Bara Dendam Sang Prabu Boko

Bara Dendam Sang Prabu Boko

last updateLast Updated : 2025-09-30
By:  Alexa AyangUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
20Chapters
10views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, seorang resi pengendali api dan penguasa Sanjaya terakhir yang murni, kehilangan segalanya saat wangsanya dihancurkan oleh ekspansi Syailendra. Dengan hati penuh dendam, ia menyelamatkan pewaris takhta Sanjaya yang masih kecil, Manuku, dan menggemblengnya selama bertahun-tahun untuk menjadi senjata pembalasan yang sempurna. Namun, harapannya pupus ketika Manuku—kini bergelar Rakai Pikatan—memilih jalan damai dengan menikahi putri Syailendra, sebuah tindakan yang dianggap Kumbhayoni sebagai pengkhianatan terbesar. Guru dan murid itu kini berseberangan, terkunci dalam perang dingin ideologis. Dalam upaya putus asa untuk menyatukan kembali wangsa, putra Rakai Pikatan dikirim menyamar sebagai seniman untuk memikat hati Dyah Ron Ayu, putri kesayangan Kumbhayoni. Ketika cinta terlarang bersemi di atas fondasi kebohongan, Kumbhayoni harus menghadapi pilihan: memaafkan masa lalu demi masa depan cucunya, atau melepaskan api kemarahannya yang akan menghancurkan sisa-sisa terakhir dari warisannya.

View More

Chapter 1

Malam Yang Mencekam

Semua ingat betul malam itu, wilayah Walaing di dataran Kewu membeku dalam keheningan yang menyesakkan.Kegelapan gulita terasa semakin mencekam, ditelan oleh pasukan Medang yang menyebar di seluruh penjuru. Jentera Kenanga dan pasukannya, ‘Sanditaraparan’, telah memastikan bahwa wilayah tersebut telah terkepung, bahkan semut pun tak akan lepas dari jaring tak kasat mata mereka.

 

Rukma, tangan kanan Panglima Jentera Kenanga, nampak sangat gelisah. Tubuhnya kaku, memantulkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. 

“Kau yakin dengan rencana ini, Kakang Jentera?” tanya Rukma, suaranya nyaris berbisik, diselimuti gemetar samar. “Wilayah Walaing… bahkan jangkrik pun bungkam malam. Hati kecilku resah, seolah merasakan firasat buruk yang menggantung di udara.”

 

Jentera Kenanga menoleh sedikit. Wajahnya yang tegar bagai karang pantai laut Selatan, tetap menjulang meskipun dihantam ombak ganas ribuan tahun, tak goyah. “Aku hanyalah bawahan, Rukma,” katanya dengan nada berat yang tak memberi ruang perdebatan. “Perintah Mahamentri I Halu bagaikan titah dewa yang tak mungkin ku elakkan. Jalan telah ditetapkan, dan kita hanya menjalankan bagian kita.”

Rukma mengerutkan dahi. “Tapi Wiku Sasodara… kebijaksanaannya selalu mengatakan jalan demikian bukan...”

“Beliau tak punya legitimasi untuk mencegah kejadian tersebut, Rukma,” potong Jentera tegas, nadanya dingin dan mematikan. Matanya menatap tajam, menembus keraguan Rukma. “Ingat, kita tunduk di bawah panji Medang dan satu komando di bawah Maharja Samarattungga dan Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa. Loyalitas kita adalah yang utama. Tak ada ruang untuk mempertanyakan kehendak para penguasa.”

 

Rukma menunduk, bahunya meluruh. “Baiklah, Kakang,” jawabnya lirih, menerima. “Kesetiaan adalah nyawa prajurit, dan saya hanya akan menaati. Ampuni hamba yang lemah.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, dibalut suara gemerisik logam tipis saat menyematkan topeng tembaga. Topeng polos tanpa ukiran, hanya dua lubang mata menyiratkan tatapan dingin dan tanpa emosi, ciri khas pasukan Sanditaraparan yang menakutkan, bayangan yang tak memiliki nama. Setiap gerakan terencana, setiap langkah adalah bisikan yang ditelan malam.

“Pastikan kuda dan kereta yang berisik telah diredam suaranya,” kata Jentera memastikan, suaranya teredam topeng namun tetap menggedor dada. “Sekecil apa pun bunyi bisa membatalkan seluruh operasi tersebut, membuyarkan segalanya.”

 

Rukma mengangguk mantap. “Sudah diurus, Kakang. Semua kaki kuda sudah dibebat kain tebal, roda kereta telah diminyaki dengan ramuan khusus agar tak sedikit pun mengeluarkan derit. Bahkan setiap keping perisai telah kami lapisi agar tak ada bunyi beradu.” Rukma menegaskan, suaranya pelan dan berhati-hati. “Kami juga telah memastikan tak ada armor yang saling bergesek, setiap langkah dihitung dan diawasi, Kakang.”

“Bagus,” gumam Jentera. “Jangan ada satu pun kecerobohan.”

Mereka kembali dalam penantian.

“Kapan kita mulai menyerang, Kakang?” tanya Rukma lagi, memecah hening. Ada gema ketegangan dalam suaranya, seolah semakin lama menunda, semakin terasa berat beban di dada.

Jentera mengarahkan pandangannya ke ufuk timur. “Setelah pasukan Panglima Kunara Sancaka, Dandang Wilis, dan Cangak Sabrang mencapai Batas Banyu Nibo. Mereka adalah kekuatan utama. Kita hanyalah mata tombak awal yang membuat luka.” Jentera menyeringai di balik topengnya.

“Serangan mendadak… licik dan pengecut,” bisik Jentera pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada

Rukma. “Rasanya ksatria Medang tak patut mengotori tangannya dengan cara serupa, Rukma.” Sebuah desah halus keluar dari rongga napasnya.

 

Rukma, tanpa melihat, menjawab dengan pragmatis. “Kita bukan di medan latihan, Kakang. Ini adalah perang nyata, dan Mahamentri tak pernah ragu untuk mengambil jalan pintas jika berarti kemenangan bagi Medang. Lagipula, tak ada 'kesatria' yang kelaparan.”

Jentera terdiam sejenak. “Aku tahu, Rukma. Namun hal ini akan menghapus jejak kebaikan Medang di mata banyak orang. Bagaimana kita akan memerintah Walaing sesudahnya, jika kemenangan semacam itu lahir dari pengkhianatan malam?” Nada bicaranya menyiratkan beban hati yang berat.

“Cukuplah loyalitas kita pada mahkota, Kakang,” balas Rukma, tanpa menoleh. “Biarkan sejarah menilai. Tugas kita hanyalah melaksanakan perintah. Dan kemenangan, ia akan menuliskan sejarahnya sendiri, membenarkan apa pun jalannya.”

 

Tiba-tiba, langit di atas Batas Banyu Nibo robek! Sebuah suara petir menggelegar, dahsyat, seolah membelah semesta, diikuti oleh kilatan cahaya biru terang yang berpendar seperti lidah api tak biasa. Seluruh cakrawala berguncang, tanah di bawah kaki mereka terasa bergetar hebat. Cambuk Guntur Sangara milik Panglima Kunara Sancaka, yang mampu membelah gunung sekalipun, kini dipergunakan sebagai tanda.

“Mereka tiba,” seru Jentera, matanya menyala di balik topeng tembaga. “Waktu kita sudah tiba!”

Rukma tidak membuang waktu. Ia segera menyiapkan anggota pasukannya, menekan isyarat untuk memulai pergerakan senyap. “Matikan semua api di Walaing!” teriaknya, suaranya memenuhi keheningan yang tersisa. “Jangan biarkan mereka menggunakan kekuatan api menghalau kita!”

 

Pasukan Medang, yang terkenal sebagai pengendali air, langsung mengerahkan kemampuan mereka. Bola-bola air raksasa berukuran lebih besar dari kerbau mulai dibentuk dan dilemparkan ke seluruh titik nyala di wilayah Walaing. Sumber api di dapur, obor pengawas, api di kuil, dan tungku pengrajin, semuanya dihantam, dipadamkan tanpa ampun, menyelimuti Walaing dalam kegelapan dan keputusasaan. Kilatan petir menjadi tanda bagi Jentera Kenanga sebagai pasukan pelopor untuk membuat serangan awal ke Walaing sebelum pasukan utama Medang yang tak terlihat ikut menyerang.

Jauh di dalam Puri Walaing, di pusat kendali api, Mpu Regdaya, sang Rakai Walaing Sepuh yang sedang bermeditasi dalam ketenangan paling dalam, tersentak. Suara petir, meski teredam tebalnya tembok, merobek konsentrasinya. Matanya yang tua, biasanya meneduh penuh kebijaksanaan, kini melebar kaget.

 

Seketika, kesadaran dingin menusuk hatinya. Bukan badai biasa. Ini adalah suara perang.

“Pasukan Medang menyerang!” teriaknya, segenap tenaga tercurah dalam suara putus asa, bergemuruh dalam dinding batu yang sepi. Suara Mpu Regdaya adalah pekik kesadaran terakhir bagi Walaing.

Namun, bagi Walaing yang baru saja terbangun dari lelapnya, semuanya telah menjadi terlambat.

 

Senyapnya kepungan Medang kini telah berujung pada ledakan kekejaman yang membisukan. Hawa dingin terasa menusuk kalbu, sebuah tanda akan kehancuran yang tak terelakkan. Langit Walaing yang biasanya berpendar dari ribuan nyala api pengrajin dan obor penjaga, kini gelap gulita, basah oleh embun yang bukan berasal dari alam. Sebuah malapetaka yang melumpuhkan, memadamkan harapan, sebelum tombak pertama bahkan menyentuh tanah. Dari kegelapan, bayangan Sanditaraparan bergerak, seperti hantu-hantu yang dilepaskan dari jurang. Mereka adalah pembawa kematian tanpa nama, tanpa wajah.

 

Pada malam yang gelap gulita itu, Walaing bukan hanya jatuh. Ia ditelan. Ditenggelamkan dalam keheningan yang lebih mematikan dari jeritan. Dan aku tahu, saat para pengendali air Medang mulai melangkah maju, nasib Walaing, nasib para pengendali api, sudah tertulis, dicetak dalam air dan dibekukan oleh kehampaan. 

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
20 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status