“Ho … ternyata anak manja dari Golden Coal.” Max terkekeh geli. Ia kembali memasukkan ponselnya dan bersiap menyerang. Namun, pintu toilet tiba-tiba terbuka. “Max!”Paul dan Yerhan yang dibawa oleh Tara. Tidak ada satpam atau dosen yang berhasil diyakinkan Tara untuk datang menolong.“Hahaha! Cuma ini bala bantuanmu, hm?” ledek Franky puas.“Tuan muda Tandjaya memang tiada duanya! Nggak punya bodyguard! Hahaha!”Max mendengus geli. “Aku nggak perlu bodyguard kalau hanya menghadapi cecunguk macam kalian.”Murka dengan ucapan Max, mereka langsung menyerang. Namun, Max sudah memberi aba-aba agar mereka semua lari keluar. Sekejap, Max dan 3 temannya lari keluar dari toilet pria itu langsung menuju mobil. “Sialan! Untuk sementara ngehindar dulu,” seru Yerhan yang paling panik. Namun, Max malah tergelak mendapat pengalaman itu. “Kayaknya, aku memang harus belajar bela diri yang serius.”“Atau kau punya bodyguard, Max,” usul Tara, terinspirasi dari ledekan Franky dan teman-temannya tadi
“Kau kenal si Franky itu?” tanya Max berbisik sangat pelan. Paul dan dua teman lainnya menggelengkan kepala. Kemudian Tara menambahkan, “Tapi aku tahu dia cuti satu semester. Katanya dia bikin masalah di kampus.”Max mengangguk, menerima informasi dari Tara. Namun, ia masih tidak bisa mendapatkan jawaban, apa alasan orang itu mengganggunya tiba-tiba. Padahal Max tidak mengenal Franky. Ia yakin, mereka tidak pernah bersinggungan sebelumnya. Sibuk mengetik sambil menahan rambut yang lengket karena kue, agar tak turun ke dahinya, Max terkejut ketika seseorang di depannya meletakkan tisu basah di meja.Max mendongak sedikit dan melihat punggung seorang gadis berambut pendek di bawah telinga, duduk di sana. Paul, Tara dan Yerhan langsung menoleh ke arah Max. Senyum tertahan terlihat jelas menggodanya. Tak bisa memprotes kejahilan mereka, Max hanya memutar bola matanya sambil mulai membersihkan beberapa gula kue yang ternyata masih menempel di pelipis dan juga telinga. Satu jam akhirn
“Dad, ini Sokha. Dia yang akan urus masalah pengadilan.”Max memperkenalkan pengacara rekanan Natasya itu pada sang ayah, keesokan harinya.Setelah pembicaraan semalam dengan Kana, mereka sampai pada keputusan untuk membawa permasalahan ini masuk jalur hukum. Mozart sudah menjelaskan, bagaimana Gilang meyakinkannya agar tidak mencari masalah dengan pihak Golden. Staf legal Tantambang itu malah menakut-nakuti Mozart, sehingga sang CEO memutuskan untuk menuruti usulan Gilang. Mozart yang memang tak terlalu paham dengan hukum dan takut melangkah menghadapi perusahaan super besar itu hanya bisa menurut apa yang dikatakan ahlinya.Tidak pernah ia menyangka bahwa Gilang melakukan itu semua karena disuap oleh Golden Coal. Kemudian Max menambahkan, “Untuk sementara waktu, Dad jangan sampai ketahuan bahwa sedang melayangkan gugatan pada Golden Coal. Pokoknya, biarkan saja Gilang dan Dara ini tetap bekerja. Sampai harinya dua orang itu ditangkap.”Mozart mengangguk paham. Ia sangat bersyukur
“Lho?! Kamu ngapain di kantorku? Laras minta kamu ke sini? Bawa roti?” Netra Max menyipit, memastikan yang dia lihat adalah benar orang yang dikenalnya. Begitu pun, tidak ada alasan bagi gadis kecil itu untuk berada di kantor Louvz Tech. Setelah bicara dengan Lucas tadi, Max memutuskan untuk menghubungi orang tuanya. Ia membahas hasil percakapan dengan Natasya dan Sokha.Namun, ketika keluar dari ruang kerjanya, Max malah mendapati Kana duduk di ruang tunggu area direksi.Yang ditanya itu menggelengkan kepala. “Aku diminta datang ke sini.”“Sama siapa? Kamu yakin nggak salah alamat, Kana?” Max masih tidak yakin kalau gadis muda yang bisa ia golongkan sebagai anak kecil karena tubuh pendeknya itu, punya urusan dengan Louvz. “Coba tanya lagi sama yang suruh.”Kana mengangguk setuju. Ia baru saja akan mengeluarkan ponselnya, tetapi membatalkannya ketika melihat seseorang datang dari arah belakang Max.“Oh! Dia yang suruh aku datang.” Kana menunjuk ke arah si pendatang itu. Max menoleh
“Tuan Max, Nona Natasya sudah datang. Di ruang Blossom, Tuan.”Senin pagi. Hal pertama yang dikerjakan Max adalah memanggil Natasya ke ruangannya. Secara singkat ia sudah menjelaskan via sambungan telepon perihal masalah yang dihadapi Mozart.“Ok, Al. Tolong kasih tahu Lucas kalau saya ada urusan sebentar.”“Baik, Tuan Max.”Max segera merapikan meja dan buku-buku yang sedang dibacanya, kemudian beranjak menuju ruang rapat yang diberi nama ‘Blossom’.Tiba di sana, ia tak hanya melihat Natasya. Ada seorang gadis yang tak ia kenal duduk di sebelah staf legal tersebut.“Nat!” MAx menyapa, memberitahukan kehadirannya. Natasya dan orang yang dibawanya itu langsung berdiri dan membalas sapaan Max. “Selamat pagi, Pak Max!”Max mengangguk. Memberi isyarat agar mereka kembali duduk dan memulai pembicaraan. “Pak Max, kenalkan ini Sokha. Rekan saya di law firm sebelumnya.”Wanita muda bernama Sokhan itu membungkukkan tubuhnya sedikit dan memperkenalkan dirinya. “Saya Sokha Helena, Pak Max. Be
1 bulan berlalu sejak semester 7 Max dimulai. Max tengah khawatir karena wajah sang ayah belakangan ini terlihat seperti orang hidup segan mati tak mau.Ia mencoba mencari waktu untuk bertemu dengan Mozart, tetapi ibunya melarang. “Mom, kali aja aku bisa bantu Dad.” Namun, Arienna kembali menggeleng. “Ayahmu ingin mengurus ini sendiri, Max. Kalau dia butuh bantuanmu, pasti akan cari kamu. Kau tahu dia punya pride yang tinggi.”Max merasa kecil menyadari bahwa ia bahkan tak punya kekuasaan untuk menolong ayahnya. “Kalau Dad nyerah pas masalah sudah memuncak, gimana aku harus bantu, Mom?”Arienna terdiam mendengar alasan Max yang masuk akal. “Mom bicarakan dulu sama Dad. Gimana?”Max mengangguk setuju. Lelaki memang paling sulit kalau sudah tersenggol masalah harga diri, walau dengan anak sekalipun. “Aku tunggu di kamar, Mom. Setidaknya, aku punya gambaran masalah apa yang lagi dihadapi Dad.”Arienna mengusap lengan Max penuh syukur. “Iya, Max. Terima kasih, Nak.”Mereka berpisah jal