Felicia menambahkan, "Tapi kalau dalam tiga tahun kamu mati, aku akan ikut dikubur satu liang sama kamu!"Afkar berdiri di tempat. Sorot matanya terlihat sedikit bergetar. Dia benar-benar tak menyangka bahwa Felicia akan mengucapkan kata-kata seperti itu.Sebuah perasaan haru yang begitu kuat langsung menyeruak ke kepala Afkar. Itu membuat tubuhnya lemas, hidungnya terasa asam, dan jakunnya ikut bergetar.Afkar menyentuh pipinya yang masih sedikit kesemutan akibat tamparan Felicia tadi, tetapi yang terasa di hatinya justru kebahagiaan.Saat berikutnya, Afkar menggenggam tangan lembut Felicia dan kembali menarik tubuh ramping nan lembut itu ke dalam pelukannya dengan agak kasar serta penuh dominasi.Afkar membalas, "Oke! Kita akan dikubur dalam satu liang! Di batu nisan, namamu bakal jadi Nyonya Rajendra!"Begitu kata-kata itu dilontarkan, Afkar tak bisa lagi menahan luapan emosinya. Dia menatap wajah cantik Felicia yang luar biasa. Dia menatap kedua mata indah yang masih menyisakan mar
Felicia tertegun sejenak. Matanya yang indah berkedip-kedip beberapa kali sambil memperlihatkan ekspresi bingung dan polos. Dia bertanya, "Apa maksudmu aku tahu semuanya?"Afkar menggeleng pelan, lalu bertanya lagi sambil tersenyum getir, "Kamu pasti sudah baca buku harian itu, 'kan?"Mendengar perkataan itu, pandangan mata Felicia langsung menghindar beberapa kali, seolah-olah tak berani menatap mata Afkar karena merasa bersalah. Dia seperti anak kelinci yang terkejut. Wajahnya yang lembut dan cantik seketika memerah hingga setengah pipinya."Apa-apaan? Siapa yang mengintip buku harian ibumu?" kata Felicia yang berusaha menyangkal dengan gugup.Afkar tak bisa menahan tawa. Wajahnya menunjukkan ekspresi pasrah ketika menimpali, "Masih bilang nggak pernah baca? Aku cuma bilang buku harian itu, tapi nggak pernah bilang itu buku harian ibuku. Kalau kamu nggak baca, dari mana kamu tahu itu punya ibuku?"Kali ini, raut wajah presdir cantik itu makin panik. Dia sempat terbata-bata, lalu meng
Sikap dan ekspresi Felicia yang seperti itu justru membuatnya terlihat makin memikat. Itu juga membuat jantung Afkar tanpa sadar berdebar lebih cepat beberapa kali."Eh, kenapa kamu harus ikut aku ke Bumantra? Sebenarnya ... aku sudah ada tim dari kantor. Nggak perlu kamu temani juga," kata Felicia sambil melirik Afkar sekilas, seolah-olah tidak terlalu peduli.Watak Felicia memang seperti itu. Dia bukan tipe wanita yang pandai manja. Jangan harap dia akan bilang hal-hal manis seperti "Sayang, kamu baik banget" atau semacamnya.Namun kenyataannya, saat mendengar Afkar bilang ingin ikut ke Bumantra, hati presdir cantik ini justru terasa hangat dan manis.Hanya saja pada saat itu, Afkar malah menggaruk kepala. Dia lalu memberi tahu sambil tersenyum canggung, "Aku juga bukannya sengaja mau menemanimu kok. Kebetulan, aku juga ada urusan di Bumantra. Pak Bayu mau minta bantuanku soal sesuatu."Usai berkata demikian, Afkar juga tidak menyembunyikan apa pun. Dia langsung menceritakan urusan K
Sungguh kebetulan yang luar biasa!Ketika makan malam hari itu, Felicia menyampaikan sebuah kabar pada Afkar, "Afkar, mungkin besok aku akan berangkat dari Kota Nubes ke Bumantra sebentar."Mendengar itu, Afkar sedikit terkejut. Wajah kecil Shafa langsung menegang. Dia menggenggam tangan Felicia erat-erat dengan enggan sambil bertanya, "Mama Felicia, untuk apa Mama pergi ke Bumantra?"Felicia mengelus kepala kecil Shafa, lalu membalas sambil tersenyum, "Mama ada acara di sana."Segera setelah itu, Felicia menjelaskan lebih detail pada Afkar, "Aku diundang ke 'Acara Penghargaan Medis Nasional' yang akan digelar di Bumantra. Acara ini diselenggarakan langsung oleh pemerintah setempat."Felicia menambahkan, "Tujuannya adalah memberi penghargaan pada individu dan perusahaan yang memberikan kontribusi besar di bidang farmasi, sekaligus jadi kesempatan untuk membangun relasi dengan orang-orang penting di bidang ini.""Kamu juga tahu, obat-obatan baru yang dikembangkan Safira Farma terutama k
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Afkar menyetujui sambil mengangguk, "Oke! Tapi soal pembagian setengah untukku, nggak perlu. Kuanggap bantuan ini sebagai balas budi atas kebaikanmu dan Pak Farel sebelumnya."Mendengar kata-kata itu, raut wajah Bayu langsung berubah serius. Dia menolak, "Afkar, ini dua hal yang berbeda! Lagian, kamu sebenarnya nggak berutang apa pun pada Keluarga Subroto. Kalau bukan karena kamu, mungkin nyawaku sudah lama melayang.""Waktu itu, Lyra juga sempat hampir nggak selamat. Pokoknya kita sepakat ya soal pembagian ini. Nggak mungkin aku membiarkanmu bantu tanpa imbalan!" tegas Bayu.Melihat Afkar menyetujuinya, Bayu langsung menunjukkan ekspresi gembira. Dia lalu menegaskan pendiriannya sambil melambaikan tangan dengan santai.Afkar sempat menolak dengan sopan beberapa kali, tetapi akhirnya tidak memperpanjang pembicaraan itu lagi. Yang paling penting, dia sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan makam bawah tanah atau apa pun peninggalan si "tokoh hebat" it
Di dalam vila Keluarga Subroto, setelah Afkar datang, dia langsung dibawa oleh Bayu masuk ke sebuah ruang kerja.Afkar duduk sebelum bertanya, "Pak Bayu, ada urusan apa sampai buru-buru memanggilku?"Bayu menghela napas. Dia berucap sambil tersenyum pahit, "Sebenarnya cuma urusan konflik internal keluarga kami sendiri. Aduh, aku jadi malu di depanmu. Terakhir kali saat Nando datang, kamu juga ada di tempat. Jadi, mungkin kamu sudah bisa menebak sedikit."Afkar mengangkat alisnya sedikit, lalu membalas, "Ah, nggak juga. Kalau memang ada yang bisa kubantu, Pak Bayu lebih baik langsung katakan saja."Afkar memang merasa berutang budi pada Keluarga Subroto beberapa kali. Kalau bukan karena mereka, dulu perusahaan farmasi milik Felicia mungkin tidak bisa mendapatkan begitu banyak distributor besar dan selamat dari krisis.Pada pertemuan bisnis sebelumnya, Felicia bahkan hampir dilecehkan oleh Hendrik yang mengaku sebagai "cinta pertamanya". Kejadian waktu Shafa kambuh juga membuat Afkar mer