"Pagi harinya kakakmu meninggal dengan bekas luka di lehernya."
"Apa kak Asep jadi tumbal bu Ning? Lalu, bagaimana aku bisa selamat? Dan anak-anak lainya juga?" tanya Mila antusias.
🌿🌿🌿
Mila kembali memaksa Dyah untuk meneruskan ceritanya. Dyah kemudian mengambil napas sebentar.
"Ibu, waktu Kak Asep meninggal apa dia tidak pakek sakit? Terus, kak Asep umur berapa?" celotehku. Mila mendesak terus ibunya agar mau meneruskan ceritanya.
"Tidak, Asep masih bayi berumur lima bulan. Dia nggak pernah rewel, saat bangun tidur, Ibu saja tidak tahu kalau Asep sudah tidak ada. Ibu baru tahu ketika mau memandikanya, setelah Ibu menyiapkan air hangat. Ibu lantas membangunkanya, biasanya Ibu akan menciumi pipinya sampai tidurnya tergganggu. Namun, Asep tidak membuka matanya, setelah ibu cek. Ternyata Asep sudah tidak bernyawa." Suara Dyah sedikit tercekat, mungkin ia merasa perih menginggat peristiwa itu.
"Terus, kalau Mila? Setelah demam bagaimana?" tanya Mila berbisik-bisik. Entah apa karena Mila ikut terbawa suasana. Mila merasa ada seseorang yang turut mendengarkan perbincangan mereka siang itu. Mila sedikit mengkerut, tetapi, tidak sama sekali menyiutkan nyalinya untuk mendengarkan cerita Dyah selanjutnya.
"Kalau Mila, karena Ibu sudah tahu, jadi, Ibu lebih waspada. Meskipun Ibu awalnya tidak terlalu percaya pada hal klenik, mistis, dan sejenisnya. Tetapi, setelah beberapa lama Mila sakit. Ibu jadi percaya."
Kembali Dyah mendongeng. Menceritakan bagaimana Mila bisa lolos dari mautnya. Maut yang seharusnya merenggut jiwanya. Bayi munggil berusia delapan bulan.
Setelah mendengarkan obrolan para emak pagi itu. Dyah tidak berani meninggalkan Mila barang sedetik pun. Saat memasak ia membawa putrinya ke dapur. Ia taruh kasur bayi di meja makan, dan menidurkan putrinya di sana, karena Dyah memang tak memiliki kereta bayi.
Dyah terus saja mengawasi Mila, saat mencuci popok dan baju sekalipun. Ia bawa baknya ke dalam, karena posisi kamar mandi berada di luar, terpisah dengan rumah berjarak hanya sekitar tiga meter. Cukup dekat, tetapi, karena terlalu parno dengan cerita emak-emak tadi pagi, ditambah menginggat peristiwa kematian putranya Asep yang mendadak setelah mendapat mimpi aneh. Dyah tidak mau kecolongan lagi.
Sampai siang hari demam Mila tak kunjung menurun. Beruntungnya Mila tidak rewel sama sekali. Mila seperti putri tidur, menutup matanya sepanjang hari.
"Bagaimana Mila?" tanya Abi.
"Masih panas," jawab Dyah.
"Nanti sore kita bawa saja ke Bidan."
"Mas, anu. Tadi, malam aku mimpi aneh. Nggak cuma aku, tetapi, Hindun, Asih, dan Marni juga bermimpi yang sama sepertiku."
"Maksudnya?"
Dyah menceritakan semuanya, obrolan emak-emak pagi tadi kepada Abi. Tak, mau suudzon Abi. memberi nasehat kepada istrinya.
"Cuma kebetulan saja mungkin. Bismilah besok Mila sembuh," ucap Abi. Ia lantas merebahkan badannya yang lelah, karena baru saja pulang dari sawah mencari rumput untuk ternak kambing dan sapinya.
🌿🌿🌿
Sore hari.
Abi dan Dyah sudah bersiap membawa Mila ke Bidan terdekat. Bidan Elis satu-satunya bidan di desa. Desa Suka Damai, desa terpencil yang masih cukup asri. Sampai di tempat Bu Bidan. Abi dan Dyah harus antri, karena beliau adalah bidan satu-satunya, tentu saja ramai pasien. Kalau untuk ke puskesmas, harus ke desa sebelah yang jaraknya cukup jauh, sekitar lima kilometer. Akhirnya tiba juga giliran Mila diperiksa oleh bu bidan.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya bu Bidan dengan lembut.
"Ini, anak saya demam sejak tadi pagi nggak turun juga panasnya, Bu. Tapi, ini sudah mendingan sekarang," kata Dyah. Bu Bidan lantas memeriksa Mila.
"Tadinya panas ya, Bu?" tanya Bu Bidan sambil menempelkan stetoskop di dada Mila.
"Normal kok, Bu. Nanti misalnya panasnya tinggi lagi. Coba rujuk aja ke RS takutnya demam berdarah atau kenapa-napa," saran Bu Bidan. Ia lantas memberikan obat penurun demam.Pulang dari rumah Bu Bidan kata Dyah badanku kembali panas. Obat penurun demam seakan tak ada efeknya sama sekali. Dyah mulai resah, kembali teringat akan mimpinya. Tak, tahu harus berbuat apa, Abi dan Dyah hanya berusaha sebisanya. Menebarkan garam di sekeliling rumah sebelum magrib katanya mampu menangkal hal buruk. Sambil komat-kamit membaca ayat suci Abi menaburkan garam kemudian membasuh kaki sebelum masuk ke rumah agar barang halus yang menempel tidak ikut masuk ke dalam rumah. Begitu mitosnya. Malam harinya badan Mila semakin panas. Dyah mengompresku dengan air hangat.
"Mas, aku takut mimpiku itu ada hubunganya dengan sakitnya Mila," kata Dyah.
"Sudah, jangan suudzon dulu. Dosa, besok kalau masih demam kita bawa Mila ke dokter anak saja, yang penting usaha dulu. Baca-baca doa juga," kata Abi mengingatkan.
Mila sedikit tegang mendengar cerita dari ibunya. Tengorokanya terasa kering karena beberapa kali menelan saliva. Namun, Mila tidak mau mengambil air minum. Ia masih penasaran selanjutkan bagaimana?
"Sudah Mas, bahkan sedari tadi. Tanpa kamu ingatkan aku sudah membaca doa," kata Dyah. Mungkin sebenarnya Abi juga resah, tetapi, beliau berusaha tenang agar istrinya tidak panik. Sebagai kepala keluarga memang seharusnya begitu.
"Terus." Mila kembali menyela cerita ibunya. Dyah tersenyum gemas.
"Terus besoknya ibu dan bapak membawa Mila ke dokter anak. Tapi, hasilnya nihil. Mila tak kunjung sembuh. Siang normal dan menjelang magrib badan Mila panas. Begitu terus," kata Dyah.
"Lalu, anak-anak yang lain bagaimana?" tanya Mila.
"Sama, semua juga belum sembuh. Sampai di hari ketiga Mila sakit. Bu Ning tiba-tiba datang ke rumah."
"Ngapain?" tanya Mila tak sabar.
"Ibu nggak tahu siapa yang mengadu tentang obrolan emak-emak pagi itu. Lantas Bu Nuning mendatangi kami satu persatu. Menanyakan perihal kebenaran mimpi itu. Semua tidak ada yang mengaku perihal mimpinya. Bodohnya Ibu ... Ibu jujur mengankuinya. Memang iya, Ibu bermimpi Mila diajak pak Jamil naik kereta kencana yang ada hiasanya dua ekor ular besar di sisi kiri dan kanan."
"Terus."
"Terus Bu Ning bilang begini."
'Oh, jadi benar. Kamulah yang menuduhku mengambil pesugihan. Cari masalah dengaku kamu'
Dyah menirukan apa yang dikatakan Nuning. walau Dyah sudah menjelaskan berkali-kali kalau tidak bermaksud menuduh. Nuning tetap tak mau terima.
"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah.
"Terus!"
Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....
Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Ibu melihat bu Ning dan pak Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!
Part 4"Keesokan harinya semua anak-anak sembuh. Kecuali Mila!" kata Dyah."Terus!"Terus, malam harinya, tepat pukul satu malam ....Abi sedang melaksanakan salat malam. Tiba-tiba ada asap mengepul masuk kedalam kamar melalui celah pintu bagian bawah. Antara sadar dan nggak sadar. Dyah melihat Nuning dan Jamil muncul bersama kepulan asap tersebut, mereka lantas tertawa terbahak-bahak!🌿🌿🌿"Ibu ingin memanggil Napak. Namun bibir ibu terasa kelu. Ibu juga tidak bisa mengerakkan badan ibu sementara Mila nangis kejer," kata Dyah. Dyah semakin memeluk erat Mila sehingga Mila makin tenggelam dalam dekapan hangatnya."Ibu bacakan ayat kursi berkali-kali, sambil terus berusaha melawan untuk bisa kembali menguasai diri. Sampai akhirnya Ibu berhasil dan mampu menepis tangan si Nuning yang mau mengambil Mila dari sisi Ibu. Ibu segera mengendong Mila dan berlari ke tempat salat di mana Bapak Mila lagi salat malam." Dyah berhenti s
Part 5Maaaaas!!!Dyah berteriak, menunduk, dan mendekap erat putrinya. Sementara Abi mendekap Dyah. Dyah melindungi Milla, dan Abi melindungi Dyah. Kemudian suasana berubah menjadi hening. Bau anyir menyeruak.Allahuakbar Allahu akbar.Azan subuh berkumandang. Sesaat kemudian disusul berita kematian yang disiarkan lewat toa masjid pagi itu.🌿🌿🌿"Siapa?!" tanya Dyah kepada suaminya. Dyah seakan tak percaya dengan pedengarannya sendiri."Innalilahiwainna ilaihi rojiun," ucap Abi. "Yusuf nggak ada."Hah ..."Yu_yusuf putranya Hindun? Innalilahi wainna ilaihi rojiun." Sambil mengucap demikian Dyah memeluk erat dan menangisi Mila. Padahal Mila tidak apa-apa. "Ya, Allah jaga selalu Mila untukku."Abi mengusap pundak Dyah. " Mila akan selalu baik-baik saja. Aku janji!"Setelah memastikan anak dan istrinya baik-baik saja. Abi memeriksa ke luar kamar. Suara menggel
Part 6Di rumah Nuning dan Jamil."Dik, sudahlah. Jangan usil sama keluarga Abi!" kata Jamil mengingatkan ketika melihat istrinya bersiap mengirimkan demit ke sana. "Kita 'kan dengan mudah mendapatkan tumbal dari yang lainya. Kita buang uang di pasar saja banyak anak-anak yang ambil dan menjadi tumbal kita. Tanpa harus susah-susah," terang jamil."Nyi Ratu sangat menyukai Mila. Lagi pula, kamu tidak ikut apa-apa. Semuanya, aku yang mengerjakan. Tugasmu hanya menutup mulut saja!" cecar Nuning kepada suaminya sendiri. Memang, Nuninglah dalang di balik semuanya, yang memiliki ide mencari pesugihan pun juga Nuning. Ia jugalah yang menjalankan tapa brata di gunung kawi tiga tahun yang lalu. Pertama kali mereka mengambil pesugihan."Kita sudah kaya raya. Apa kita tidak bisa menghentikan semuanya!" ujar Jamil. Ia lelah dengan segala ritual yang selalu di jalaninya."Apa kamu sudah siap mati? Heh!""Maksudmu, Dik?" Jamil tak menger
Part 7 "Bertapalah di sini. Ingat, apapun yang muncul di hadapanmu nanti. Jangan pernah takut, atau tapa bratamu gagal!" "Baik, Ki," jawab Nuning. Ia pun duduk di depan gundukan batu tersebut. Begitu Nuning duduk, juru kunci itu tiba-tiba sudah menghilang meninggalkan Nuning sendirian di tengah hutan. lho, kemana si aki. Kenapa cepat sekali perginya? Apakah dia bukan manusia? Dalam sekejab Nuning sudah tidak bisa menemukan juru kunci tersebut. 🌿🌿🌿 Nuning celingukan memerhatikan sekitar. Ia sendirian di tengah hutan. Dua botol air minum menjadi bekalnya selama bertapa. Nuning hanya bertapa pada saat matahari tenggelam, di siang hari ia bisa menghentikan tapa bratanya. Angin berhembus kencang. Gemerisik dedaunan menjadi teman Nuning. Sesekali terdengar suara, entah benda jatuh, atau mungkin hewan kecil yang tak sengaja lewat. Nuning duduk layaknya sinden. Ia mulai menarik napas panjang dan dikeluarkanya
Part 8Nyi Ratu tersemyum kecil. Ia memberikan sebuah mantra kepada Nuning untuk bisa memanggilnya."Tutup mata kamu," kata Nyi Ratu. Beberapa saat kemudian Nuning mendengar suara motor. Ketika Nuning membuka matanya, Ia sangat terkejut, ternyata ia sudah berada di depan gerbang penginapan. Pakaian Nuning pun sudah berubah menjadi baju yang dipakainya saat ke petilasan, tidak memakai kebaya dan kain jarik lagi. Sedikit kaget Nuning menoleh kekiri dan kanan. Kemudian baru masuk ke penginapan menuju kamar nomor lima. Jadi, benar ... yang menyambut dan mengantar Nuning ke tengah hutan pasti bukanlah juru kunci yang sebenarnya. Tapi, abdi dari Nyi Ratu yang ia kirimkan.Tok! Tok! Tok!"Assalamualaikum, Mas!""Waalaikumsalam," jawab Jamil. Ia membuka pintu dan mendapati istrinya sudah berdiri di sana. "Dik, ya Allah. Bagaimana?" tanya Jamil. Dengan masih menginggat sang pencipta Jamil lega Nuning sudah kembali dari petilasan. Ia
Part 9"Ada apa, Rif?""Bapak nggak ada, Kang!""Apa?! Innalilahi wainna ilaihi rojiun."Jamil mumutar kepalanya, menoleh kepada Nuning. Menatap tajam matanya. Nuning tertunduk, mungkinkah tumbal pertama itu adalah Bapaknya?🌿🌿🌿Bibir Jamil bergetar, seluruh tubuhnya gemetar. Melihat raut wajah Nuning, dia tau pasti. Bapaknya sudah jadi tumbal ke-egoisanya."Pulanglah dulu, Rif. Sebentar, aku ke sana.""Iya, Kang!"Jamil segera menutup pintu setelah Arif pulang. Diseretnya Nuning ke kamar."Dik, katakan! Apa Bapakku yang kau jadikan tumbal?"Nuning terdiam, matanya berkaca-kaca. Dua tetes air mata jatuh dari pelupuk mata Nuning saat dia memejamkan matanya. Jamil memegang kedua lengan Nuning. Berharap sang istri bilang 'Tidak' . Berharap kalau dugaanya salah."Dik!"Nuning terisak. "Iya Mas, Bapak adalah tumbal pertamaku.""Apa?!"Jamil tak percaya denga
Part 10"Dik, hentikan!" ucap Abi. Akhirnya Abi berhasil masuk ke rumah juga. Ia menyambar gunting itu dari tangan isyrinya dan membuangnya."Jangan hentikan aku, Mas. Ular ini mau membunuh anak kita, Mila. Mas!" Dyah kembali berusaha mencari sesuatu. Matanya mengedar ke penjuru kamar. Garbu di atas nakas menjadi sasaran. Dyah mengambilnya dan mau ditusukkan kembali ke tangannya yang ia lihat adalah seekor ular.🌿🌿🌿"Dik, sadar. Istigfar!" Abi memegang kedua lengan istrinya dan berusaha menyadarkanya, setelah istrinya tenang, Abi memeluk erat Dyah."Kenapa Nuning terus saja menganggu kita, Mas!" Abi mengelus lengan istrinya dan menuntunya duduk di ranjang. Mereka berdua menatap putrinya tangis Mila memecah kesunyian malam."Cup, cup sayang. Bismilahirohmanirohim." ucap Abi kemudian ia membacakan surat An-nas untuk mengusir jin. Sementara Dyah masih terdiam, syok atas kejadian barusan. Abi sudah mengikat lengan tangan Dyah di b
Part 11 Kami persembahkan tumbal kami Nyi. Terimalah!" Dyah mendengar Nuning berkata demikian. Tak, akan kubiarkan. Klik. Pintu pun terbuka. Milaaa ... Dyah berteriak kencang. "Dik, Dik, bangun, Dik!" Abi mengoyang-goyangkan tubuh Dyah dengan kencang dan menepuk-nepuk pipinya. Hah. "Istigfar, kamu mimpi buruk!" "Mimpi?" Dyah menoleh ke samping dan mendapati putrinya sedang tertidur. "Ya, Allah, Mila," ucap Dyah. "Minumlah," kata Abi. Sementara itu napas Dyah mulai stabil. Untunglah semua itu cuma mimpi. "Kamu mimpi apa?" tanya Abi. Dyah pun menceritakan perihal mimpinya. "Ini bukan sekedar mimpi, Mas. Ini petunjuk, ini firasat!" "Lagi-lagi Nuning," jawab Abi. Sekarang Abi seratus persen percaya, ini sudah kesekian kalinya Dyah bermimpi tentang Nuning. Firasat Dyah memang kuat. Badan Mila mulai panas lagi, Dyah mengompres sambil terus memba