Home / Horor / Bapakku Dukun / Kematian yang tak wajar

Share

Bapakku Dukun
Bapakku Dukun
Author: Nana Shamsy

Kematian yang tak wajar

Author: Nana Shamsy
last update Last Updated: 2021-08-13 11:25:21

"Innalilahi wainna ilaihi rojiun." Aku mendengar orang-orang berkata demikian. Wajahku masih basah setelah kubasuh beberapakali agar seluruh rasa sedihku hilang agar wajahku yang lusuh kembali segar. Aku terdiam beberapa saat di kamar mandi. Umurku masih sembilan tahun tetapi aku sudah harus bisa menjaga rahasia besar keluarga. 

Mery. Bayi yang baru berumur satu bulan itu harus meregang nyawa akibat dijadikan tumbal orang jahat. Aku sendiri yang menjadi saksi detik-detik di mana Mery berjuang antara hidup dan mati. 

Hari itu aku libur sekolah. Aku masih duduk di kelas empat SD. Pagi-pagi Ibu sudah memandikan Mery adikku. Ia wangi dan aku suka sekali aroma mulut bayi. Kuciumi Mery berkali-kali. Aku menjaga adik sementara Ibu sibuk memasak dan melaksanakan tugas sebagai Ibu rumah tangga pada umumnya. 

Pukul sembilan pagi, semua pekerjaan Ibu sudah selesai, ia menyuapi Mery dengan pisang. Hanya sedikit, sekitar satu sendok teh saja. Bahkan bisa di katakan pisang itu masih utuh. Setelah itu Ibu menimang-nimang Mery. Kami bercanda di ruang tamu. 

"Assalamualaikum," sapa Bu Bidan. Aku tidak tahu kenapa Bu Bidan datang ke rumah. Bukankah biasanya ibu-ibu yang datang ke posyandu? 

"Waalaikumsalam," jawab Ibu. Kemudian Bu Bidan mulai mengajak Mery bercanda. 

"Hallo cantik, gendut ya, sehat ya, kita timbang dulu ya," kata Bu Bidan. Aku terus memerhatikan Bu Bidan. Ia menidurkan Mery di gendongan yang sudah di kaitkan ke timbangan bayi gantung, timbangan ini hanya mengangkat beban sampai sepuluh kilo saja. Setelah dilihat dengan seksama kemudian Bu Bidan melepaskan gendongan dari timbangan. 

"Sudah, naik satu kilo lho. Pantesan endut," kata Beliau. Kemudian ia mencatat hasilnya di buku. aku terus memerhatikanya sampai Bu Bidan pamit pulang. Mungkin, Bu Bidan belum sampai di rumahnya ketika Mery mulai memuntahkan isi perutnya, yang tak lain adalah bubur pisang yang baru saja dimakan.

Huek. 

"Hem, makan sedikit udah dimuntahin," kata Ibu gemas. Ia segera menganti baju Mery yang terkena muntah. "Sudah cantik!" kata Ibu lagi. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Kembali Mery memuntahkan bubur pisang untuk ke dua kali. Semua masih nampak normal dan baik-baik saja. Sampai akhirnya Mery muntah untuk ketiga kalinya. Di sini Ibu mulai panik. 

"Nduk tolong panggil Bapak, adek kok, gumoh terus. Apa dia pusing habis ditimbang?" kata Ibu. Aku langsung berlari ke belakang mencari Bapak yang lagi sibuk membersihkan kandang kambing. 

"Pak, dipanggil ibu!" kataku. 

"Nggeh, bentar," jawab Bapak. Aku kembali ke ruang tamu. Mery terus saja muntah setiap lima belas detik sekali.

"Ada apa?" tanya Bapak.

"Ini lho anakmu muntah terus. Coba pangilin Bu Bidan," kata ibu. Bapak memeriksa Mery, terlihat mimik wajahnya kurang enak. Kemudian beliau segera berganti baju dan pergi ke rumah Bu Bidan. Tak, butuh waktu lama Bu Bidan sudah di rumah kami lagi. 

"Habis makan pisang ya, Bu," kata Bu Bidan.

"Iya," jawab Ibu singkat.

"Bayi itu nggak boleh dikasih pisang Bu. Perutnya belum bisa menerima," kata Bu Bidan lagi.

"Sedikit kok, Bu," jawab Ibu. Ia tunjukan pisang yang tadi disuapin ke Mery. Pisang itu hampir masih utuh.

"Oh, nggeh. Padahal tadi nggak apa-apa ya, Bu?" Bu Bidan sedikit heran.

"Iya, begitu habis ditimbang tadi langsung muntah Bu. Apa iya bayiku pusing?" kata ibu. "Ya, semacam habis makan minum kemudian di ayun, jadinya pusing."

Bu Bidan melempar senyum kecil mendengar ucapan Ibu barusan. Setelah memeriksa, Bu Bidan pulang. Tak apa-apa katanya, nanti juga berhenti muntahnya.

Namun, hal itu tidak terjadi. Mery masih terus memuntahkan bubur pisang dan semakin banyak. Bude yang kebetulan mampir mau belanja  bertanya-tanya awalnya bagaimana kok, bisa begitu. Kemudian tetangga mulai berdatangan satu persatu. Ibuku sudah tidak kuasa melihat Mery yang semakin lemas. Akhirnya Bude yang mengendong Mery. Sementara aku ... aku mengusap bibir Mery setiap kali ia habis muntah. 

"Astagfirullahaladzim," ucap Bude setiap kali Mery muntah. Aku berinisiatif  menaruh bak bayi di bawah untuk menampung muntahan adikku. Posisi Mery tengkurap sementara tangan Bude ia letakan di keningnya. Aku lari ke dalam mengambil kain untuk mengelap bubur pisang yang  dimuntahkan. Hampir semua baju bayi aku pakai untuk membersihkan bibir adik, kupilih baju dan selimut yang lembut. Ibu menangis tersedu di kamar, sementara Bapak memanggil nenekku. Lama-lama Bude pun tak tega. Kini ganti nenek yang memangku Mery. Kejadianya berlangsung begitu cepat.

Aku tak memerhatikan Bapak lagi, entah kemana beliau, apa cari jampi-jampi ke orang pintar? Atau kemana? Entahlah. 

Kini bubur pisang itu makin banyak. Tak hanya keluar dari mulut tetapi, juga lewat lubang hidung. Bubur itu begitu kental dan kasar, banyak bulir-bulir pisang yang tak hancur. Sungguh aneh. Pikirku. 

"Ati-ati, nduk. Nanti hidungnya wedangan," kata para tetangga memberikan peringatan. Dengan cekatan kubersihkan dan kupencet hidung adik. Wedangan itu seperti terkena balsem, panas. Ku pastikan tak ada bubur pisang di lubang hidungnya yang kecil agar ia bisa bernapas. 

Aku lihat ubun-ubunya mulai cekung. Seiring dengan kelopak matanya. Aku punya sebuah firasat, adikku tak akan selamat. Kini durasi muntahnya makin lambat, tak seperti tadi. Badan gendut adikku makin menyusut. Aku memegang tanganya, uratnya mulai timbul. Kaki dan tanganya keriput, kemudian keningnya mulai membiru. Napasnya masih teratur, tak tersenggal-senggal. Begitu tenang. Kini seluruh badanya membiru, aku tahu dia akan segera pergi. Ku bersihkan wajahnya untuk yang terakhir kali. Aku berdiri menuju kamar mandi, pandanganku kosong. Cukup lama aku di sana, sampai ku dengar suara riuh itu.

"Sudah tidak ada," kata mereka. Sebenarnya aku sudah tahu. Akan tetapi, tetap saja hatiku pilu. Aku terdiam cukup lama di kamar mandi. Tadi pagi aku masih mengajaknya bercanda. 

"Gendok mana? Gendok mana?" Aku dengar orang-orang panik mencariku. Selamat jalan Mery. Ucapku. Kemudian aku membasuh wajahku dan keluar dari kamar mandi.

"He, ini Gendok di sini," kata Budeku. Semua orang memenuhi rumahku dari depan sampai dapur. Sebagian lagi mencoba menenangkan Ibu yang baru saja sadar karena pingsan. Sementara Bude Sulis menyodorkan air putih untukku. Aku berjalan pelan, menenggok Ibu di kamar. Kemudian aku ke ruang tamu. Mery sudah tidur dengan tenang di atas meja dengan kain jarik sebagai alas dan selimut.

Bubur pisang sebanyak bak mandi menganjal pikiranku. Perut adikku hanya sekecil itu. Kalau bubur itu aku kembalikan ke perutnya, tentu tidak akan muat. Kematianya sungguh tak wajar. Aku mengutuk orang yang telah berbuat jahat kepada adikku. 

Aku tidak tahu, apakah ada yang sadar mengenai hal itu. Kutatap bak berisi bubur pisang yang di muntahkan adikku yang kini di letakan di bawah kursi. Hanya dalam waktu tak lebih dari dua jam ia membunuh bayi mungil itu. 

Aku terus mengikuti setiap prosesnya, mulai dari Mery dimandikan dan dikafani. Sampai ia di berangkatkan ke kuburan untuk dimakamkan. Aku lihat semua. Sampai hari ini aku tidak pernah melupakan peristiwa itu. Di mana adikku tersiksa di depan mataku. Orang jahat itu, aku tahu siapa dia. 

Wanita iblis. 

Aku calon tumbal pesugihan yang berhasil selamat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
iiiiii atuttt
goodnovel comment avatar
Hunny Rizma A'Husb
wuiihh bakal seru nih ceritanya
goodnovel comment avatar
Andi Gultom
mantapppppppp
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bapakku Dukun   Bapakku Dukun dan aku bangga

    Part 68"Maaf kami tidak bisa menyelamatkan putri Anda!"Bruukk!Dyah jatuh tersungkur pingsan.Abi segera menangkap tubuh Dyah dan berusaha menyadarkannya, Ayu dan Lidya menutup mulut mereka dengan ke dua telapak tangannya, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Dimas terduduk lemas, seluruh tulangnya seakan tercabut dari tubuhnya. Ia melihat Abi dan Dyah. Bagaimana perasaan mereka kehilangan putri semata wayangnya.Mila ... Mila ...Ketika Dyah terbangun yang keluar dari mulutnya hanya nama Mila saja. Abi yang tak kalah hancurnya dengan Dyah harus tetap bersikap tegar. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Abi yang bisa untuk menggambarkan perasaannya sekarang ini.Dokter kemudian segera menyiapkan berkas kematian Mila. Abi meminta bantuan kepada Bahrul untuk mengabari orang-orang desa. Dengan begitu, warga bisa menyiapkan lubang kuburan untuk Mila dan mengabari kerabat ja

  • Bapakku Dukun   Sebuah Akhir

    Part 67"Mila ...!"Reflek Dimas menjatuhkan diri dan berusaha menangkap tangan Mila. Namun usaha Dimas gagal, Mila tergelincir. Untunglah ada batu besar yang menjorok, tangannya berhasil meraih akar tanaman rambat yang lebat di pinggir tebing. Akar tanaman itu menjuntai ke bawah seperti tanaman hias. Mila hampir jatuh tapi Mila berhasil menyelamatkan diri. Kini Mila duduk di batu tersebut tak berani bergerak. Mila masih belum percaya kalau dirinya masih selamat.Ibu, Lidya, dan Ayu berteriak histeris.Nyi Dewi tertawa senang."Dimas, kamu mencintai wanita ini bukan? Matilah kalian berdua!" Lalu Nyi Dewi pun menghempaskan Dimas juga.Mila sangat terkejut melihat Dimas jatuh di hadapanya. Mila berteriak histeris memanggil namanya, saat Mila melongok. Betapa lega hati Mila melihat Dimas berhasil meraih akar tanaman rambat juga, tapi dia tak seberuntung Mila. Tubuh Dimas mengayun ke kiri dan ke kanan seperti Tarzan. Deng

  • Bapakku Dukun   Tergelincir

    Part 66"Sepertinya saya tahu Mila di bawa kemana. Ayo Pak Abi.""Kalian mau kemana?" tanya Dyah bingung."Inshaallah saya janji akan membawa Mila pulang dengan segera, selamat, dan tanpa kurang apapun. Bu Dyah jangan kawatir. Doain kami saja!" kata Dimas menyakinkan.Bahrul yang kebetulan berada di lokasi proyek pun mendekati Dimas."Ada apa, Bro?" tanya Bahrul ketika menangkap raut wajah panik dari Dimas, Abi dan Dyah."Mila!""Ada apa dengan Mila?""Aku nggak bisa menjelaskan sekarang. Intinya aku titip Neng Ayu ya, tolong jaga Neng Ayu dan Bu Dyah kalau sampai malam hari nanti kami belum juga pulang.""Tapi-""Kami buru-buru," Dimas memotong ucapan Bahrul. Dimas segera menghidupkan mesin motornya, dan menarik gasnya dengan kencang setelah Abi naik ke atas motor."Sebenarnya ada apa Bu Dyah?" tanya Bahrul."Begini, sekitar satu jam tadi ada yang menjemput Mila. Dimas, aku s

  • Bapakku Dukun   Dijemput

    Part 65Mila bingung harus berbuat apa sekarang. Kami berdua hanya saling bersitatap.Ehem.Deheman Bahrul memecahkan kebisuan mereka.Em ... Mila kikuk. Segera ia ambil langkah seribu, kembali ke kamar. Dimas memandang Mila sampai menghilang, sementara Bahrul memainkan alisnya kepada Dimas.Dimas melipat jubahnya dengan rapi, ia kemudian ke depan dan menyimpan jubah itu di jok motor. Lalu, Dimas mendahului melanjutkan pekerjaan sembari menunggu orang-orang datang. Usai salat Bahrul langsung menyusul Dimas ke depan."Bagaimana?" tanya Bahrul."Bagaimana apanya?" kata Dimas sambil mengayunkan cangkul meneruskan membuat pondasi. Sebenarnya tadi Dimas merasa malu."Sudahlah, serahkan padaku masalah Mila!" kata Bahrul. Entah apa yang di rencanakan anak itu. Dimas tak mengubris Bahrul, omongannya sudah mulai ngawur. Bagaimanapun juga, bagi Dimas sudah tidak ada jalan lagi bagi Dimas untuk me

  • Bapakku Dukun   Kesempatan

    Part 64Tak ada seorang pun yang mendengar teriakan Ayu.Dimas ....Pintu depan terbuka dengan sendirinya. Demit itu menyeret tubuh Ayu, entah ia mau membawa Ayu kemana."Lepas!"Ayu memberontak."Lepas ...."Ayu berteriak keras, tiba-tiba Ayu sudah terduduk di tempat tidurnya. Ia terbangun, Ayu masih mencoba mengatur napasnya, Dinda dan Mbak Yaroh, Ayu memandang mereka secara bergantian.Apakah tadi itu aku bermimpi?Ayu berjingkat ketika korden kamarnya bergerak tertutup dengan sendirinya. Napas Ayu kembali berderu. Sekilas saat korden itu tertutup tadi, Ayu melihat sosok di luar jendela. Sosok yang ia lihat dalam mimpinya.Sebenarnya tadi Aku bermimpi atau tidak? Tapi ... korden itu barusan ... tadi aku di luar rumah. Lalu sekarang posisiku di tempat tidur, dan --Ayu mencoba berpikir memakai logikannya.Ini tak masuk di akal. Celet

  • Bapakku Dukun   Teror

    Part 63"Sebentar, kamu tadi bilang apa? Orang tuaku gentayangan jadi setan?"Kenapa Kak Dimas harus dengar, sih.Kami semua terdiam. Terutama Ilyas."Sebaiknya kita duduk dan bicara," kata Abi. "Orang-orang mengaku telah diteror oleh Ibu dan Bapakmu," ucap Abi setelah Dimas kembali duduk. Mila masuk ke kamar dan menyimak obrolan mereka. Dimas tak bersuara, ia hanya diam dan mengigit bibirnya."Sabar, Nak! Mungkin arwah Ibu dan Bapakmu merasa sangat bersalah, jadi mereka belum sepenuhnya tenang. Sebaiknya kita doakan saja. Nak, Dimas ada perlu apa ke sini?" tanya Abi."Neng Ayu masih sangat terpukul Pak Abi, saya takut Neng Ayu terguncang jiwanya, dan doa yang diberikan Pak Abi kemarin hilang. Saya mau minta lagi!" kata Dimas."Sebentar." Abi meninggalkan Dimas dan Ilyas berdua saja di ruang tamu. Ilyas mengeser duduknya mendekati Dimas."Maaf tentang yang tadi," kata Ilyas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status