Share

Part 4

last update Last Updated: 2025-02-13 13:58:44

Setelah melalui serangkaian tantangan yang mengguncang, Johan mulai merasa bahwa dia benar-benar berada di jalur yang benar. Proyek besar yang dia kelola berhasil diselesaikan dengan hasil yang memuaskan, meskipun ada beberapa hambatan di sepanjang jalan. Namun, dia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya. Kepercayaan Butra terhadap dirinya kini semakin kuat, dan itu membuka banyak kesempatan baru.

Pagi itu, Johan memasuki kantor dengan langkah yang lebih mantap. Namun, saat dia membuka pintu ruang kerjanya, dia terkejut. Butra Wijaya sudah menunggunya di sana, tampak lebih serius daripada biasanya.

"Johan," Butra memulai, suaranya penuh arti. "Kamu telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam proyek terakhir. Aku percaya kamu siap untuk tantangan yang lebih besar."

Johan menatap Butra dengan rasa penasaran. "Apa yang Anda maksud, Pak?"

Butra tersenyum tipis. "Aku ingin kamu menjadi bagian dari tim manajemen senior. Aku ingin kamu mengelola lebih banyak proyek besar, yang melibatkan berbagai divisi dalam perusahaan. Ini kesempatan besar, dan aku yakin kamu bisa melakukannya."

Johan terdiam sejenak. Menjadi bagian dari tim manajemen senior bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seseorang seperti dirinya yang masih baru di dunia ini. Namun, ada satu hal yang dia pelajari dalam perjalanan hidupnya: ketika kesempatan datang, dia harus siap menghadapinya, tidak peduli seberapa besar tantangannya.

"Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawab Johan dengan penuh tekad.

Setelah pertemuan itu, Johan merasa terbesit rasa cemas, namun juga semangat yang menggelora. Ini adalah kesempatan yang bisa mengubah hidupnya—membuka jalan menuju kesuksesan yang lebih besar. Namun, di balik kegembiraan itu, ada tantangan baru yang harus dia hadapi. Menjadi bagian dari tim manajemen berarti dia harus berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih berpengalaman darinya.

Hari-hari berikutnya di kantor menjadi lebih sibuk dan penuh dengan pertemuan yang harus dihadiri Johan. Dia mulai bekerja lebih dekat dengan tim lain, mengawasi proyek-proyek yang lebih besar, dan berusaha memahami lebih dalam lagi tentang bisnis ini. Meskipun rasa cemas masih menghantui dirinya, dia berusaha menghadapinya dengan kepala tegak.

Namun, semakin lama berada di posisi ini, semakin banyak tekanan yang datang. Rekan-rekannya mulai mengamati Johan dengan pandangan yang berbeda. Beberapa dari mereka mulai meragukan kemampuannya, karena mereka merasa bahwa Johan hanya mendapatkan posisi ini karena keberuntungan atau karena kedekatannya dengan Butra Wijaya.

Pada suatu rapat besar, salah seorang anggota tim yang lebih berpengalaman, Satrio, menatap Johan dengan tatapan meremehkan. “Johan, apakah kamu yakin bisa menangani proyek ini? Ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan hanya dengan semangat. Dibutuhkan pengalaman.”

Johan merasakan darahnya mendidih. Dia tahu bahwa kata-kata Satrio itu hanya upaya untuk menjatuhkannya, untuk membuatnya merasa kecil. Namun, dia tidak ingin terprovokasi. Dia tahu, dalam dunia seperti ini, kesabaran dan ketenangan adalah kunci.

Dengan suara tenang, Johan menjawab, “Saya mengerti, Satrio. Saya baru di sini, tetapi saya akan belajar dari setiap kesempatan. Jika saya salah, saya akan memperbaikinya. Tapi saya yakin, kita semua di sini bekerja untuk tujuan yang sama—kesuksesan perusahaan ini.”

Suasana ruang rapat menjadi hening. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani menyanggah atau menyatakan ketidaksetujuan. Johan tahu, meskipun Satrio dan beberapa orang lainnya meragukannya, dia harus menunjukkan bahwa dia bukanlah orang yang mudah terpengaruh.

Namun, saat rapat itu selesai, Butra Wijaya memanggil Johan untuk berbicara secara pribadi.

“Kamu telah menunjukkan sikap yang tepat, Johan. Sabar dan penuh keyakinan. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang mempertahankan posisi. Ini tentang membuktikan bahwa kamu pantas ada di sini.”

Johan mengangguk, merasa semakin yakin dengan langkahnya. “Saya akan terus berusaha, Pak. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan.”

Hari demi hari, Johan terus melangkah maju. Meskipun banyak yang meragukannya, dia tahu bahwa dia harus terus membuktikan diri—tidak hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Ini bukan hanya tentang pekerjaan atau kesuksesan material. Ini adalah perjalanan panjang untuk membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar menantu yang diremehkan, lebih dari sekadar orang yang dipandang sebelah mata.

Dan meskipun jalan yang harus dilalui penuh rintangan, Johan merasa bahwa dia semakin dekat dengan tujuannya. Setiap langkahnya menuju posisi yang lebih tinggi adalah bukti dari kebangkitannya—dan dia tidak akan berhenti sampai dia mencapai puncak.

Hari demi hari, Johan semakin merasa bahwa beban tanggung jawab yang dia pikul semakin berat. Meskipun dia berhasil membuktikan dirinya di depan Butra dan beberapa rekan sejawatnya, tetap saja ada banyak hal yang harus dia hadapi. Tekanan di tempat kerja semakin besar, dan dia tahu, semakin tinggi posisi yang dia raih, semakin besar pula tantangan yang harus dia selesaikan.

Hari itu, Johan mendapat perintah untuk menangani sebuah presentasi besar dengan klien internasional yang sangat penting. Klien tersebut memiliki reputasi tinggi dan tidak segan-segan untuk membatalkan kontrak jika mereka merasa tidak puas dengan hasil yang ditawarkan. Ini bukan hanya tentang reputasi perusahaan, tetapi juga tentang masa depan kariernya.

“Johan, aku tahu ini bukan tugas yang mudah, tapi aku percaya kamu bisa melakukannya,” kata Butra saat menghadapinya di kantor. “Klien ini sangat memperhatikan detail dan kualitas. Pastikan semuanya sempurna.”

Johan mengangguk. “Saya akan pastikan semuanya siap, Pak.”

Selama beberapa hari ke depan, Johan dan timnya bekerja keras untuk menyiapkan presentasi terbaik. Setiap detail diperiksa, setiap angka dihitung ulang, dan setiap keputusan dipertimbangkan dengan cermat. Namun, semakin mendekati hari presentasi, semakin kuat ketegangan yang dirasakan Johan. Rasa cemas mulai menghantuinya. Bagaimana jika dia gagal? Apa yang akan terjadi jika klien tidak puas?

Pada malam sebelum presentasi, Johan pulang dengan perasaan cemas yang semakin memuncak. Nadya melihat wajah suaminya yang tampak lelah dan penuh kecemasan.

“Ada apa, Johan? Kamu terlihat seperti terbebani,” tanya Nadya, menggenggam tangan suaminya.

Johan menghela napas. “Besok adalah presentasi besar. Klien ini sangat penting bagi perusahaan, dan aku merasa kalau aku gagal, semuanya akan berantakan.”

Nadya tersenyum lembut. “Kamu sudah bekerja keras. Aku yakin kamu akan berhasil. Ingat, tidak ada yang bisa meraih kesuksesan tanpa sedikit kegelisahan. Tapi kamu lebih dari mampu, Johan.”

Mendengar kata-kata Nadya, Johan merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa meskipun banyak orang meragukannya, Nadya selalu ada untuk memberikan dukungan yang tak ternilai.

Pagi harinya, Johan berangkat ke kantor dengan perasaan campur aduk. Timnya sudah siap, dan presentasi akan dimulai dalam beberapa jam. Semua persiapan telah dilakukan, dan kini tinggal menunggu hasilnya.

Saat tiba di ruang konferensi, Johan merasakan ketegangan yang jelas di udara. Para eksekutif dan klien internasional duduk di meja besar, menunggu presentasi yang akan menentukan apakah mereka akan melanjutkan kerjasama atau tidak. Johan berdiri di depan layar besar, menatap audiens yang penuh perhatian.

Dia memulai presentasi dengan suara yang tegas, menjelaskan setiap detail dengan percaya diri. Selama beberapa menit pertama, semuanya berjalan dengan lancar. Namun, saat dia masuk ke bagian teknis yang lebih kompleks, salah satu klien tiba-tiba menginterupsi.

“Maaf, Johan, tapi angka-angka yang Anda sebutkan di sini tidak sesuai dengan data yang kami terima sebelumnya. Apa yang terjadi dengan perhitungan ini?” tanya seorang klien dengan nada yang tajam.

Johan merasakan tekanan semakin meningkat. Dia bisa merasakan tatapan tajam dari klien-klien lainnya yang mulai ragu. Namun, dia tidak panik. Dengan tenang, dia menjawab, “Terima kasih atas perhatian Anda. Saya akan segera memeriksa kembali data tersebut dan memberikan penjelasan lebih rinci.”

Johan segera meminta timnya untuk memeriksa ulang data yang dipermasalahkan, dan dalam beberapa menit yang penuh ketegangan, dia menemukan kesalahan kecil dalam perhitungan yang terjadi karena faktor teknis. Setelah memperbaiki angka-angka tersebut, dia kembali melanjutkan presentasi dengan lancar.

Tapi ketegangan yang ada di ruangan itu masih terasa. Para klien tampaknya belum sepenuhnya yakin. Johan menyadari bahwa meskipun dia bisa memperbaiki kesalahan itu, dia harus lebih dari sekadar menyelesaikan masalah—dia harus meyakinkan mereka bahwa dia adalah orang yang tepat untuk bekerja sama dalam jangka panjang.

Dengan tenang, Johan menutup presentasi dengan kalimat yang penuh keyakinan, “Saya percaya bahwa meskipun ada beberapa kendala, kami memiliki solusi yang tidak hanya memenuhi kebutuhan Anda, tetapi juga memberikan nilai lebih dalam kerjasama ini. Kami siap untuk bekerja bersama Anda untuk mencapai hasil terbaik.”

Suasana menjadi hening sejenak, sebelum salah satu klien akhirnya berbicara. “Kami menghargai usaha Anda, Johan. Meskipun ada kekurangan kecil dalam presentasi, kami melihat potensi besar dalam kerjasama ini. Kami akan melanjutkan kontrak dengan perusahaan Anda.”

Johan merasa lega, meskipun rasa cemas dan kelelahan masih membekas. Saat presentasi berakhir, dia kembali ke ruang kerjanya, merasa sedikit lebih tenang, meskipun tahu bahwa tantangan berikutnya pasti akan datang.

Namun, sebelum dia bisa benar-benar merayakan kemenangan kecil ini, Butra Wijaya memanggilnya untuk berbicara.

“Johan, aku ingin mengucapkan selamat atas presentasi yang sukses. Kamu telah menunjukkan bahwa kamu siap untuk tantangan yang lebih besar,” kata Butra dengan bangga. “Tetapi ingat, kesuksesan ini hanya langkah awal. Jangan berhenti di sini.”

Johan mengangguk, merasa semakin termotivasi. “Terima kasih, Pak. Saya akan terus berusaha untuk lebih baik.”

Meskipun baru saja mengatasi tantangan besar, Johan tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Masih ada banyak cobaan yang harus dihadapi, dan masih banyak orang yang meragukannya. Tapi satu hal yang pasti—dia tidak akan berhenti sampai dia mencapai puncak, dan dia akan terus membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar menantu yang diremehkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Johan   Part 112

    Pertarungan di dalam klub Abyss meledak seperti badai yang tak terbendung. Suara tembakan bercampur dengan dentingan logam, teriakan, dan amukan para petarung bayaran Falken yang kini satu per satu tumbang di hadapan Evelyn dan Darius. Namun di tengah hiruk-pikuk itu, perhatian semua orang tertuju pada satu titik—pertarungan antara Johan dan Vladimir. Johan menghindari ayunan brutal dari palu besar Vladimir, lalu membalas dengan tendangan keras ke arah rusuk. Vladimir terguncang tapi tetap berdiri, tertawa gila. “Ayolah! Tunjukkan kau bukan hanya simbol keadilan bodoh!” Namun tepat sebelum Johan menyerang kembali, suara berdesing terdengar dari atas—dan atap klub tiba-tiba runtuh sebagian. Semua orang berhenti. Debu dan reruntuhan jatuh, dan dari lubang yang terbuka… muncul sosok bertudung gelap, dengan lambang Seekor Serigala Bersayap di punggungnya. Evelyn menegang. “Itu… bukan lambang Falken.” Darius segera menarik pistolnya. “Itu... lambang keluarga Nacht.” Johan tak bergemi

  • Bangkitnya Johan   Part 111

    Malam menjelang di Zeigrad, namun kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelap-kelip di distrik hitam, tempat hukum bergantung pada siapa yang memegang lebih banyak peluru. Klub malam Abyss berdiri di tengahnya, mewah dan menjulang, menjadi jantung kehidupan gelap kota. Tepat pukul dua dini hari, sebuah mobil lapis baja berhenti beberapa blok dari klub. Johan melangkah keluar dengan Darius dan Evelyn di belakangnya. Pakaian mereka hitam, menyatu dengan malam, tetapi aura Johan tetap terpancar—dingin, tajam, dan penuh amarah yang terpendam. “Menurut laporan, lantai bawah tanah klub itu dipakai Vladimir sebagai ruang pertemuan dan penyiksaan,” ujar Darius sambil menunjukkan denah digital. Evelyn menambahkan, “Keamanan di dalam dijaga oleh unit elit Falken. Petarung jalanan, tentara bayaran, dan mesin tempur modifikasi.” Johan hanya mengangguk. “Bagus. Aku ingin melihat siapa saja yang cukup bodoh untuk melindungi Vladimir.” Mereka berjalan melewati lorong semp

  • Bangkitnya Johan   Part 110

    Zeigrad, ibu kota Astvaria, adalah kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Di balik megahnya gedung-gedung pemerintahan dan cahaya lampu istana malam hari, jaringan kekuasaan dan pengaruh bekerja seperti nadi yang tak terlihat. Di sanalah keluarga-keluarga terkuat—Castello, Falken, Nacht, dan Voss—menanamkan cengkeramannya paling dalam. Namun, sejak kabar tentang kejatuhan keluarga Ludger dan Rangga tersebar secara diam-diam, ketegangan mulai terasa. Terutama bagi keluarga Castello dan Falken, yang selama ini merasa kebal terhadap ancaman. Di salah satu ruang bawah tanah kastil Castello, Lady Selene Castello duduk bersandar, membaca laporan intel dari agen rahasia mereka. “Johan sebentar lagi akan tiba di Zeigrad.” Matanya menyipit. "Jadi anak itu akhirnya menantang kami secara langsung?" Di sisinya, salah satu penasihat keluarga menjawab pelan. “Dan dia tidak datang sendirian. Perusahaannya, Arthura Trade & Co, telah mengirimkan tim penyusup ke distrik perdagangan. Mereka diam

  • Bangkitnya Johan   Part 109

    Zeigrad. Jantung kekuasaan Astvaria. Kota dengan menara perak menjulang dan lorong-lorong kelam yang penuh konspirasi. Saat malam turun, cahaya lampu neon menciptakan siluet tajam di balik kaca-kaca gedung pemerintahan dan markas keluarga bangsawan. Di salah satu distrik kelas atas yang dijaga ketat, Keluarga Castello sedang mengadakan perjamuan. Para pejabat, bangsawan, dan pengusaha asing terlihat tertawa dan bersulang, seolah tidak ada perubahan apa pun di dunia luar. Tapi di bawah tanah, jauh dari hingar-bingar pesta, bayangan mulai bergerak. Salah satu agen Arthura Trade & Co menyusup ke dalam jaringan intel keluarga Falken. Mereka menyampaikan laporan melalui jalur komunikasi rahasia ke Johan yang masih berada di Riefenstadt. “Johan,” suara Evelyn terdengar dari alat komunikasi. “Kita dapat akses. Salah satu penjaga arsip keluarga Falken bersedia bicara. Tapi kita harus segera kirim tim penyusup ke Zeigrad.” Johan menatap peta besar yang terbentang di mejanya. Beberapa titi

  • Bangkitnya Johan   Part 108

    Api dan baja menghujani laut. Gelombang tinggi berubah menjadi merah saat dua armada raksasa saling bertabrakan di Teluk Treius. Kapal-kapal meledak satu per satu, serpihan kayu dan baja beterbangan di udara. Namun di tengah semua itu, dua sosok berdiri tenang di jantung pertempuran: Johan dan Sebastian Ludger. Arthura Prime menabrak sisi kapal utama Ludger, menciptakan gemuruh keras yang mengguncang seluruh dek. Anak buah Johan menyerbu ke kapal lawan lewat jembatan baja yang diturunkan. Johan sendiri melompat lebih dulu. Tubuhnya mendarat tepat di depan Sebastian. Sebastian menarik pedangnya yang bersinar biru, terbuat dari logam laut dalam. “Akhirnya kau datang juga.” Johan memasang sarung tangan perangnya. “Aku tidak suka membuang waktu.” “Begitu juga aku.” Tanpa aba-aba, duel pun dimulai. Pedang Sebastian berputar cepat, memotong angin dan baja. Tapi Johan membaca gerakannya dengan dingin, menangkis dan melawan balik dengan pukulan-pukulan berat yang membuat gelad

  • Bangkitnya Johan   Part 107

    Pagi menyelimuti kota Levantine dengan ketenangan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada lagi suara siaran propaganda dari istana keluarga Levant, tak ada lagi rapat rahasia dengan para pejabat bayangan. Kota itu kini dalam kendali penuh Johan dan pasukannya. Di sebuah ruangan taktis di pusat administrasi, Johan berdiri diam menghadap jendela, memperhatikan matahari yang terbit perlahan. Peta besar Astvaria terhampar di belakangnya, merah pada setiap nama keluarga yang telah tumbang. Evelyn melangkah masuk membawa dokumen. “Auren sudah dipindahkan ke sel isolasi. Pasukan keluarga Levant yang tersisa sudah menyerah. Tak ada perlawanan berarti.” Johan menoleh sedikit. “Penjabat tuan muda?” “Selene Levant,” jawab Evelyn. “Sepupu jauh Gregoire. Latar belakangnya diplomatik, tidak ambisius, dan—sejauh ini—tidak terlibat dalam skema politik jahat keluarga Levant.” Darius ikut menimpali, “Kami juga mengkonfirmasi bahwa jaringan luar negeri Gregoire telah runtuh. Koneksi

  • Bangkitnya Johan   Part 106

    Dari atas menara observasi Kota Levantine, Johan berdiri bersama Evelyn dan Darius, mengamati hiruk pikuk ibu kota politik itu. Meski kota itu tampak tenang, Johan tahu, di balik ketenangan itu tersembunyi kekuatan yang berbahaya—kekuatan Keluarga Levant yang kini dipimpin oleh Auren. Darius menatap ke arah kantor pusat keluarga. “Kita yakin Auren akan muncul?" Johan mengangguk pelan. “Dia bukan seperti Gregoire. Dia lebih licik. Tapi dia pasti sedang menunggu. Mereka yang terlalu percaya pada bayang-bayang, biasanya lupa kalau bayangan bisa ditelan kegelapan.” Evelyn menambahkan dengan dingin, “Kita perlu pukul pusat pengaruh mereka. Bukan hanya fisik. Kita harus potong akar jaringan politik mereka.” Johan menyeringai kecil. “Sudah aku kirim orang ke tiga negara yang pernah tunduk pada Levant. Di Lusitania, Indrasia, dan Hollstein. Mereka akan buka kembali luka yang ditanam keluarga Levant selama ini.” Sementara itu, di kedalaman markas rahasia keluarga Levant, Auren membac

  • Bangkitnya Johan   Part 105

    Malam mulai turun saat Johan tiba di markas intel Arthura yang tersembunyi di sudut kota Drakenfeld. Di sana, Darius telah menunggu bersama Evelyn dan beberapa agen kepercayaannya. "Ini laporan terakhir," ucap Darius sambil menyerahkan dokumen. "Setelah kekalahan keluarga Rangga, hanya tersisa enam keluarga dari 12 Teratas. Tapi ini bukan kemenangan mutlak—mereka yang tersisa jauh lebih kuat… dan lebih berbahaya." Evelyn menyela, "Terutama Keluarga Levant. Mereka tidak bergerak secara terang-terangan, tapi jejak mereka ada di mana-mana—dari parlemen negara tetangga sampai dalam tubuh pemerintahan Astvaria sendiri." Johan membuka berkas itu dan melihat foto lama Gregoire Levant, tuan muda dari keluarga tersebut. Meski pria itu telah tewas di Varestia, bayang-bayang kekuasaan Levant masih terasa. Pasalnya, Gregoire bukan satu-satunya yang berperan. Di balik kematiannya, masih ada para tangan kanan, boneka politik, dan jaringan kekuasaan yang tersebar di berbagai wilayah. "Mereka

  • Bangkitnya Johan   Part 104

    Ruangan itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat, tetapi Johan tetap berdiri dengan tenang di hadapan Tristan Rangga dan Rendra Rangga. Keduanya memimpin keluarga yang terkenal dengan pasukan bayangan dan pengawal elit Astvaria. Tristan akhirnya bersandar di kursinya, menghela napas perlahan sebelum berbicara. "Johan, kau datang untuk memastikan kesetiaan keluargaku, tapi aku ingin tahu satu hal lebih dulu." Johan mengangguk, menunggu pertanyaan yang akan diajukan. Tristan menatap matanya dalam-dalam. "Apa yang akan kau lakukan jika aku menolak tunduk padamu? Jika aku memutuskan bahwa Keluarga Rangga tetap berdiri sendiri, tidak berpihak pada siapa pun?" Johan tersenyum kecil. "Aku tidak meminta kalian tunduk. Aku hanya meminta kalian memilih. Apakah kalian tetap berpegang pada tugas kalian untuk melindungi negara, ataukah kalian akan menjadi bagian dari mereka yang melupakan kewajibannya?" Rendra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kami bukan pengkhianat, Joha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status