Setelah kepergian Mery. Rumah Abi dan Dyah terasa sangat sepi. Abi merapikan semua baju bayi yang ada di keranjang, lalu memasukannya ke dalam kardus, kemudian kardus itu di lakban dan ditaruh di atas almari. Tersisa tumpukan sabun bayi, jejeran minyak telon dan shampo bayi di meja kamar, buah tangan dari para tetangga dan saudara.
Dyah masih syok atas kepergian Mery, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya seharian ini. Mila apalagi, ia yang menyaksikan sediri detik terakhir napas Mery. Dyah memeluk putri kecilnya dan mengusap-ngusap pucuk kepalanya. Tak, ada pengajian karena Mery masih bayi. Ia masih suci dan belum mempunyai dosa, jadi tidak perlu diadakan pengajian.
"Kita kecolongan lagi," kata Abi. Mila menyimak obrolan orang tuanya. Sudah biasa baginya mendengarkan obrolan seperti itu.
"Kemarin ada selembar uang lusuh tepat di depan rumah. Sudahku singkirkan dan ku tindih dengan batu. Aku tak mengambilnya. Malam harinya, terdengar suara seseorang memanggil namaku dua kali. Aku sudah tidak menyahuti panggilan itu dan terus membaca ayat kursi sepanjang malam. Paginya Mery_" Dyah tak mampu lagi untuk melanjutkan kata-katanya. Ia mengusap air mata dan hidungnya yang bengek dengan tisu. Abi yang mendengar hal itu pun marah.
"Aku sudah bilang! Jangan pernah ambil kalau menemukan uang!"
"Nggak aku ambil. Uang itu aku tindih dengan batu!"
"Harusnya singkirkan saja dengan sapu!" Bentak Abi. Mereka berdua berdebat, Abi menyugar rambutnya dengan kasar, sesaat kemudian mereka berdua terdiam. Dyah menunduk dalam.
"Di sebelah mana kamu letakan uang itu?" tanya Abi.
"Di bawah bunga pecah piring, aku menyembunyikanya agar tidak diambil oleh anak-anak," jawab Dyah.
Aaarrggg.
Abi mengeram kesal. Kemudian ia bergegas ke luar dari kamar. Detik kemudian Abi pun kembali.
"Sudah jadi belatung," katanya. "Mery sudah jadi tumbal wanita siluman itu!"
Tangis Dyah kembali pecah, dua orang anaknya telah menjadi tumbal pesugihan. Pertama anak sulung mereka yang bernama Asep, kedua harusnya Mila, sekarang adiknya Mery yang harus meregang nyawa.
🌿🌿🌿
Anak berumur sembilan tahun tahu apa? Mungkin bagi kebanyakan orang akan berpikir demikian. Namun, Mila sudah dituntut jadi dewasa sejak dini. Hal mistis seperti itu sudah biasa baginya. Awalnya Mila juga tidak tahu, sampai akhirnya Dyah menceritakan semuanya kepada putri kecilnya itu. Mila yang semakin bertumbuh pun mulai penasaran, kenapa ia tidak boleh main ke kebun Nuning. Padahal kebun itu tepat berada di depan rumah mereka, teman-teman sebaya Mila suka bermain di sana karena banyak pohon mangga yang rindang. Sementara rumah sekaligus toko Nuning di sebelah kanan kebunnya.
***
Kembali satu tahun yang lalu.
"Jajan itu dapet dari mana, Kak?" tanya Dyah. Mila sudah berusaha menyembunyikannya agar tidak ketahuan. Akan tetapi, Dyah malah menangkap basah dirinya saat mau memakan jajan itu di kamar sembunyi-sembunyi.
"Di beliin Bude Sulis," jawabnya.
"Di toko Bu Ning?" tanya Dyah lagi. Mila mengangguk pelan, takut ibunya marah. Benar saja, Dyah langsung merampas jajan itu lalu membuangnya ke tempat sampah belakang rumah. Kemudian Dyah pergi dan kembali dengan membawa jajan yang sama, tapi beli di toko yang berbeda. Selalu saja begitu, Mila tahu karena hal itu sering terjadi. Mila memang bandel.
"Dengar! Jangan pernah ke toko Bu Ning ya, Kak. Tadi, kakak ke sana juga apa cuma dibeliin Bude jajannya?"
"Tadi, diajak Bude," jawab Mila.
"Ok, besok-besok jangan diulangi lagi, ya?" pesan Dyah sekali lagi. "Budemu itu memang-"
"Mamangnya kenapa sih, Bu?" Mila memotong perkataan ibunya. Terdengar tidak sopan, tapi Mila sangat penasaran. Dyah lantas merebahkan tubuhnya di kasur, lalu menepuk-nepuk kasur memberi kode kepada putrinya agar ikut tiduran. Dengan memegangi jajan yang baru saja dibelikan oleh ibunya. Mila pun menurut. Memang saatnya tidur siang.
"Kakak ... janji ya. Setelah Ibu kasih tahu alasannya, kakak nggak boleh nanya-nanya lagi kenapa dan mengapa nggak boleh ke toko Bu Ning!" kata Dyah sambil menatap nanar mata Mila. Mila pun menggangguk tanda setuju.
"Ok, sini!" Dyah mulai bercerita sambil memeluk putri semata wayangnya itu.
"Waktu itu ... awalnya Ibu mendapatkan mimpi yang aneh." Dyah memulai ceritanya.
Krincing! Krincing! Krincing!
Terdengar gemerincing suara kuningan yang saling berbenturan akibat guncangan badan kuda yang berlari kencang. Terlihat Jamil sedang mengendarai kereta kuda tersebut.
Di dalam mimpi tersebut, Dyah sedang bercanda bersama Mila di teras rumahnya, sampai akhirnya jamil datang dan mengajak Mila naik ke kereta kudanya. Kereta itu berhiaskan kuningan, lalu ada dua hiasan di kiri kananya berbentuk ular yang menjulurkan lidahnya berwarna hitam pekat.
"Dyah, sini. Aku mau mengajak Mila ke suatu tempat!" kata Jamil dalam mimpi malam itu. Dyah pun tanpa pikir panjang menyerahkan Mila untuk dibawa Jamil ke suatu tempat katanya. Kemudian Jamil mulai menggentakan tali kekang kuda tersebut sehingga kuda itu langsung berlari kencang. Setelah itu, kereta kencana itu tak kunjung datang kembali. Dyah mulai kawatir dan mulai memanggil nama putri semata wayangnya.
Mila ...
Mila ....
Mila ....
Dipanggilan ke tiga tiba-tiba Dyah terhenyak dari tidurnya. Peluh membasahi keningnya, ternyata itu cuma mimpi. Mila berada di atas ranjang bersamanya. Dyah mengucap istigfar dan mengusap wajahnya, ia kemudian berjalan ke ruang tamu dan melirik jam dinding.
Suara jarum jam menyambut Dyah. Tepat pukul dua belas lebih tiga puluh menit. Degub jantung Dyah masih bergemuruh. Dyah kemudian berjalan ke dapur, mengambil segelas air putih untuk menenangkan dirinya sebelum akhirnya kembali tidur.
Begitu pagi menjelang, Dyah mendapati anaknya Mila demam. Dyah pikir semalam itu hanyalah mimpi biasa, dan tak ada hubunganya dengan suhu badan Mila yang panas, kalau saja ibu-ibu tidak bercerita tentang mimpi yang sama.
"Eh, tadi malam aku bermimpi anakku diajak Jamil naik kereta kencana, sekarang anakku demam. Apa arti mimpiku, ya? tanya Hindun kepada ibu-ibu yang sedang sibuk memilih sayur apa yang akan mereka beli untuk dibuat lauk pagi itu.
"Lah, kok, sama. Tadi malam aku juga bermimpi seperti itu. Persis banget, terus aku terbangun karena nggak nyenyak. Kulihat jam, sekitaran pukul setengah satu malam. Mimpi jam segitu itu biasanya tembus. Sekarang anakku juga sakit," tambah Asih.
"Aku jadi takut terjadi apa-apa dengan Fitri. Masalahnya aku juga mimpi begitu, lho." Mirna terlihat gusar. Anaknya juga demam. Dyah tak mau kalah, ia juga ikut menceritakan tentang mimpinya semalam.
Mbak Salim pedagang sayur tampak betah menyimak cerita emak-emak pagi itu. Mulailah mereka mengambil sebuah kesimpulan.
"Jangan-jangan, Jamil dan Nuning itu kaya karena pesugihan," tuduh Hindun.
"Bisa jadi, siapa sih, yang nggak tahu seluk beluk keluarga mereka. Lihat, sekarang." Asih menunjuk rumah megah Nuning. "Mereka punya rumah mewah, toko, dan sawah di mana-mana."
"Betul, padahal 'kan. Dulunya mereka kere. Ibunya saja tertangkap waktu nyolong di pasar. Bener nggak?" tambah Marni mencoba menginggatkan peristiwa tiga tahun yang lalu. "Masa dalam sekejab Nuning jadi kaya raya begitu. Kalau bukan karena pesugihan, mereka punya uang dari mana? Lawong Jamil saja cuma buruh tani. Tuh, Pak Sodikin yang banyak warisan saja. Tidak bisa beli sawah berkali-kali dalam setahun. Nuning, sudah beli sawah dua kali. Kabarnya dia mau beli lagi sawah di desa sebelah," terang Marni.
"Masak, sih? Kalau begitu kita kudu hati-hati sama Nuning. Jagain anak kita. Kalau benar adanya, ya, kita perlu minta bantuan paranormal. Barang halus di lawan halus!" kata Hindun. Ibu hanya diam saja menyimak obrolan mereka. Apa benar Nuning yang berbuat demikian? Kalau itu benar berarti putranya dulu juga menjadi tumbal.
Pasalnya sebelum meninggal malam harinya Dyah bermimpi Jamil meminta seekor ayam, dan Dyah memberikanya. Jamil memotong kepala ayam tersebut lalu membawanya pulang. Sementara badanya ditinggal begitu saja.
"Terima kasih, ya." ucap Jamil.
"Pagi harinya kakakmu meninggal dengan bekas luka di lehernya."
"Apa kak Asep jadi tumbal Bu Ning? Lalu, bagaimana aku bisa selamat? Dan anak-anak lainya juga?" tanya Mila antusias.
"Pagi harinya kakakmu meninggal dengan bekas luka di lehernya.""Apa kak Asep jadi tumbal bu Ning? Lalu, bagaimana aku bisa selamat? Dan anak-anak lainya juga?" tanya Mila antusias.🌿🌿🌿Mila kembali memaksa Dyah untuk meneruskan ceritanya. Dyah kemudian mengambil napas sebentar."Ibu, waktu Kak Asep meninggal apa dia tidak pakek sakit? Terus, kak Asep umur berapa?" celotehku. Mila mendesak terus ibunya agar mau meneruskan ceritanya."Tidak, Asep masih bayi berumur lima bulan. Dia nggak pernah rewel, saat bangun tidur, Ibu saja tidak tahu kalau Asep sudah tidak ada. Ibu baru tahu ketika mau memandikanya, setelah Ibu menyiapkan air hangat. Ibu lantas membangunkanya, biasanya Ibu akan menciumi pipinya sampai tidurnya tergganggu. Namun, Asep tidak membuka matanya, setelah ibu cek. Ternyata Asep sudah tidak bernyawa." Suara Dyah sedikit tercekat, mungkin ia merasa perih menginggat peristiwa itu."Terus, kalau Mi
Part 4"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah."Terus!"Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Dyah melihat Nuning dan Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!🌿🌿🌿"Ibu ingin memanggil Napak. Namun bibir ibu terasa kelu. Ibu juga tidak bisa mengerakkan badan ibu sementara Mila nangis kejer," kata Dyah. Dyah semakin memeluk erat Mila sehingga Mila makin tenggelam dalam dekapan hangatnya."Ibu bacakan ayat kursi berkali-kali, sambil terus berusaha melawan untuk bisa kembali menguasai diri. Sampai akhirnya Ibu berhasil dan mampu menepis tangan si Nuning yang mau mengambil Mila dari sisi Ibu. Ibu segera mengendong Mila dan berlari ke tempat salat di mana Bapak Mila lagi salat malam." Dyah berhenti s
Part 5Maaaaas!!!Dyah berteriak, menunduk, dan mendekap erat putrinya. Sementara Abi mendekap Dyah. Dyah melindungi Milla, dan Abi melindungi Dyah. Kemudian suasana berubah menjadi hening. Bau anyir menyeruak.Allahuakbar Allahu akbar.Azan subuh berkumandang. Sesaat kemudian disusul berita kematian yang disiarkan lewat toa masjid pagi itu.🌿🌿🌿"Siapa?!" tanya Dyah kepada suaminya. Dyah seakan tak percaya dengan pedengarannya sendiri."Innalilahiwainna ilaihi rojiun," ucap Abi. "Yusuf nggak ada."Hah ..."Yu_yusuf putranya Hindun? Innalilahi wainna ilaihi rojiun." Sambil mengucap demikian Dyah memeluk erat dan menangisi Mila. Padahal Mila tidak apa-apa. "Ya, Allah jaga selalu Mila untukku."Abi mengusap pundak Dyah. " Mila akan selalu baik-baik saja. Aku janji!"Setelah memastikan anak dan istrinya baik-baik saja. Abi memeriksa ke luar kamar. Suara menggel
Part 6Di rumah Nuning dan Jamil."Dik, sudahlah. Jangan usil sama keluarga Abi!" kata Jamil mengingatkan ketika melihat istrinya bersiap mengirimkan demit ke sana. "Kita 'kan dengan mudah mendapatkan tumbal dari yang lainya. Kita buang uang di pasar saja banyak anak-anak yang ambil dan menjadi tumbal kita. Tanpa harus susah-susah," terang jamil."Nyi Ratu sangat menyukai Mila. Lagi pula, kamu tidak ikut apa-apa. Semuanya, aku yang mengerjakan. Tugasmu hanya menutup mulut saja!" cecar Nuning kepada suaminya sendiri. Memang, Nuninglah dalang di balik semuanya, yang memiliki ide mencari pesugihan pun juga Nuning. Ia jugalah yang menjalankan tapa brata di gunung kawi tiga tahun yang lalu. Pertama kali mereka mengambil pesugihan."Kita sudah kaya raya. Apa kita tidak bisa menghentikan semuanya!" ujar Jamil. Ia lelah dengan segala ritual yang selalu di jalaninya."Apa kamu sudah siap mati? Heh!""Maksudmu, Dik?" Jamil tak menger
Part 7 "Bertapalah di sini. Ingat, apapun yang muncul di hadapanmu nanti. Jangan pernah takut, atau tapa bratamu gagal!" "Baik, Ki," jawab Nuning. Ia pun duduk di depan gundukan batu tersebut. Begitu Nuning duduk, juru kunci itu tiba-tiba sudah menghilang meninggalkan Nuning sendirian di tengah hutan. lho, kemana si aki. Kenapa cepat sekali perginya? Apakah dia bukan manusia? Dalam sekejab Nuning sudah tidak bisa menemukan juru kunci tersebut. 🌿🌿🌿 Nuning celingukan memerhatikan sekitar. Ia sendirian di tengah hutan. Dua botol air minum menjadi bekalnya selama bertapa. Nuning hanya bertapa pada saat matahari tenggelam, di siang hari ia bisa menghentikan tapa bratanya. Angin berhembus kencang. Gemerisik dedaunan menjadi teman Nuning. Sesekali terdengar suara, entah benda jatuh, atau mungkin hewan kecil yang tak sengaja lewat. Nuning duduk layaknya sinden. Ia mulai menarik napas panjang dan dikeluarkanya
Part 8Nyi Ratu tersemyum kecil. Ia memberikan sebuah mantra kepada Nuning untuk bisa memanggilnya."Tutup mata kamu," kata Nyi Ratu. Beberapa saat kemudian Nuning mendengar suara motor. Ketika Nuning membuka matanya, Ia sangat terkejut, ternyata ia sudah berada di depan gerbang penginapan. Pakaian Nuning pun sudah berubah menjadi baju yang dipakainya saat ke petilasan, tidak memakai kebaya dan kain jarik lagi. Sedikit kaget Nuning menoleh kekiri dan kanan. Kemudian baru masuk ke penginapan menuju kamar nomor lima. Jadi, benar ... yang menyambut dan mengantar Nuning ke tengah hutan pasti bukanlah juru kunci yang sebenarnya. Tapi, abdi dari Nyi Ratu yang ia kirimkan.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum, Mas!""Waalaikumsalam," jawab Jamil. Ia membuka pintu dan mendapati istrinya sudah berdiri di sana. "Dik, ya Allah. Bagaimana?" tanya Jamil. Dengan masih menginggat sang pencipta Jamil lega Nuning sudah kembali dari petilasan. Ia
Part 9"Ada apa, Rif?""Bapak nggak ada, Kang!""Apa?! Innalilahi wainna ilaihi rojiun."Jamil mumutar kepalanya, menoleh kepada Nuning. Menatap tajam matanya. Nuning tertunduk, mungkinkah tumbal pertama itu adalah Bapaknya?🌿🌿🌿Bibir Jamil bergetar, seluruh tubuhnya gemetar. Melihat raut wajah Nuning, dia tau pasti. Bapaknya sudah jadi tumbal ke-egoisanya."Pulanglah dulu, Rif. Sebentar, aku ke sana.""Iya, Kang!"Jamil segera menutup pintu setelah Arif pulang. Diseretnya Nuning ke kamar."Dik, katakan! Apa Bapakku yang kau jadikan tumbal?"Nuning terdiam, matanya berkaca-kaca. Dua tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nuning saat dia memejamkan matanya. Jamil memegang kedua lengan Nuning. Berharap sang istri bilang 'Tidak' . Berharap kalau dugaanya salah."Dik!"Nuning terisak. "Iya Mas, Bapak adalah tumbal pertamaku.""Apa?!"Jamil tak percaya denga
Part 10"Dik, hentikan!" ucap Abi. Akhirnya Abi berhasil masuk ke rumah juga. Ia menyambar gunting itu dari tangan isyrinya dan membuangnya."Jangan hentikan aku, Mas. Ular ini mau membunuh anak kita, Mila. Mas!" Dyah kembali berusaha mencari sesuatu. Matanya mengedar ke penjuru kamar. Garbu di atas nakas menjadi sasaran. Dyah mengambilnya dan mau ditusukkan kembali ke tangannya yang ia lihat adalah seekor ular.🌿🌿🌿"Dik, sadar. Istigfar!" Abi memegang kedua lengan istrinya dan berusaha menyadarkanya, setelah istrinya tenang, Abi memeluk erat Dyah."Kenapa Nuning terus saja menganggu kita, Mas!" Abi mengelus lengan istrinya dan menuntunya duduk di ranjang. Mereka berdua menatap putrinya tangis Mila memecah kesunyian malam."Cup, cup sayang. Bismilahirohmanirohim." ucap Abi kemudian ia membacakan surat An-nas untuk mengusir jin. Sementara Dyah masih terdiam, syok atas kejadian barusan. Abi sudah mengikat lengan tangan Dyah di b