MasukDi sebuah bilik di kedalaman kompleks istana, tersembunyi dari hiruk-pikuk persiapan Sayembara, Pangeran Balaputeradewa duduk berhadapan dengan Panglima Besar Kunara Sancaka. Ruangan itu diselubungi tirai tebal dan dinding berukir relief candi kuno, menciptakan suasana formal yang hening, nyaris menakutkan. Aroma dupa hio tipis menguar, berpadu dengan ketegangan yang menyelimuti dua sosok penting Wangsa Syailendra ini. Pangeran Balaputeradewa duduk tegak di singgasana mini, tatapannya setajam elang, memantulkan ambisi yang membara. Di hadapannya, Sancaka berdiri, punggungnya lurus namun kepalanya sedikit menunduk hormat, sorot matanya mengantisipasi perintah sang Pangeran.“Sancaka,” bisik Balaputeradewa, suaranya pelan namun mengandung intonasi perintah mutlak, nyaris menusuk dalam keheningan yang menyesakkan. “Kita telah mencermati jalannya Sayembara ini. Telah terlalu lama aku menunggu kesempatan. Segala cara halus telah kuupayakan, namun Dyah Pramodawadhani seolah selalu luput dar
Cengkeraman tak terlihat namun terasa dari Panglima Besar Kunara Sancaka membalut ruang singgasana. Pangeran Balaputeradewa, duduk di kursi kehormatan yang sejatinya melambangkan otoritasnya, justru merasa dikepung oleh ambisi militer Sancaka yang menyala-nyala. Desakan sang panglima agar segera melancarkan serangan terhadap kelompok Walaing di Gunung Sadara bukanlah sekadar laporan taktis; itu adalah sebuah ultimatum, ancaman terselubung bahwa kekuatan militer yang kini melayani Balaputeradewa dapat sewaktu-waktu berbalik, menjadi alat di tangan individu dengan hasrat kekuasaan yang tak kalah besar darinya.Namun, bahaya tak hanya datang dari gema genderang perang di perbatasan; intrik istana, di mana kepercayaan adalah komoditas langka, jauh lebih mematikan. Balaputeradewa sadar, ancaman terbesar kadang-kadang datang dari ambisi para pembantu terdekatnya, termasuk Sancaka sendiri, yang kini menuntut aksi militer dengan pandangan tajam penuh kesatria namun juga sarat nuansa keangkuha
Tahun-tahun telah berlayar seperti perahu-perahu layar dagang di Laut Jawa, membawa serta perubahan dan pertumbuhannya sendiri.Meskipun demikian, kekuasaan Pangeran Balaputeradewa di bhumi Medang tidaklah seaman atau sekokoh citra seorang mahamentri agung. Kendati sang Mahamentri mendapatkan dukungan penuh dari kakak iparnya yang mulia, Maharaja Samarattungga, dan dilayani dengan kesetiaan oleh permaisurinya, Mayang Salewang, dasar-dasar stabilitas kekuasaannya senantiasa bergoyang di tengah ombak intrik dan ambisi yang tiada henti. Aula Paringgitan di kompleks kedaton seringkali menjadi saksi bisu atas kegalauan hati sang pangeran.Pada suatu pagi yang basah oleh embun, namun panas oleh urusan negara, Pangeran Balaputeradewa duduk di singgasana agungnya, diapit oleh patung-patung dewa pelindung yang terukir dengan megah. Sorot matanya menunjukkan beban berat pikiran, melayang jauh dari gemerlap ukiran emas di sekitarnya. Di hadapannya, terhampar dua permasalahan mendesak yang seolah
Mpu Panukuh, setelah melalui serangkaian pertimbangan mendalam dan mengambil keputusan signifikan mengenai penyelenggaraan Sayembara untuk Bhumi Sambhara Budura dan ketentuan pernikahannya, kini melanjutkan perjalanannya ke arah selatan. Beliau ditemani oleh dua pengawal setianya yang tangguh, Wulung dan Mahesa Seta, yang tak pernah lelah mendampingi langkahnya.Tujuan mereka jelas: mendekati lokasi yang dipercayai sebagai persemayaman agung Bhumi Sambbara Budura, sebuah cita-cita luhur yang kini menjadi titik tumpu setiap tekad dan pengorbanannya. Senja mulai berlabuh tatkala mereka memutuskan untuk beristirahat di sebuah pesanggrahan sederhana, yang terletak di pinggiran tenang, tak jauh dari salah satu anak Sungai Watangan yang mengalir perlahan. Udara petang merangkul pepohonan, menghadirkan kedamaian semu di tengah gejolak hati dan pikiran yang berkecamuk dalam dada sang pangeran.Sore itu, saat hidangan sederhana namun mengenyangkan tersaji di hadapan mereka, Mpu Panukuh secara t
Malam telah merebahkan selubungnya di Gunung Sadara. Cahaya rembulan keperakan menelusup di antara rerimbunan pepohonan jati dan pakis raksasa, menerangi samar-samar jalur setapak yang berkelok-kelok. Udara dingin pegunungan menyentuh kulit, namun hati Mpu Panukuh terasa membara dengan tekad yang baru dipatri. Selepas pertemuan genting nan penuh makna dengan Wiku Sasodara di pelataran vihara, tempat janji pembangunan agung Bhumi Sambhara Budura dititahkan, ia berjalan perlahan menuruni bukit, diikuti setia oleh dua punggawa setianya, Wulung dan Mahesa Seta. Mereka melangkah menjauh dari kompleks vihara yang kini tampak damai di bawah sinaran rembulan, mencari titik hening yang terpisah dari segala hiruk-pikuk keduniawian, agar percakapan yang akan terhelat dapat tercurah dari lubuk hati terdalam tanpa adanya prasangka atau pendengaran yang tak semestinya.Wulung, yang sedari tadi dilanda kegundahan, akhirnya tak kuasa menahan gejolak perasaannya. Ia memecah keheningan malam dengan bis
Angin senja membelai vihara sederhana di kaki Gunung Sadara. Di serambi kayu yang telah lapuk termakan usia namun masih kokoh, Wiku Sasodara mengajak Mpu Panukuh duduk bersisian, membiarkan keheningan senja menyelimuti. Jauh di belakang mereka, Talang Wisang bersama para pengawal berdiri mengawasi, menjaga jarak dengan penuh hormat, menyadari beratnya suasana yang membayangi. Sebuah bisikan takdir, mereka tahu, kini menggantung di udara, menunggu saat untuk terucap dan membentuk kembali garis hidup Mpu Panukuh.Wiku Sasodara, dengan sorot mata bijaksana yang telah menyaksikan berbagai pergolakan zaman, meraih sebuah gulungan rontal kuno dari lipatan kainnya. Disegel rapi dengan lak merah berukiran cap Suryawangsa, rontal itu diserahkan langsung ke tangan Panukuh. Rasa dingin lembaran daun lontar itu menjalar di telapak tangannya, seakan membisikkan cerita berabad-abad lamanya.“Panukuh,” Wiku Sasodara memulai, suaranya tenang namun mengandung otoritas yang dalam, “kau kembali ke bhumi







