Home / Horor / Bapakku Dukun / Kisah Masa Kecilku

Share

Kisah Masa Kecilku

Author: Nana Shamsy
last update Last Updated: 2021-08-13 16:44:08

"Pagi harinya kakakmu meninggal dengan bekas luka di lehernya." 

"Apa kak Asep jadi tumbal bu Ning? Lalu, bagaimana aku bisa selamat? Dan anak-anak lainya juga?" tanya Mila antusias.

🌿🌿🌿

Mila kembali memaksa Dyah untuk meneruskan ceritanya. Dyah kemudian mengambil napas sebentar. 

"Ibu, waktu Kak Asep meninggal apa dia tidak pakek sakit? Terus, kak Asep umur berapa?" celotehku. Mila mendesak terus ibunya agar mau meneruskan ceritanya.

"Tidak, Asep masih bayi berumur lima bulan. Dia nggak pernah rewel, saat bangun tidur, Ibu saja tidak tahu kalau Asep sudah tidak ada. Ibu baru tahu ketika mau memandikanya, setelah Ibu menyiapkan air hangat. Ibu lantas membangunkanya, biasanya Ibu akan menciumi pipinya sampai tidurnya tergganggu. Namun, Asep tidak membuka matanya, setelah ibu cek. Ternyata Asep sudah tidak bernyawa." Suara Dyah sedikit tercekat, mungkin ia merasa perih menginggat peristiwa itu. 

"Terus, kalau Mila? Setelah demam bagaimana?" tanya Mila berbisik-bisik. Entah apa karena Mila ikut terbawa suasana. Mila merasa ada seseorang yang turut mendengarkan perbincangan mereka siang itu. Mila sedikit mengkerut, tetapi, tidak sama sekali menyiutkan nyalinya untuk mendengarkan cerita Dyah selanjutnya. 

"Kalau Mila, karena Ibu sudah tahu, jadi, Ibu lebih waspada. Meskipun Ibu awalnya tidak terlalu percaya pada hal klenik, mistis, dan sejenisnya. Tetapi, setelah beberapa lama Mila sakit. Ibu jadi percaya."

Kembali Dyah mendongeng. Menceritakan bagaimana Mila bisa lolos dari mautnya. Maut yang seharusnya merenggut jiwanya. Bayi munggil berusia delapan bulan. 

Setelah mendengarkan obrolan para emak pagi itu. Dyah tidak berani meninggalkan Mila barang sedetik pun. Saat memasak ia membawa putrinya ke dapur. Ia taruh kasur bayi di meja makan, dan menidurkan putrinya di sana, karena Dyah memang tak memiliki kereta bayi. 

Dyah terus saja mengawasi Mila, saat mencuci popok dan baju sekalipun. Ia bawa baknya ke dalam, karena posisi kamar mandi berada di luar, terpisah dengan rumah berjarak hanya sekitar tiga meter. Cukup dekat, tetapi, karena terlalu parno dengan cerita emak-emak tadi pagi, ditambah menginggat peristiwa kematian putranya Asep yang mendadak setelah mendapat mimpi aneh. Dyah tidak mau kecolongan lagi. 

Sampai siang hari demam Mila tak kunjung menurun. Beruntungnya Mila tidak rewel sama sekali. Mila seperti putri tidur, menutup matanya sepanjang hari. 

"Bagaimana Mila?" tanya Abi. 

"Masih panas," jawab Dyah.

"Nanti sore kita bawa saja ke Bidan." 

"Mas, anu. Tadi, malam aku mimpi aneh. Nggak cuma aku, tetapi, Hindun, Asih, dan Marni juga bermimpi yang sama sepertiku."

"Maksudnya?" 

Dyah menceritakan semuanya, obrolan emak-emak pagi tadi kepada Abi. Tak, mau suudzon Abi. memberi nasehat kepada istrinya.

"Cuma kebetulan saja mungkin. Bismilah besok Mila sembuh," ucap Abi. Ia lantas merebahkan badannya yang lelah, karena baru saja pulang dari sawah mencari rumput untuk ternak kambing dan sapinya. 

🌿🌿🌿

Sore hari.

Abi dan Dyah sudah bersiap membawa Mila ke Bidan terdekat. Bidan Elis satu-satunya bidan di desa. Desa Suka Damai, desa terpencil yang masih cukup asri. Sampai di tempat Bu Bidan. Abi dan Dyah harus antri, karena beliau adalah bidan satu-satunya, tentu saja ramai pasien. Kalau untuk ke puskesmas, harus ke desa sebelah yang jaraknya cukup jauh, sekitar lima kilometer. Akhirnya tiba juga giliran Mila diperiksa oleh bu bidan.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya bu Bidan dengan lembut. 

"Ini, anak saya demam sejak tadi pagi nggak turun juga panasnya, Bu. Tapi, ini sudah mendingan sekarang," kata Dyah. Bu Bidan lantas memeriksa Mila.

"Tadinya panas ya, Bu?" tanya Bu Bidan sambil menempelkan stetoskop di dada Mila. 

"Normal kok, Bu. Nanti misalnya panasnya tinggi lagi. Coba rujuk aja ke RS takutnya demam berdarah atau kenapa-napa," saran Bu Bidan. Ia lantas memberikan obat penurun demam.

Pulang dari rumah Bu Bidan kata Dyah badanku kembali panas. Obat penurun demam seakan tak ada efeknya sama sekali. Dyah mulai resah, kembali teringat akan mimpinya. Tak, tahu harus berbuat apa, Abi dan Dyah hanya berusaha sebisanya. Menebarkan garam di sekeliling rumah sebelum magrib katanya mampu menangkal hal buruk. Sambil komat-kamit membaca ayat suci Abi menaburkan garam kemudian membasuh kaki sebelum masuk ke rumah agar barang halus yang menempel tidak ikut masuk ke dalam rumah. Begitu mitosnya. Malam harinya badan Mila semakin panas. Dyah mengompresku dengan air hangat. 

"Mas, aku takut mimpiku itu ada hubunganya dengan sakitnya Mila," kata Dyah. 

"Sudah, jangan suudzon dulu. Dosa, besok kalau masih demam kita bawa Mila ke dokter anak saja, yang penting usaha dulu. Baca-baca doa juga," kata Abi mengingatkan. 

Mila sedikit tegang mendengar cerita dari ibunya. Tengorokanya terasa kering karena beberapa kali menelan saliva. Namun, Mila tidak mau mengambil air minum. Ia masih penasaran selanjutkan bagaimana? 

"Sudah Mas, bahkan sedari tadi. Tanpa kamu ingatkan aku sudah membaca doa," kata Dyah. Mungkin sebenarnya Abi juga resah, tetapi, beliau berusaha tenang agar istrinya tidak panik. Sebagai kepala keluarga memang seharusnya begitu. 

"Terus." Mila kembali menyela cerita ibunya. Dyah tersenyum gemas. 

"Terus besoknya ibu dan bapak membawa Mila ke dokter anak. Tapi, hasilnya nihil. Mila tak kunjung sembuh. Siang normal dan menjelang magrib badan Mila panas. Begitu terus," kata Dyah.

"Lalu, anak-anak yang lain bagaimana?" tanya Mila.

"Sama, semua juga belum sembuh. Sampai di hari ketiga Mila sakit. Bu Ning tiba-tiba datang ke rumah." 

"Ngapain?" tanya Mila tak sabar.

"Ibu nggak tahu siapa yang mengadu tentang obrolan emak-emak pagi itu. Lantas Bu Nuning mendatangi kami satu persatu. Menanyakan perihal kebenaran mimpi itu. Semua tidak ada yang mengaku perihal mimpinya. Bodohnya Ibu ... Ibu jujur mengankuinya. Memang iya, Ibu bermimpi Mila diajak pak Jamil naik kereta kencana yang ada hiasanya dua ekor ular besar di sisi kiri dan kanan." 

"Terus."

"Terus Bu Ning bilang begini."

'Oh, jadi benar. Kamulah yang menuduhku mengambil pesugihan. Cari masalah dengaku kamu'

Dyah menirukan apa yang dikatakan Nuning. walau Dyah sudah menjelaskan berkali-kali kalau tidak bermaksud menuduh. Nuning tetap tak mau terima. 

"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah.

"Terus!"

Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....

Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Ibu melihat bu Ning dan pak Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bapakku Dukun   Bapakku Dukun dan aku bangga

    Part 68"Maaf kami tidak bisa menyelamatkan putri Anda!"Bruukk!Dyah jatuh tersungkur pingsan.Abi segera menangkap tubuh Dyah dan berusaha menyadarkannya, Ayu dan Lidya menutup mulut mereka dengan ke dua telapak tangannya, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Dimas terduduk lemas, seluruh tulangnya seakan tercabut dari tubuhnya. Ia melihat Abi dan Dyah. Bagaimana perasaan mereka kehilangan putri semata wayangnya.Mila ... Mila ...Ketika Dyah terbangun yang keluar dari mulutnya hanya nama Mila saja. Abi yang tak kalah hancurnya dengan Dyah harus tetap bersikap tegar. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulut Abi yang bisa untuk menggambarkan perasaannya sekarang ini.Dokter kemudian segera menyiapkan berkas kematian Mila. Abi meminta bantuan kepada Bahrul untuk mengabari orang-orang desa. Dengan begitu, warga bisa menyiapkan lubang kuburan untuk Mila dan mengabari kerabat ja

  • Bapakku Dukun   Sebuah Akhir

    Part 67"Mila ...!"Reflek Dimas menjatuhkan diri dan berusaha menangkap tangan Mila. Namun usaha Dimas gagal, Mila tergelincir. Untunglah ada batu besar yang menjorok, tangannya berhasil meraih akar tanaman rambat yang lebat di pinggir tebing. Akar tanaman itu menjuntai ke bawah seperti tanaman hias. Mila hampir jatuh tapi Mila berhasil menyelamatkan diri. Kini Mila duduk di batu tersebut tak berani bergerak. Mila masih belum percaya kalau dirinya masih selamat.Ibu, Lidya, dan Ayu berteriak histeris.Nyi Dewi tertawa senang."Dimas, kamu mencintai wanita ini bukan? Matilah kalian berdua!" Lalu Nyi Dewi pun menghempaskan Dimas juga.Mila sangat terkejut melihat Dimas jatuh di hadapanya. Mila berteriak histeris memanggil namanya, saat Mila melongok. Betapa lega hati Mila melihat Dimas berhasil meraih akar tanaman rambat juga, tapi dia tak seberuntung Mila. Tubuh Dimas mengayun ke kiri dan ke kanan seperti Tarzan. Deng

  • Bapakku Dukun   Tergelincir

    Part 66"Sepertinya saya tahu Mila di bawa kemana. Ayo Pak Abi.""Kalian mau kemana?" tanya Dyah bingung."Inshaallah saya janji akan membawa Mila pulang dengan segera, selamat, dan tanpa kurang apapun. Bu Dyah jangan kawatir. Doain kami saja!" kata Dimas menyakinkan.Bahrul yang kebetulan berada di lokasi proyek pun mendekati Dimas."Ada apa, Bro?" tanya Bahrul ketika menangkap raut wajah panik dari Dimas, Abi dan Dyah."Mila!""Ada apa dengan Mila?""Aku nggak bisa menjelaskan sekarang. Intinya aku titip Neng Ayu ya, tolong jaga Neng Ayu dan Bu Dyah kalau sampai malam hari nanti kami belum juga pulang.""Tapi-""Kami buru-buru," Dimas memotong ucapan Bahrul. Dimas segera menghidupkan mesin motornya, dan menarik gasnya dengan kencang setelah Abi naik ke atas motor."Sebenarnya ada apa Bu Dyah?" tanya Bahrul."Begini, sekitar satu jam tadi ada yang menjemput Mila. Dimas, aku s

  • Bapakku Dukun   Dijemput

    Part 65Mila bingung harus berbuat apa sekarang. Kami berdua hanya saling bersitatap.Ehem.Deheman Bahrul memecahkan kebisuan mereka.Em ... Mila kikuk. Segera ia ambil langkah seribu, kembali ke kamar. Dimas memandang Mila sampai menghilang, sementara Bahrul memainkan alisnya kepada Dimas.Dimas melipat jubahnya dengan rapi, ia kemudian ke depan dan menyimpan jubah itu di jok motor. Lalu, Dimas mendahului melanjutkan pekerjaan sembari menunggu orang-orang datang. Usai salat Bahrul langsung menyusul Dimas ke depan."Bagaimana?" tanya Bahrul."Bagaimana apanya?" kata Dimas sambil mengayunkan cangkul meneruskan membuat pondasi. Sebenarnya tadi Dimas merasa malu."Sudahlah, serahkan padaku masalah Mila!" kata Bahrul. Entah apa yang di rencanakan anak itu. Dimas tak mengubris Bahrul, omongannya sudah mulai ngawur. Bagaimanapun juga, bagi Dimas sudah tidak ada jalan lagi bagi Dimas untuk me

  • Bapakku Dukun   Kesempatan

    Part 64Tak ada seorang pun yang mendengar teriakan Ayu.Dimas ....Pintu depan terbuka dengan sendirinya. Demit itu menyeret tubuh Ayu, entah ia mau membawa Ayu kemana."Lepas!"Ayu memberontak."Lepas ...."Ayu berteriak keras, tiba-tiba Ayu sudah terduduk di tempat tidurnya. Ia terbangun, Ayu masih mencoba mengatur napasnya, Dinda dan Mbak Yaroh, Ayu memandang mereka secara bergantian.Apakah tadi itu aku bermimpi?Ayu berjingkat ketika korden kamarnya bergerak tertutup dengan sendirinya. Napas Ayu kembali berderu. Sekilas saat korden itu tertutup tadi, Ayu melihat sosok di luar jendela. Sosok yang ia lihat dalam mimpinya.Sebenarnya tadi Aku bermimpi atau tidak? Tapi ... korden itu barusan ... tadi aku di luar rumah. Lalu sekarang posisiku di tempat tidur, dan --Ayu mencoba berpikir memakai logikannya.Ini tak masuk di akal. Celet

  • Bapakku Dukun   Teror

    Part 63"Sebentar, kamu tadi bilang apa? Orang tuaku gentayangan jadi setan?"Kenapa Kak Dimas harus dengar, sih.Kami semua terdiam. Terutama Ilyas."Sebaiknya kita duduk dan bicara," kata Abi. "Orang-orang mengaku telah diteror oleh Ibu dan Bapakmu," ucap Abi setelah Dimas kembali duduk. Mila masuk ke kamar dan menyimak obrolan mereka. Dimas tak bersuara, ia hanya diam dan mengigit bibirnya."Sabar, Nak! Mungkin arwah Ibu dan Bapakmu merasa sangat bersalah, jadi mereka belum sepenuhnya tenang. Sebaiknya kita doakan saja. Nak, Dimas ada perlu apa ke sini?" tanya Abi."Neng Ayu masih sangat terpukul Pak Abi, saya takut Neng Ayu terguncang jiwanya, dan doa yang diberikan Pak Abi kemarin hilang. Saya mau minta lagi!" kata Dimas."Sebentar." Abi meninggalkan Dimas dan Ilyas berdua saja di ruang tamu. Ilyas mengeser duduknya mendekati Dimas."Maaf tentang yang tadi," kata Ilyas.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status