LOGINPagi membayang di Keraton Medang di Poh Pitu, namun suasana masih diselimuti aura kelam dan berat. Noda darah kering yang semalam bercampur aduk dengan confetti pernikahan di pelataran masih terlihat jelas, menjadi saksi bisu akan penghianatan yang mengoyak keheningan malam sakral. Aroma amisnya besi berkarat bercampur asap sisa pembakaran yang tak kunjung hilang, membaur dengan kepulan kemenyan yang dihidupkan untuk menyingkirkan pengaruh buruk.Di tengah ketegangan yang pekat itu, Maharaja Samarattungga berdiri tegak di singgasananya dalam balairung agung, memancarkan amarah yang dingin, membeku, namun mematikan. Pemberontakan yang dipimpin oleh Walaing dan Wasa Mandala tepat di malam perhelatan pernikahan sang Mahamentri I Halu adalah penghinaan tertinggi, bukan saja terhadap Keraton, melainkan terhadap kewibawaan agung dinasti Sailandra yang selama ini dihormati."Aku perintahkan!" suara Maharaja Samarattungga menggelegar, memenuhi seisi ruang dewan yang sedari tadi diliputi kehen
Watak Panaraban terasa damai, jauh dari hiruk pikuk politik Keraton Medang yang senantiasa bergolak. Di kediaman utama, pendopo agung yang memancarkan ketenangan arsitektur khas Jawa, Rakai Panaraban menatap istrinya, Dyah Ayu Manohara, dengan kehangatan dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran Dyah Ayu Manohara telah membawa nuansa tentram ke dalam kehidupannya yang sering kali diselimuti kekhawatiran akan takdir wangsa.Sementara itu, di ruangan terpisah yang telah disiapkan secara khusus, Mpu Kumbayoni telah ditempatkan di tempat tidur yang nyaman. Lukanya yang menganga kini dirawat dengan cermat oleh tabib kerajaan Panaraban, sementara para abdinya yang setia berjaga di ambang pintu. Laturana, Megarana, dan Wiyuhmega, yang menyertai Manohara dalam perjalanan melelahkan itu, juga mendapatkan tempat peristirahatan yang layak, guna memulihkan diri dari keletihan."Aku sungguh merasa lega atas kepulanganmu yang selamat, Diajeng," ujar Rakai Panaraban, suaranya mengandung kehangatan tu
Setelah luka menganga Gusti Mpu Kumbayoni telah terbalut rapi dengan dedaunan obat yang ia petik dan lumuri pada kulitnya, Dyah Ayu Manohara menatapnya dengan raut wajah penuh empati yang memudar perlahan, digantikan oleh selubung rasa penasaran yang teramat dalam. Pandangan matanya yang elok menyusuri guratan lelah dan bekas luka pada tubuh Gusti, seolah mencoba menguak kisah di baliknya. Wajahnya yang rupawan memancarkan kecantikan murni yang lembut, kontras dengan kengerian medan laga yang baru saja ia saksikan.“Lalu, ki sanak ini gerangan siapa?” tanya Dyah Ayu Manohara, suaranya mengalun lirih dan halus bagai lantunan tembang merdu, namun dipenuhi nuansa ingin tahu. Ia tidak peduli kemeut (busuk) ataupun bersih, hatinya diliputi rasa iba melihat siapapun terluka parah. “Mengapa pula ki sanak sampai terluka begitu parah dan terkapar di tanah hutan yang sunyi ini?”Gusti Mpu Kumbayoni, meskipun di lubuk hatinya diselubungi kekecewaan yang tak terkira lantaran Dyah Ayu telah menjad
Malam merayap menyelimuti pelarian yang pedih dari pusat kekuasaan. Kemenangan yang digantungkan kini tercerai-berai menjadi kekalahan yang menghimpit. Mpu Kumbayoni, Laturana, Megarana, dan Wiyuhmega bergerak tanpa henti, meninggalkan gemuruh Keraton Medang yang baru saja dibasahi darah, menuju Watak Panaraban. Harapan satu-satunya terpaut pada benteng perlindungan di tanah itu, walau langkah mereka kini serupa bara api yang nyaris padam.Laju pelarian itu semakin tertatih-tatih. Mpu Kumbayoni, pemimpin muda dengan kharisma membara, kini lunglai tak berdaya. Luka dalam yang ditoreh pedang Gagak Rukma perlahan mengambil alih kesadarannya, memantik demam tinggi yang menyiksa dan dahaga yang tak terperi. Mereka terpaksa bergerak tanpa bekal berarti, memaksa untuk mengarahkan pandangan kepada hutan belantara yang pekat, berharap menemukan sumber kehidupan."Gusti Mpu Kumbayoni..." suara Laturana sarat kegalauan, memapah Kumbayoni dengan tenaga terakhir, "...kekuatannya terkuras habis. Ia
Pertarungan yang membekukan itu, antara Tumenggung Gagak Rukma melawan Mpu Kumbayoni dan Wiyuhmega, memang berlangsung singkat, namun begitu brutal. Nyala api perlawanan dari Kubu Walaing, yang dibawa oleh Mpu Kumbayoni dan Wiyuhmega, ternyata tak sanggup menandingi dinginnya amarah dan kesaktian yang dikuasai oleh Rukma. Rasa sakit akibat pengkhianatan yang membusuk dalam jiwanya telah mengubahnya menjadi lawan yang mematikan, yang setiap ayunan pedangnya diisi dengan kekosongan pahit. Tatapan kosong, tetapi pedang menusuk, seperti jiwa yang kehilangan pegangan.Mpu Kumbayoni, meski telah mengerahkan segala daya dan upayanya, tidak mampu menghadapi badai pedang dan jurus Rukma yang begitu brutal, melambangkan dendam yang tak tertahankan. Pedang hitam Rukma melesat dengan kecepatan gila.Sebuah pukulan telak menghantam Gusti Kumbayoni. Ia tak berdaya menahan serangan tersebut. Tubuhnya ambruk. Dengan nafas yang sesak, ia tersungkur dan terluka parah. Melihat pemimpin mereka tumbang,
Api murka membakar medan laga. Mpu Kumbayoni, diapit oleh kekuatan tak terbantahkan dari Laturana, Megarana, dan Wiyuhmega, melesat bagai badai neraka menuju jantung Keraton Medang. Tujuan mereka terpahat jelas dalam benak, tak tergoyahkan oleh jerit prajurit atau raungan pertempuran yang meluluhlantakkan pelataran: penjara kerajaan, tempat Gusti Rahagi dan Diajeng Srigunting disekap. Setiap ayunan lengan mereka memercikkan bara yang melumat barikade pertahanan Medang. Elemen api yang dikuasai mereka membakar semangat sekaligus pertahanan lawan, mengubah jalan menuju kompleks tahanan menjadi lorong kehancuran. Prajurit Medang, yang semula teguh, kini terseret arus panik, kocar-kacir menghadapi serangan elemental yang mematikan.Namun, amuk dahsyat mereka tak berlanjut tanpa hambatan. Tepat di ambang gerbang kokoh yang memisahkan dunia luar dari labirin penjara, sebuah bayangan kokoh muncul. Itu adalah sosok tegap Panglima Kavaleri Medang, Cangak Sabrang, berdiri dengan keberanian memb







