Mery. Bayi yang baru berumur satu bulan itu harus meregang nyawa akibat dijadikan tumbal orang jahat. Aku sendiri yang menjadi saksi detik-detik di mana Mery berjuang antara hidup dan mati.
Hari itu aku libur sekolah. Aku masih duduk di kelas empat SD. Pagi-pagi Ibu sudah memandikan Mery adikku. Ia wangi dan aku suka sekali aroma mulut bayi. Kuciumi Mery berkali-kali. Aku menjaga adik sementara Ibu sibuk memasak dan melaksanakan tugas sebagai Ibu rumah tangga pada umumnya.
Pukul sembilan pagi, semua pekerjaan Ibu sudah selesai, ia menyuapi Mery dengan pisang. Hanya sedikit, sekitar satu sendok teh saja. Bahkan bisa di katakan pisang itu masih utuh. Setelah itu Ibu menimang-nimang Mery. Kami bercanda di ruang tamu.
"Assalamualaikum," sapa Bu Bidan. Aku tidak tahu kenapa Bu Bidan datang ke rumah. Bukankah biasanya ibu-ibu yang datang ke posyandu?
"Waalaikumsalam," jawab Ibu. Kemudian Bu Bidan mulai mengajak Mery bercanda.
"Hallo cantik, gendut ya, sehat ya, kita timbang dulu ya," kata Bu Bidan. Aku terus memerhatikan Bu Bidan. Ia menidurkan Mery di gendongan yang sudah di kaitkan ke timbangan bayi gantung, timbangan ini hanya mengangkat beban sampai sepuluh kilo saja. Setelah dilihat dengan seksama kemudian Bu Bidan melepaskan gendongan dari timbangan.
"Sudah, naik satu kilo lho. Pantesan endut," kata Beliau. Kemudian ia mencatat hasilnya di buku. aku terus memerhatikanya sampai Bu Bidan pamit pulang. Mungkin, Bu Bidan belum sampai di rumahnya ketika Mery mulai memuntahkan isi perutnya, yang tak lain adalah bubur pisang yang baru saja dimakan.
Huek.
"Hem, makan sedikit udah dimuntahin," kata Ibu gemas. Ia segera menganti baju Mery yang terkena muntah. "Sudah cantik!" kata Ibu lagi. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Kembali Mery memuntahkan bubur pisang untuk ke dua kali. Semua masih nampak normal dan baik-baik saja. Sampai akhirnya Mery muntah untuk ketiga kalinya. Di sini Ibu mulai panik.
"Nduk tolong panggil Bapak, adek kok, gumoh terus. Apa dia pusing habis ditimbang?" kata Ibu. Aku langsung berlari ke belakang mencari Bapak yang lagi sibuk membersihkan kandang kambing.
"Pak, dipanggil ibu!" kataku.
"Nggeh, bentar," jawab Bapak. Aku kembali ke ruang tamu. Mery terus saja muntah setiap lima belas detik sekali.
"Ada apa?" tanya Bapak.
"Ini lho anakmu muntah terus. Coba pangilin Bu Bidan," kata ibu. Bapak memeriksa Mery, terlihat mimik wajahnya kurang enak. Kemudian beliau segera berganti baju dan pergi ke rumah Bu Bidan. Tak, butuh waktu lama Bu Bidan sudah di rumah kami lagi.
"Habis makan pisang ya, Bu," kata Bu Bidan.
"Iya," jawab Ibu singkat.
"Bayi itu nggak boleh dikasih pisang Bu. Perutnya belum bisa menerima," kata Bu Bidan lagi.
"Sedikit kok, Bu," jawab Ibu. Ia tunjukan pisang yang tadi disuapin ke Mery. Pisang itu hampir masih utuh.
"Oh, nggeh. Padahal tadi nggak apa-apa ya, Bu?" Bu Bidan sedikit heran.
"Iya, begitu habis ditimbang tadi langsung muntah Bu. Apa iya bayiku pusing?" kata ibu. "Ya, semacam habis makan minum kemudian di ayun, jadinya pusing."
Bu Bidan melempar senyum kecil mendengar ucapan Ibu barusan. Setelah memeriksa, Bu Bidan pulang. Tak apa-apa katanya, nanti juga berhenti muntahnya.
Namun, hal itu tidak terjadi. Mery masih terus memuntahkan bubur pisang dan semakin banyak. Bude yang kebetulan mampir mau belanja bertanya-tanya awalnya bagaimana kok, bisa begitu. Kemudian tetangga mulai berdatangan satu persatu. Ibuku sudah tidak kuasa melihat Mery yang semakin lemas. Akhirnya Bude yang mengendong Mery. Sementara aku ... aku mengusap bibir Mery setiap kali ia habis muntah.
"Astagfirullahaladzim," ucap Bude setiap kali Mery muntah. Aku berinisiatif menaruh bak bayi di bawah untuk menampung muntahan adikku. Posisi Mery tengkurap sementara tangan Bude ia letakan di keningnya. Aku lari ke dalam mengambil kain untuk mengelap bubur pisang yang dimuntahkan. Hampir semua baju bayi aku pakai untuk membersihkan bibir adik, kupilih baju dan selimut yang lembut. Ibu menangis tersedu di kamar, sementara Bapak memanggil nenekku. Lama-lama Bude pun tak tega. Kini ganti nenek yang memangku Mery. Kejadianya berlangsung begitu cepat.
Aku tak memerhatikan Bapak lagi, entah kemana beliau, apa cari jampi-jampi ke orang pintar? Atau kemana? Entahlah.
Kini bubur pisang itu makin banyak. Tak hanya keluar dari mulut tetapi, juga lewat lubang hidung. Bubur itu begitu kental dan kasar, banyak bulir-bulir pisang yang tak hancur. Sungguh aneh. Pikirku.
"Ati-ati, nduk. Nanti hidungnya wedangan," kata para tetangga memberikan peringatan. Dengan cekatan kubersihkan dan kupencet hidung adik. Wedangan itu seperti terkena balsem, panas. Ku pastikan tak ada bubur pisang di lubang hidungnya yang kecil agar ia bisa bernapas.
Aku lihat ubun-ubunya mulai cekung. Seiring dengan kelopak matanya. Aku punya sebuah firasat, adikku tak akan selamat. Kini durasi muntahnya makin lambat, tak seperti tadi. Badan gendut adikku makin menyusut. Aku memegang tanganya, uratnya mulai timbul. Kaki dan tanganya keriput, kemudian keningnya mulai membiru. Napasnya masih teratur, tak tersenggal-senggal. Begitu tenang. Kini seluruh badanya membiru, aku tahu dia akan segera pergi. Ku bersihkan wajahnya untuk yang terakhir kali. Aku berdiri menuju kamar mandi, pandanganku kosong. Cukup lama aku di sana, sampai ku dengar suara riuh itu.
"Sudah tidak ada," kata mereka. Sebenarnya aku sudah tahu. Akan tetapi, tetap saja hatiku pilu. Aku terdiam cukup lama di kamar mandi. Tadi pagi aku masih mengajaknya bercanda.
"Gendok mana? Gendok mana?" Aku dengar orang-orang panik mencariku. Selamat jalan Mery. Ucapku. Kemudian aku membasuh wajahku dan keluar dari kamar mandi.
"He, ini Gendok di sini," kata Budeku. Semua orang memenuhi rumahku dari depan sampai dapur. Sebagian lagi mencoba menenangkan Ibu yang baru saja sadar karena pingsan. Sementara Bude Sulis menyodorkan air putih untukku. Aku berjalan pelan, menenggok Ibu di kamar. Kemudian aku ke ruang tamu. Mery sudah tidur dengan tenang di atas meja dengan kain jarik sebagai alas dan selimut.
Bubur pisang sebanyak bak mandi menganjal pikiranku. Perut adikku hanya sekecil itu. Kalau bubur itu aku kembalikan ke perutnya, tentu tidak akan muat. Kematianya sungguh tak wajar. Aku mengutuk orang yang telah berbuat jahat kepada adikku.
Aku tidak tahu, apakah ada yang sadar mengenai hal itu. Kutatap bak berisi bubur pisang yang di muntahkan adikku yang kini di letakan di bawah kursi. Hanya dalam waktu tak lebih dari dua jam ia membunuh bayi mungil itu.
Aku terus mengikuti setiap prosesnya, mulai dari Mery dimandikan dan dikafani. Sampai ia di berangkatkan ke kuburan untuk dimakamkan. Aku lihat semua. Sampai hari ini aku tidak pernah melupakan peristiwa itu. Di mana adikku tersiksa di depan mataku. Orang jahat itu, aku tahu siapa dia.
Wanita iblis.
Aku calon tumbal pesugihan yang berhasil selamat.
Setelah kepergian Mery. Rumah Abi dan Dyah terasa sangat sepi. Abi merapikan semua baju bayi yang ada di keranjang, lalu memasukannya ke dalam kardus, kemudian kardus itu di lakban dan ditaruh di atas almari. Tersisa tumpukan sabun bayi, jejeran minyak telon dan shampo bayi di meja kamar, buah tangan dari para tetangga dan saudara.Dyah masih syok atas kepergian Mery, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya seharian ini. Mila apalagi, ia yang menyaksikan sediri detik terakhir napas Mery. Dyah memeluk putri kecilnya dan mengusap-ngusap pucuk kepalanya. Tak, ada pengajian karena Mery masih bayi. Ia masih suci dan belum mempunyai dosa, jadi tidak perlu diadakan pengajian."Kita kecolongan lagi," kata Abi. Mila menyimak obrolan orang tuanya. Sudah biasa baginya mendengarkan obrolan seperti itu."Kemarin ada selembar uang lusuh tepat di depan rumah. Sudahku singkirkan dan ku tindih dengan batu. Aku tak mengambilnya. Malam harinya, terdengar suara seseor
"Pagi harinya kakakmu meninggal dengan bekas luka di lehernya.""Apa kak Asep jadi tumbal bu Ning? Lalu, bagaimana aku bisa selamat? Dan anak-anak lainya juga?" tanya Mila antusias.🌿🌿🌿Mila kembali memaksa Dyah untuk meneruskan ceritanya. Dyah kemudian mengambil napas sebentar."Ibu, waktu Kak Asep meninggal apa dia tidak pakek sakit? Terus, kak Asep umur berapa?" celotehku. Mila mendesak terus ibunya agar mau meneruskan ceritanya."Tidak, Asep masih bayi berumur lima bulan. Dia nggak pernah rewel, saat bangun tidur, Ibu saja tidak tahu kalau Asep sudah tidak ada. Ibu baru tahu ketika mau memandikanya, setelah Ibu menyiapkan air hangat. Ibu lantas membangunkanya, biasanya Ibu akan menciumi pipinya sampai tidurnya tergganggu. Namun, Asep tidak membuka matanya, setelah ibu cek. Ternyata Asep sudah tidak bernyawa." Suara Dyah sedikit tercekat, mungkin ia merasa perih menginggat peristiwa itu."Terus, kalau Mi
Part 4"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah."Terus!"Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Dyah melihat Nuning dan Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!🌿🌿🌿"Ibu ingin memanggil Napak. Namun bibir ibu terasa kelu. Ibu juga tidak bisa mengerakkan badan ibu sementara Mila nangis kejer," kata Dyah. Dyah semakin memeluk erat Mila sehingga Mila makin tenggelam dalam dekapan hangatnya."Ibu bacakan ayat kursi berkali-kali, sambil terus berusaha melawan untuk bisa kembali menguasai diri. Sampai akhirnya Ibu berhasil dan mampu menepis tangan si Nuning yang mau mengambil Mila dari sisi Ibu. Ibu segera mengendong Mila dan berlari ke tempat salat di mana Bapak Mila lagi salat malam." Dyah berhenti s
Part 5Maaaaas!!!Dyah berteriak, menunduk, dan mendekap erat putrinya. Sementara Abi mendekap Dyah. Dyah melindungi Milla, dan Abi melindungi Dyah. Kemudian suasana berubah menjadi hening. Bau anyir menyeruak.Allahuakbar Allahu akbar.Azan subuh berkumandang. Sesaat kemudian disusul berita kematian yang disiarkan lewat toa masjid pagi itu.🌿🌿🌿"Siapa?!" tanya Dyah kepada suaminya. Dyah seakan tak percaya dengan pedengarannya sendiri."Innalilahiwainna ilaihi rojiun," ucap Abi. "Yusuf nggak ada."Hah ..."Yu_yusuf putranya Hindun? Innalilahi wainna ilaihi rojiun." Sambil mengucap demikian Dyah memeluk erat dan menangisi Mila. Padahal Mila tidak apa-apa. "Ya, Allah jaga selalu Mila untukku."Abi mengusap pundak Dyah. " Mila akan selalu baik-baik saja. Aku janji!"Setelah memastikan anak dan istrinya baik-baik saja. Abi memeriksa ke luar kamar. Suara menggel
Part 6Di rumah Nuning dan Jamil."Dik, sudahlah. Jangan usil sama keluarga Abi!" kata Jamil mengingatkan ketika melihat istrinya bersiap mengirimkan demit ke sana. "Kita 'kan dengan mudah mendapatkan tumbal dari yang lainya. Kita buang uang di pasar saja banyak anak-anak yang ambil dan menjadi tumbal kita. Tanpa harus susah-susah," terang jamil."Nyi Ratu sangat menyukai Mila. Lagi pula, kamu tidak ikut apa-apa. Semuanya, aku yang mengerjakan. Tugasmu hanya menutup mulut saja!" cecar Nuning kepada suaminya sendiri. Memang, Nuninglah dalang di balik semuanya, yang memiliki ide mencari pesugihan pun juga Nuning. Ia jugalah yang menjalankan tapa brata di gunung kawi tiga tahun yang lalu. Pertama kali mereka mengambil pesugihan."Kita sudah kaya raya. Apa kita tidak bisa menghentikan semuanya!" ujar Jamil. Ia lelah dengan segala ritual yang selalu di jalaninya."Apa kamu sudah siap mati? Heh!""Maksudmu, Dik?" Jamil tak menger
Part 7 "Bertapalah di sini. Ingat, apapun yang muncul di hadapanmu nanti. Jangan pernah takut, atau tapa bratamu gagal!" "Baik, Ki," jawab Nuning. Ia pun duduk di depan gundukan batu tersebut. Begitu Nuning duduk, juru kunci itu tiba-tiba sudah menghilang meninggalkan Nuning sendirian di tengah hutan. lho, kemana si aki. Kenapa cepat sekali perginya? Apakah dia bukan manusia? Dalam sekejab Nuning sudah tidak bisa menemukan juru kunci tersebut. 🌿🌿🌿 Nuning celingukan memerhatikan sekitar. Ia sendirian di tengah hutan. Dua botol air minum menjadi bekalnya selama bertapa. Nuning hanya bertapa pada saat matahari tenggelam, di siang hari ia bisa menghentikan tapa bratanya. Angin berhembus kencang. Gemerisik dedaunan menjadi teman Nuning. Sesekali terdengar suara, entah benda jatuh, atau mungkin hewan kecil yang tak sengaja lewat. Nuning duduk layaknya sinden. Ia mulai menarik napas panjang dan dikeluarkanya
Part 8Nyi Ratu tersemyum kecil. Ia memberikan sebuah mantra kepada Nuning untuk bisa memanggilnya."Tutup mata kamu," kata Nyi Ratu. Beberapa saat kemudian Nuning mendengar suara motor. Ketika Nuning membuka matanya, Ia sangat terkejut, ternyata ia sudah berada di depan gerbang penginapan. Pakaian Nuning pun sudah berubah menjadi baju yang dipakainya saat ke petilasan, tidak memakai kebaya dan kain jarik lagi. Sedikit kaget Nuning menoleh kekiri dan kanan. Kemudian baru masuk ke penginapan menuju kamar nomor lima. Jadi, benar ... yang menyambut dan mengantar Nuning ke tengah hutan pasti bukanlah juru kunci yang sebenarnya. Tapi, abdi dari Nyi Ratu yang ia kirimkan.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum, Mas!""Waalaikumsalam," jawab Jamil. Ia membuka pintu dan mendapati istrinya sudah berdiri di sana. "Dik, ya Allah. Bagaimana?" tanya Jamil. Dengan masih menginggat sang pencipta Jamil lega Nuning sudah kembali dari petilasan. Ia
Part 9"Ada apa, Rif?""Bapak nggak ada, Kang!""Apa?! Innalilahi wainna ilaihi rojiun."Jamil mumutar kepalanya, menoleh kepada Nuning. Menatap tajam matanya. Nuning tertunduk, mungkinkah tumbal pertama itu adalah Bapaknya?🌿🌿🌿Bibir Jamil bergetar, seluruh tubuhnya gemetar. Melihat raut wajah Nuning, dia tau pasti. Bapaknya sudah jadi tumbal ke-egoisanya."Pulanglah dulu, Rif. Sebentar, aku ke sana.""Iya, Kang!"Jamil segera menutup pintu setelah Arif pulang. Diseretnya Nuning ke kamar."Dik, katakan! Apa Bapakku yang kau jadikan tumbal?"Nuning terdiam, matanya berkaca-kaca. Dua tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nuning saat dia memejamkan matanya. Jamil memegang kedua lengan Nuning. Berharap sang istri bilang 'Tidak' . Berharap kalau dugaanya salah."Dik!"Nuning terisak. "Iya Mas, Bapak adalah tumbal pertamaku.""Apa?!"Jamil tak percaya denga