa, Nak. Sedang mencari pekerjaan?" tanya pria itu dengan penuh perhatian. Johan menatap pria itu, lalu mengangguk. "Iya, Pak. Saya siap bekerja apa saja." Pria itu tersenyum, lalu berkata, "Namaku Pak Guntur. Aku butuh seseorang yang mau bekerja keras di restoran kecilku. Jika kau serius, ikutlah denganku." Johan merasa ini adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Tanpa berpikir panjang, dia mengikuti Pak Guntur ke restoran kecil miliknya. Sejak hari itu, Johan mulai bekerja tanpa mengenal lelah. Dia mencuci piring, membersihkan meja, dan bahkan belajar cara memasak. Dia menyadari bahwa meskipun pekerjaan ini sederhana, setiap usaha kecil yang dilakukannya memiliki arti besar dalam perjalanannya menuju kebangkitan. Beberapa hari kemudian, seorang pelanggan kaya datang ke restoran tersebut. Setelah selesai makan, pria itu secara tidak sengaja menjatuhkan dompetnya. Johan yang melihatnya segera mengambil dompet itu dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Pelanggan itu tersenyum, terkesan dengan tindakan jujur Johan. "Kau adalah orang yang jujur dan pekerja keras. Siapa namamu?" "Johan, Pak," jawabnya. Pelanggan itu mengangguk, matanya berbinar. "Aku Butra Wijaya, pemilik sebuah perusahaan logistik besar di Ardell. Jika kau mencari kesempatan yang lebih baik, datanglah ke kantorku besok." Johan terkejut. Ini adalah kesempatan yang sangat besar, dan dia tahu bahwa ini bisa menjadi titik balik dalam hidupnya. Kesempatan untuk membuktikan pada keluarga Hartono, dan pada dunia, bahwa dia lebih dari sekadar pria biasa yang diremehkan. Dengan semangat yang baru, Johan merasa siap untuk menghadapi tantangan berikutnya dalam hidupnya. Dia tidak hanya ingin bertahan hidup—dia ingin membuktikan dirinya, ingin membangkitkan potensi yang selama ini tersembunyi.Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi
Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp
Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam
Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi
Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad
Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi
Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac
Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka
Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments